Simalakama 'Omnibus Law’ Cipta Kerja
loading...
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
BEBERAPA waktu lalu DPR bersama pemerintah mengumumkan akan kembali melakukan pembahasan klaster ketenagakerjaan pada RUU ‘omnibus law’ Cipta Kerja sempat ditunda pembahasannya karena adanya serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB). Kini SP/SB kembali menyampaikan akan melakukan demo besar-besaran jika pemerintah dan DPR tetap membahas dan mengesahkan ‘omnibus law’ Cipta Kerja. Menunda klaster ketenagakerjaan tampaknya kala itu merupakan kompromi sesaat dari pemerintah untuk menghindari demonstrasi besar-besaran di masa pandemi yang dapat berakhir dengan berbagai kerentanan sosial.
Secara psikologis, beberapa bulan lalu pengumuman penundaan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja menjelang hari buruh adalah upaya untuk membangun optimisme para pekerja, meskipun sebenarnya hal ini merupakan bom waktu. Dapat dikatakan sebenarnya kala itu pengumuman penundaan klaster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja merupakan bentuk ‘hiburan’ dari isu yang sebenarnya yakni permasalahan PHK yang terus meningkat pekerja dalam tiga bulan terakhir. Angka tersebut masih akan bertambah secara signifikan setidaknya sampai dengan pandemi Covid-19 benar-benar berakhir.
Persoalannya adalah jika dalam kondisi lesunya perekonomian akibat pandemi dan masyarakat membutuhkan lapangan pekerjaan maka RUU Cipta Kerja diharapkan bisa menjadi salah satu solusi bagi penyerapan, sebagaimana disampaikan dalam pidato pertama presiden Joko Widodo saat pertama kali dilantik sebagai presiden periode 2019 – 2024. Semangat pembentukan omnibus law yang kini dikenal sebagai RUU Cipta Kerja adalah menciptakan aturan yang terintegrasi untuk kesejahteraan masyarakat dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan memudahkan investasi dari hambatan-hambatan yang selama ini menghalangi potensi investasi dan terciptanya lapangan pekerjaan.
Shane Murugan (2011), ahli perundang-undangan Sorbonne University menguraikan bahwa pembahasan omnibus law merupakan satu kesatuan antar bagiannya, mengingat omnibus law merupakan aturan payung yang dibentuk berdasarkan tujuan tertentu. Ihwal semangat pembentukan omnibus law Cipta Kerja di Indonesia adalah membentuk daya saing melalui perekonomian, yakni mengurangi faktor penghambat pada investasi sehingga daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi menjadi lebih baik dan berkorelasi positif pada penciptaan lapangan pekerjaan. Artinya dalam hal ini substansi dari seluruh klaster yang ada dalam RUU Cipta Kerja memiliki kaitan satu sama lain.
Produktif atau Kontra Produktif ?
Kini masyarakat terbelah menyikapi pembahasan kembali RUU Cipta Kerja yang segera akan memasuki klaster ketenagakerjaan. Kalangan yang menyikapi dengan pesimis ini memandang bahwa dengan ditundanya pembahasan RUU Cipta kerja, khususnya penundaan klaster ketenagakerjaan akan menciptakan peluang bagi perubahan substansi di klaster ketenagakerjaan sehingga akan lebih menguntungkan bagi pekerja. Pandangan ini tentunya mewakili pandangan SP/SB maupun mayoritas pekerja.
Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru karena dengan melihat anatomi dari RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 11 klaster yang saling berkaitan, 1200 Pasal yang merangkum tidak kurang dari 79 aturan perundangan, jika salah satu klasternya bermasalah maka akan berdampak pada klaster lainnya. Dengan kondisi demikian jika dipaksakan untuk dibahas dan disahkan maka RUU Cipta Kerja akan potensial menuai banyak gugatan uji materiil (judicial review). Pada akhirnya jika banyak Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi maka justru akan menyebabkan RUU Cipta Kerja tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Klassen (2006), menguraikan bahwa pembentukan aturan payung seperti omnibus law harus benar-benar sempurna dan memerlukan kompromi semua pihak untuk tujuan yang sama. Hal ini mengingat jika ada bagian Pasal yang kemudian dibatalkan atau diubah akan berpengaruh pada pada bagian klaster lainnya dan pada akhirnya justru membuat RUU Cipta Kerja tidak dapat mewujudkan daya saing yang diharapkan.
Sebaliknya bagi kalangan yang menyayangkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan memandang bahwa RUU Cipta kerja dapat menjadi salah satu alat percepatan pemulihan lesunya kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19. Membangun daya saing investasi adalah pintu gerbang yang strategis bagi penciptaan lapangan kerja. Dalam hal ini justru esensi ‘Cipta Kerja’ itu sendiri ada pada pembentukan daya saing yang selama ini menjadi penghambat bagi investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan itu sendiri.
