Rumor dan Fakta Korona serta Reaksi Pelaku Pasar

Jum'at, 06 Maret 2020 - 08:30 WIB
Rumor dan Fakta Korona serta Reaksi Pelaku Pasar
Rumor dan Fakta Korona serta Reaksi Pelaku Pasar
A A A
Hans KweeDirektur Anugerah Mega Investama, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti, dan Dosen Program Studi Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya
PELAKU pasar modal sempat dikejutkan dengan ditemukannya dua kasus korona di Indonesia. Pada Senin, 2 Maret 2020, indeks pasar saham masih menguat di awal sesi pagi. Namun, setelah ada pengumuman, IHSG langsung mengalami koreksi tertekan akibat kekhawatiran dampak virus korona. Ini memang reaksi yang normal di setiap negara ketika ditemukan kasus pertama. Kekhawatiran terlihat berlebihan ketika ditunjukkan adanya aksi memborong sembako di berbagai supermarket . Aksi borong sembako kelihatan sebagai aktivitas besar karena mudahnya akses informasi lewat media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan WhatsApp. Informasi dan foto beredar sangat luas tanpa bisa dilakukan konfirmasi.

Sepekan sebelumnya, pasar keuangan dunia terlebih dulu jatuh tajam akibat kekhawatiran virus korona. Penyebaran virus korona yang begitu cepat di luar China ini diikuti berita negatif di berbagai media menimbulkan kepanikan para pelaku pasar global. Dow Jones memimpin penurunan dengan minus 12% yang kemudian diikuti oleh S&P 500 yang turun 11,5% dan Nasdaq juga terkoreksi 10,5%. Kekhawatiran pelaku pasar dunia khususnya Amerika Serikat dikonfirmasi dengan tambahan eksposur pasar obligasi dan dana keluar dari pasar saham. Tercatat imbal hasil US Treasury AS 10 tahun menyentuh rekor terendah baru di posisi 1,14%.

Orang bilang musuh terbesar kita bukan virus korona, tetapi ketakutan, rumor, dan stigma yang tidak berdasar. Aset kita adalah fakta, alasan atau penjelasan dan solidaritas. Berangkat dari hal tersebut mari membedah bersama apa yang terjadi.

Perkembangan teknologi begitu cepat sehingga aliran informasi begitu banyak dan cepat. Media cetak dan elektronik ditambah hadirnya media sosial mampu menaikkan berbagai informasi yang ada. Bila media cetak dan elektronik masih cukup teratur karena ada aturan dan kode etik sehingga pemberitaan dapat berimbang, media sosial sangat berisiko terpapar rumor yang tidak berdasar. Hoaks menjadi hal yang biasa di berbagai grup percakapan maupun broadcast lewat berbagai aplikasi.

Virus korona digambarkan begitu berbahaya sehingga semua orang menjadi takut dan khawatir. Hal ini ditandai dengan pemakaian masker dan aksi memborong sembako. Ujung dari rumor ini membawa ketakutan sehingga orang memilih mengurangi aktivitas baik pekerjaan maupun bisnis. Akhirnya, jika hal ini dilakukan oleh sebagian besar orang, akan menimbulkan kerugian pada perekonomian secara nasional.
Fakta yang ada sebenarnya memang virus korona menyebar dengan sangat cepat melalui cairan dari tubuh. Metode penyebarannya memang harus ada kontak cairan, langsung ataupun melalui media tangan yang memegang wajah. Faktanya, dari 91.000 penderita pada 3 Maret 2020 ada sekitar 53% yang sembuh, sekitar 3,4% atau 3.100 jiwa yang meninggal dunia. Di China, dari 80.200 kasus ada 47,3 juta yang sembuh, 2.900 yang meninggal. Di negara lain seperti Korea, Italia, Singapura, Hong Kong, Jepang, Vietnam juga menunjukkan angka dan data yang hampir sama.
Sejak 19 Februari 2020, Johns Hopkins University mencatat jumlah pasien yang pulih sudah lebih banyak daripada jumlah kasus baru. Tren ini terus berlanjut sampai saat ini. Memang pada beberapa hari terjadi peningkatan kasus terkena virus korona meningkat, tetapi tetap lebih rendah dibandingkan yang sembuh. WHO mengatakan, epidemi virus korona telah mencapai titik puncak di China, tetapi penyebaran ke negara lain masih menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar.
Bicara dampak ekonomi penyebaran virus korona ini, ada beberapa sektor telah terpapar. Pertama, sektor yang terdampak adalah sektor pariwisata dan penerbangan. Pemerintah Indonesia telah menghentikan jalur penerbangan ke dan dari China sejak 5 Februari 2020. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019 jumlah wisatawan berasal dari China merupakan terbesar kedua atau sekitar 12,9% dari total kunjungan turis asing, yaitu dalam satu tahun ada 2,1 juta kunjungan. Penurunan jumlah wisatawan bukan hanya dari China, tetapi juga dari negara lain akibat kekhawatiran para wisatawan. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan untuk mengantisipasi dampak virus korona ini, salah satunya dengan penurunan harga tiket ke beberapa tempat wisata. Diharapkan kebijakan ini mampu menaikkan wisatawan domestik.

Terkait pasar keuangan, kita juga melihat bagaimana Bank Indonesia melakukan berbagai kebijakan untuk mendorong nadi perekonomian. Dari penurunan suku bunga acuan 7 days repo sebanyak 25 bsp, lalu intervensi di pasar keuangan, penyesuaian giro wajib minimum (GWM). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga bergerak cepat mengantisipasi risiko virus korona. Salah satunya penilaian kualitas aset kredit karena dampak virus korona bisa mengganggu pasokan bahan baku dan alat produksi. Akibatnya, sebuah bisnis yang sehat bisa terganggu dalam jangka pendek. Bila bisnis tersebut tidak dibantu pelonggaran aturan akan berakibat kerugian bank dan pengusaha. Selain itu, OJK melakukan relaksasi pengaturan restrukturisasi kredit agar bisnis yang bermasalah dalam jangka pendek akibat dampak virus korona bisa kembali lancar.

Melihat fakta yang ada dan bagaimana otoritas dan pemerintah begitu sigap mengantisipasi dampak virus korona harusnya pelaku pasar hendaknya tidak ikut-ikut panik dengan melakukan penjualan aset keuangan. Periode koreksi di pasar saham dan pasar surat utang, baik negara maupun swasta, harusnya dimanfaatkan untuk melakukan akumulasi. Koreksi pasar keuangan baik di saham maupun surat utang diperkirakan berlangsung dalam jangka pendek. Investor dengan horizon waktu investasi lebih dari 1 tahun harusnya mengambil kesempatan untuk melakukan pembelian.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5896 seconds (0.1#10.140)