Omnibus Law Diharapkan Permudah Investasi Masuk ke Indonesia

Minggu, 01 Maret 2020 - 17:15 WIB
Omnibus Law Diharapkan Permudah Investasi Masuk ke Indonesia
Omnibus Law Diharapkan Permudah Investasi Masuk ke Indonesia
A A A
JAKARTA - Paket Omnibus Law atau perampingan sejumlah aturan dalam satu undang-undang diharapkan mempermudah investasi masuk ke Indonesia. Namun, dari berbagai pembicaraan di ruang publik, kontroversi soal Omnibus Law lebih dominasi soal ketenagakerjaan saja. (Baca juga: RUU Omnibus Law Tak Akan Hapus Aturan Amdal)

"Semua kalau kita cari (di internet) Omnibus Law ini hanya soal kontra ke revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, padahal Omnibus Law itu enggak cuma ketenagakerjaan, tapi itu ada 1.244 pasal kalau enggak salah, itu banyak klaster. Ketenagakerjaan itu cuma satu. Terpenting adalah ada niat baik dari pemerintah Jokowi, bagaimana caranya untuk mempermudah investasi dari luar," ujar Yohanes Masengi, praktisi hukum dari Makarim & Tiara S, Minggu (1/3/2020).

Yohanes mengatakan, selama ini Indonesia masih berada di urutan 72 dari beberapa negara dalam hal kemudahan berinvestasi dan Indonesia tidak masuk dalam jajaran negara favorit investasi. "Padahal pemerintah sekarang menggenjot investor untuk datang ke Indonesia, dan banyak sekali proyek di Indonesia saat ini yang membutuhkan investasi, tidak hanya dari dalam, tapi juga luar negeri. Misalnya infrastruktur," urainya. (Baca juga: Omnibus Law Permudah Izin, Sektor Properti Bakal Positif)

Dikatakan Yohanes, langkah Jokowi yang selalu menekankan infrastruktur sangat tepat karena Indonesia terdiri dari beberapa kepulauan yang satu sama lain belum semua tersambung. "Jadi misalnya kalau infrastruktur tak terbangun maka terjadi kesenjangan, misalnya harga BBM yang beda," tuturnya.

Dia mencontohkan, di Jepang, orang yang mau ke Tokyo dari Osaka, cukup menggunakan kereta cepat tanpa perlu menggunakan pesawat karena infrastrukturnya sudah tersedia. "Di Indonesia semua tersentral ke Jakarta, padahal Jakarta sendiri belum sesuai harapan karena kemacetan segala macam, itu kan butuh infrastruktur. Ini kota motropolitan dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, tapi tidak ada sistem trasnportasi subway itu saja baru beberapa bulan lalu. Kita sudah ketinggalan jauh dari negara-negara lain," urainya.

Kedua, dalam hal pariwisata, Indonesia selama ini masih sangat tersentralisasi ke Bali. "Nah sekarang pemerintah menciptakan beberapa Bali baru, itu kan butuh tak hanya investor Indonesia, tapi juga investor luar. Misalnya dari segi akomodasi perhotelan dan lainnya, transportasi infrastruktur penghubung, airport baru sehingga kita benar-benar butuh investment. Kita butuh investasi seperti itu kalau misalnya investor malas masuk Indonesia karena kesulitan dalam melakukan investasi karena prosedur yang berbelit-belit," paparnya.

Yohanes mencontohkan, selama ini untuk mendirikan satu perusahaan saja dibutuhkan waktu antara 2-3 bulan untuk pengurusan perizinan. "Di Singapura cuma butuh 15 menit, registrasi jadi, apa orang tidak memilih ke sana. Dengan adanya OSS (Online Single Submission) bisa dipercepat, tapi sudah dipangkas beberapa izin, tetap kita butuh 2 minggu sampai 1 bulan," katanya.

Dengan adanya Omnibus Law, kata Yohanes, bagaimana prosedur investasi yang semula cukup berbelit ke depan lebih gampang. Misalnya, untuk investasi dengan risiko yang rendah cukup dengan pendaftaran sudah bisa melakukan kegiatan berusaha. Kedua untuk medium risk, cukup dengan standardisasi tanpa perlu izin dari pemerintah tapi cukup dari asosiasi. "Ketiga untuk high risk, misalnya yang memengaruhi lingkungan atau sumber daya alam, baru itu yang nantinya izin dari pemerintah," urainya.

Yohanes juga mengingatkan agar nantinya pemerintah mengatur dampak yang ditimbulkan dari adanya Omnibus Law ini. Dia mencontohkan, proses registrasi usaha yang selama ini harus melalui notaris, mungkin nantinya tanpa perlu jasa notaris. "Nah ini mungkin nanti ada pertentangan dari notaris. Ini yang harus dipikirkan eksekusinya," katanya.

Dia menyebut, ada tiga hal yang selama ini menjadi keluhan pengusaha dalam berinvestasi di Indonesia. Pertama yakni perizinan yang berbelit-belit, pemenuhan hak-hak pekerja yang dinilai sangat banyak, misalnya tuntutan kenaikan upah minimum regional (UMR) setiap tahun. "Dan ketiga adalah soal pengadaan lahan yang di-address juga di Omnibus Law, itu sangat memusingkan banyak orang. Misalnya tanah sudah ada sertifikat, tapi kemudian ada orang mengklaim punya sertifikat lain, ini yang sedang diperbaiki pemerintah," tututnya.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam Omnibus Law, kata Yohanes, yakni soal otonomi daerah, dimana UU Otonomi Daerah belum dicabut. "Jangan misalnya kita sudah dapat izin dari OSS, tapi ketika kita ke daerah masih dipertanyakan (oleh pemda). Itu harus diatur, jangan sampai nanti investor malah jadi bingung karena selama ini mindset orang-orang di daerah itu adalah izin dan izin. Kalau ini dipangkas, sudah dibuat simpel, tapi tak bisa diimplementasikan ke daerah, itu harus diatur," katanya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6536 seconds (0.1#10.140)