Salah satu pandangan yang mendukung RUU Cipta kerja untuk segera disahkan maka dapat menjadi salah satu solusi bagi tingginya PHK pada pekerja pada masa pandemi Covid-19. Demikian pula RUU Cipta Kerja dapat mendorong inkubator bisnis sebagaimana diharapkan dalam program kartu pra kerja. Dalam kondisi resesi dan pertumbuhan ekonomi minus, omnibus law Cipta Kerja dapat menjadi insentif dalam pemulihan perekonomian pasca pandemi.
Dengan adanya RUU ‘omnibus law’ Cipta kerja yang mendorong daya saing industri dan daya saing investasi maka penyerapan tenaga kerja juga semakin besar. Demikian pula dengan adanya urgensi pembentukan inkubator bisnis sebagai tujuan dari kartu pra kerja melalui pembentukan industri maupun investasi yang berdaya saing. Artinya tanpa tumbuhnya inkubator bisnis yang dimaksudkan pemerintah dalam kartu pra kerja maka melonjaknya angka PHK akan semakin membebani pemerintah itu sendiri.
Demikian pula jika pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja terhambat maka konsekuensinya adalah tumpang tindih regulasi, birokrasi yang panjang, aturan yang kontra produktif dan menghambat investasi dan masalah lainnya yang menghambat pembentukan daya saing akan semakin sulit untuk diselesaikan. Dalam rapat perdana pemerintah pada pembahasan RUU Cipta Kerja disampaikan bahwa RUU Cipta Kerja merupakan satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah tersebut diatas. Bahkan dalam gelaran World Economic Forum 2019 di Davos, pemerintah sudah mulai mengintrodusir hadirnya omnibus law untuk menggaet investor guna penyerapan tenaga kerja yang lebih optimal.
Bagaimanapun omnibus law, dalam hal ini RUU Cipta Kerja harus dapat diselesaikan pembahasannya dan disahkan guna kepentingan pemulihan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Seluruh pemangku kepentingan harus dapat duduk bersama untuk menemukan kompromi bagi pembentukan daya saing untuk kesejahteraan bangsa. Menunda pembahasan dalam waktu yang tidak pasti maupun menyelesaikan sengketa substansi melalui jalur hukum (uji materiil) akan berdampak kontraproduktif dengan keadaan perekonomian pasca pandemi Covid-19. RUU Cipta Kerja tetap harus dibahas secara utuh dengan mengakomodir kepentingan semua pihak tanpa kehilangan esensinya sebagai omnibus law, dan tentunya RUU Cipta Kerja harus disahkan tepat pada waktunya.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
BEBERAPA waktu lalu DPR bersama pemerintah mengumumkan akan kembali melakukan pembahasan klaster ketenagakerjaan pada RUU ‘omnibus law’ Cipta Kerja sempat ditunda pembahasannya karena adanya serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB). Kini SP/SB kembali menyampaikan akan melakukan demo besar-besaran jika pemerintah dan DPR tetap membahas dan mengesahkan ‘omnibus law’ Cipta Kerja. Menunda klaster ketenagakerjaan tampaknya kala itu merupakan kompromi sesaat dari pemerintah untuk menghindari demonstrasi besar-besaran di masa pandemi yang dapat berakhir dengan berbagai kerentanan sosial.
Secara psikologis, beberapa bulan lalu pengumuman penundaan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja menjelang hari buruh adalah upaya untuk membangun optimisme para pekerja, meskipun sebenarnya hal ini merupakan bom waktu. Dapat dikatakan sebenarnya kala itu pengumuman penundaan klaster ketenagakerjaan pada RUU Cipta Kerja merupakan bentuk ‘hiburan’ dari isu yang sebenarnya yakni permasalahan PHK yang terus meningkat pekerja dalam tiga bulan terakhir. Angka tersebut masih akan bertambah secara signifikan setidaknya sampai dengan pandemi Covid-19 benar-benar berakhir.
Persoalannya adalah jika dalam kondisi lesunya perekonomian akibat pandemi dan masyarakat membutuhkan lapangan pekerjaan maka RUU Cipta Kerja diharapkan bisa menjadi salah satu solusi bagi penyerapan, sebagaimana disampaikan dalam pidato pertama presiden Joko Widodo saat pertama kali dilantik sebagai presiden periode 2019 – 2024. Semangat pembentukan omnibus law yang kini dikenal sebagai RUU Cipta Kerja adalah menciptakan aturan yang terintegrasi untuk kesejahteraan masyarakat dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan memudahkan investasi dari hambatan-hambatan yang selama ini menghalangi potensi investasi dan terciptanya lapangan pekerjaan.
Shane Murugan (2011), ahli perundang-undangan Sorbonne University menguraikan bahwa pembahasan omnibus law merupakan satu kesatuan antar bagiannya, mengingat omnibus law merupakan aturan payung yang dibentuk berdasarkan tujuan tertentu. Ihwal semangat pembentukan omnibus law Cipta Kerja di Indonesia adalah membentuk daya saing melalui perekonomian, yakni mengurangi faktor penghambat pada investasi sehingga daya saing Indonesia sebagai tujuan investasi menjadi lebih baik dan berkorelasi positif pada penciptaan lapangan pekerjaan. Artinya dalam hal ini substansi dari seluruh klaster yang ada dalam RUU Cipta Kerja memiliki kaitan satu sama lain.
