Komunikasi Etnografi Kritikal dalam Menunjang DEI dan CSR Perusahaan
loading...
A
A
A
Contoh dari pendekatan yang dilakukan perusahaan seperti PT Unilever Indonesia dalam melakukan pendekatan gender sebagai pesan kampanye yang dilakukan untuk mewakili gender yang saat ini masih menjadi kelompok marginal bahwa perusahaan melakukan gerakan yakni suatu jabatan tidak lagi harus memandang gender, ras, maupun latar belakang. Ditambah lagi dengan adanya kampanye tersebut, berita yang dikeluarkan secara internal dan juga eksternal akan mendukung bagaimana kaum marginal memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai posisi manajerial, direksi, maupun komisaris. Hal yang sama juga dilakukan pada kanal media sosial dari Unilever yang sempat merayakan Hari Wanita Internasional yang membawakan narasi bahwa PT Unilever Indonesia mendukung gerakan DEI. Selain itu melalui kanal social media tersebut mereka juga mempromosikan program yang mendukung perempuan dalam bekerja di bidang yang tadinya didominasi oleh laki laki. Program Women in Engineering Unilever Leadership Fellowship ditujukan kepada mahasiswa perempuan yang memiliki latar belakang teknik yang memiliki keinginan untuk berkarier pada rantai pasok Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Diketahui, pada tahun 2023 sebanyak 1.100 mahasiswa berpartisipasi terhadap program tersebut.
Pendekatan etnografi yang diterapkan oleh PT Unilever Indonesia dalam strategi hubungan publiknya menunjukkan bagaimana pemahaman budaya dan pengalaman sosial dapat membentuk komunikasi korporat yang lebih empatik dan relevan. Dalam upayanya mengangkat isu sosial dan gender, Unilever tidak hanya menjalankan program-program CSR simbolik, melainkan menghadirkan inisiatif yang menyentuh langsung kelompok-kelompok marginal. Salah satu contohnya adalah program penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi yang ditujukan kepada penyandang disabilitas, khususnya tunarungu. Program ini menjadi bukti bahwa isu kesehatan, gender, dan disabilitas dapat dijadikan titik masuk strategis dalam membangun relasi yang bermakna antara perusahaan dan masyarakat.
Penerimaan publik terhadap kampanye ini menunjukkan efektivitas pendekatan komunikasi empatik dan berbasis etnografi. Unilever memposisikan dirinya bukan sebagai pengambil keputusan tunggal, melainkan sebagai fasilitator ruang bagi suara-suara yang selama ini tidak terlihat. Dalam narasi kampanye yang disampaikan melalui media sosial, Unilever secara konsisten menggunakan cerita pribadi dari individu yang berasal dari komunitas marginal, seperti perempuan, penyandang disabilitas, hingga kelompok etnis yang bukan kaum mayoritas. Strategi ini tidak hanya memberikan validasi terhadap pengalaman mereka, tetapi juga membentuk ikatan dengan pengguna dan juga masyarakat yang lebih luas.
Penggunaan bahasa inklusif seperti "No more waiting, no more hesitating. Let’s #AccelerateAction for Gender Equality" atau "Setiap orang berhak berkembang" menjadi salah satu contoh dari Unilever dalam menerjemahkan nilai-nilai keberagaman dan inklusi ke dalam praktik komunikasi publik. Selain dari sisi verbal, aspek visual yang ditampilkan juga sangat representatif, mencerminkan keragaman etnis, usia, dan kondisi fisik. Konten yang disampaikan oleh Unilever ditujukan untuk membuat rasa kedekatan dengan karyawan dan juga masyarakat yang menggunakan produk yang dihasilkan oleh Unilever.
Melalui pendekatan etnografi yang mendalam, salah satu cara yang dilakukan oleh Unilever adalah melalui observasi komunitas eksternal dan pencerminan dari internal. Unilever mampu menyusun strategi hubungan publik yang bukan hanya berfokus terhadap isu kritis, namun juga secara proaktif membangun citra perusahaan yang inklusif dan bertanggung jawab secara sosial melalui program program yang dibentuk. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam konteks manajemen isu dan krisis berbasis budaya, etnografi dapat menjadi alat strategis dalam memperkuat hubungan perusahaan dengan publik, sekaligus menciptakan unique point dalam komunikasi merek.
Pendekatan etnografi yang diterapkan oleh PT Unilever Indonesia dalam strategi hubungan publiknya menunjukkan bagaimana pemahaman budaya dan pengalaman sosial dapat membentuk komunikasi korporat yang lebih empatik dan relevan. Dalam upayanya mengangkat isu sosial dan gender, Unilever tidak hanya menjalankan program-program CSR simbolik, melainkan menghadirkan inisiatif yang menyentuh langsung kelompok-kelompok marginal. Salah satu contohnya adalah program penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi yang ditujukan kepada penyandang disabilitas, khususnya tunarungu. Program ini menjadi bukti bahwa isu kesehatan, gender, dan disabilitas dapat dijadikan titik masuk strategis dalam membangun relasi yang bermakna antara perusahaan dan masyarakat.
Penerimaan publik terhadap kampanye ini menunjukkan efektivitas pendekatan komunikasi empatik dan berbasis etnografi. Unilever memposisikan dirinya bukan sebagai pengambil keputusan tunggal, melainkan sebagai fasilitator ruang bagi suara-suara yang selama ini tidak terlihat. Dalam narasi kampanye yang disampaikan melalui media sosial, Unilever secara konsisten menggunakan cerita pribadi dari individu yang berasal dari komunitas marginal, seperti perempuan, penyandang disabilitas, hingga kelompok etnis yang bukan kaum mayoritas. Strategi ini tidak hanya memberikan validasi terhadap pengalaman mereka, tetapi juga membentuk ikatan dengan pengguna dan juga masyarakat yang lebih luas.
Penggunaan bahasa inklusif seperti "No more waiting, no more hesitating. Let’s #AccelerateAction for Gender Equality" atau "Setiap orang berhak berkembang" menjadi salah satu contoh dari Unilever dalam menerjemahkan nilai-nilai keberagaman dan inklusi ke dalam praktik komunikasi publik. Selain dari sisi verbal, aspek visual yang ditampilkan juga sangat representatif, mencerminkan keragaman etnis, usia, dan kondisi fisik. Konten yang disampaikan oleh Unilever ditujukan untuk membuat rasa kedekatan dengan karyawan dan juga masyarakat yang menggunakan produk yang dihasilkan oleh Unilever.
Melalui pendekatan etnografi yang mendalam, salah satu cara yang dilakukan oleh Unilever adalah melalui observasi komunitas eksternal dan pencerminan dari internal. Unilever mampu menyusun strategi hubungan publik yang bukan hanya berfokus terhadap isu kritis, namun juga secara proaktif membangun citra perusahaan yang inklusif dan bertanggung jawab secara sosial melalui program program yang dibentuk. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam konteks manajemen isu dan krisis berbasis budaya, etnografi dapat menjadi alat strategis dalam memperkuat hubungan perusahaan dengan publik, sekaligus menciptakan unique point dalam komunikasi merek.
Lihat Juga :