Produktif atau Kontra Produktif ?
Kini masyarakat terbelah menyikapi pembahasan kembali RUU Cipta Kerja yang segera akan memasuki klaster ketenagakerjaan. Kalangan yang menyikapi dengan pesimis ini memandang bahwa dengan ditundanya pembahasan RUU Cipta kerja, khususnya penundaan klaster ketenagakerjaan akan menciptakan peluang bagi perubahan substansi di klaster ketenagakerjaan sehingga akan lebih menguntungkan bagi pekerja. Pandangan ini tentunya mewakili pandangan SP/SB maupun mayoritas pekerja.
Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru karena dengan melihat anatomi dari RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 11 klaster yang saling berkaitan, 1200 Pasal yang merangkum tidak kurang dari 79 aturan perundangan, jika salah satu klasternya bermasalah maka akan berdampak pada klaster lainnya. Dengan kondisi demikian jika dipaksakan untuk dibahas dan disahkan maka RUU Cipta Kerja akan potensial menuai banyak gugatan uji materiil (judicial review). Pada akhirnya jika banyak Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi maka justru akan menyebabkan RUU Cipta Kerja tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Klassen (2006), menguraikan bahwa pembentukan aturan payung seperti omnibus law harus benar-benar sempurna dan memerlukan kompromi semua pihak untuk tujuan yang sama. Hal ini mengingat jika ada bagian Pasal yang kemudian dibatalkan atau diubah akan berpengaruh pada pada bagian klaster lainnya dan pada akhirnya justru membuat RUU Cipta Kerja tidak dapat mewujudkan daya saing yang diharapkan.
Sebaliknya bagi kalangan yang menyayangkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan memandang bahwa RUU Cipta kerja dapat menjadi salah satu alat percepatan pemulihan lesunya kondisi perekonomian akibat pandemi Covid-19. Membangun daya saing investasi adalah pintu gerbang yang strategis bagi penciptaan lapangan kerja. Dalam hal ini justru esensi ‘Cipta Kerja’ itu sendiri ada pada pembentukan daya saing yang selama ini menjadi penghambat bagi investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan itu sendiri.
Salah satu pandangan yang mendukung RUU Cipta kerja untuk segera disahkan maka dapat menjadi salah satu solusi bagi tingginya PHK pada pekerja pada masa pandemi Covid-19. Demikian pula RUU Cipta Kerja dapat mendorong inkubator bisnis sebagaimana diharapkan dalam program kartu pra kerja. Dalam kondisi resesi dan pertumbuhan ekonomi minus, omnibus law Cipta Kerja dapat menjadi insentif dalam pemulihan perekonomian pasca pandemi.
Dengan adanya RUU ‘omnibus law’ Cipta kerja yang mendorong daya saing industri dan daya saing investasi maka penyerapan tenaga kerja juga semakin besar. Demikian pula dengan adanya urgensi pembentukan inkubator bisnis sebagai tujuan dari kartu pra kerja melalui pembentukan industri maupun investasi yang berdaya saing. Artinya tanpa tumbuhnya inkubator bisnis yang dimaksudkan pemerintah dalam kartu pra kerja maka melonjaknya angka PHK akan semakin membebani pemerintah itu sendiri.
Demikian pula jika pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja terhambat maka konsekuensinya adalah tumpang tindih regulasi, birokrasi yang panjang, aturan yang kontra produktif dan menghambat investasi dan masalah lainnya yang menghambat pembentukan daya saing akan semakin sulit untuk diselesaikan. Dalam rapat perdana pemerintah pada pembahasan RUU Cipta Kerja disampaikan bahwa RUU Cipta Kerja merupakan satu-satunya solusi untuk mengatasi masalah tersebut diatas. Bahkan dalam gelaran World Economic Forum 2019 di Davos, pemerintah sudah mulai mengintrodusir hadirnya omnibus law untuk menggaet investor guna penyerapan tenaga kerja yang lebih optimal.
Bagaimanapun omnibus law, dalam hal ini RUU Cipta Kerja harus dapat diselesaikan pembahasannya dan disahkan guna kepentingan pemulihan perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Seluruh pemangku kepentingan harus dapat duduk bersama untuk menemukan kompromi bagi pembentukan daya saing untuk kesejahteraan bangsa. Menunda pembahasan dalam waktu yang tidak pasti maupun menyelesaikan sengketa substansi melalui jalur hukum (uji materiil) akan berdampak kontraproduktif dengan keadaan perekonomian pasca pandemi Covid-19. RUU Cipta Kerja tetap harus dibahas secara utuh dengan mengakomodir kepentingan semua pihak tanpa kehilangan esensinya sebagai omnibus law, dan tentunya RUU Cipta Kerja harus disahkan tepat pada waktunya.
(ras)