Dari Keong Darat, Ayu Savitri pun Amalkan Cinta Tanah Air
loading...
A
A
A
JAKARTA - Meneliti dan Pancasila, dua hal yang sepertinya tak berkaitan. Namun Pancasila tak sekadar memiliki lima butir sebagai ideologi bangsa. Dalam keseharian, Pancasila sangat mungkin diamalkan. Sedikitnya puluhan sikap atau tindakan yang menjadikan Pancasila dapat diamalkan dan itu tertuang dalam sebuah ketentuan yang diputuskan lembaga Majelis Permusyawarayan Rakyat (MPR).
Meneliti dan Pancasila, menjelma pada putri kebanggaan bangsa bernama Ayu Savitri. Bernama lengkap Ayu Savitri Nurinsiyah, merupakan doktor muda lulusan Jerman, seorang peneliti Indonesia dengan spesialisasi penelitian keong darat. Keseriusan sekaligus konsistensinya terhadap keong darat membawanya sebagai peraih Ikon Prestasi Pancasila tahun 2020 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dengan keseriusannya meneliti keong darat serta sejumlah prestasi lainnya Ayu Savitri telah mengamalkan sila ketiga Persatuan Indonesia yakni mengembangkan rasa cinta kepada Tanah Air dan bangsa. Juga mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan berTanah Air Indonesia.
Ayu Savitri ikut serta dalam program summer course Universitas Harvard di Kalimantan juga karena keong darat yang ditelinya. Selain itu keong darat pula yang membuat dirinya bisa magang di Natural History Museum, London, Inggris. Di sana, Ayu mempelajari bagaimana membedah keong darat untuk mengetahui secara spesifik organ binatang tersebut.
Berkah keong darat lain yang dikenyam Ayu yaitu mendapat tawaran beasiswa untuk mengambil strata 3 di Jerman. Alhasil, Ayu Savitro beroleh gelar doktor dari kegemarannya meneliti keong darat. "Pas pulang tahun 2018 ada pembukaan di LIPI di laboratorium molusca, bidang biologi. Saya apply CPNS, ikut semua SKD dan SKB, Alhamdulillah lulus dan sekarang jadi peneliti," ujar Ayu menceritakan awal mula meniti karir sebagai peneliti LIPI.
Ayu kemudian menceritakan awal perkenalan dengan keong darat, itu terjadi belasan tahun silam ketika sedang berada di kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah. Kala itu, dia mengaku takjub lendir dari keong darat bisa menghentikan pendarahan di kaki saudaranya yang luka akibat menginjak pecahan kaca.
Dari situ, Ayu seolah tak bisa lepas dari keong darat. Misalnya, dia mengulas soal keong darat ketika membuat artikel mata pelajaran Biologi dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) Sekolah Menengah Atas. "Saya bikin tulisan, kan saya baca tentang keong. Semakin saya baca, semakin saya tidak tahu. Maksudnya, kok ternyata keong bisa macam-macam ya. Saya jadi kepo," ujar Ayu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Penasaran Ayu terhadap keong darat terus berlanjut hingga mengambil gelar sarjana di Universitas Padjadjaran (Unpad). Bahkan, dia menyebut karya ilmiah, kuliah kerja, hingga skripsinya berkaitan dengan keong darat.
Ayu menyampaikan kesenangan menjadi peneliti keanekaragaman hayati adalah bersentuhan dengan alam. Sehingga, tidak melulu harus berada di dalam laboratorium untuk menemukan sesuatu. "Dasar jadi peneliti keanekaragaman hayati adalah kita melakukan ekspedisi ke tempat-tempat yang ada di Indonesia," ujar Ayu.
Bagi Ayu, alam Indonesia adalah laboratorium keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Banyak flora dan fauna aneh bisa ditemukan di Indonesia. Hal itu pula lah yang kemudian menjadi alasan lain dirinya memilih pulang ke Indonesia menjadi peneliti.
Meski demikian, Ayu mengatakan untuk mengidentifikasi spesies baru memerlukan tahap panjang. Misalnya, salah satu spesies keong dinyatakan baru setelah empat tahun diteliti lewat literatur hingga pembedahan.
Bahkan, dia berkata harus berkemah di sebuah tempat untuk mencari spesies keong darat yang baru. Selain itu, publikasi juga diperlukan untuk dianalisis oleh ahli keong darat lain di seluruh dunia. "Jadi perjalannya tidak mudah," ujarnya.
Di sisi lain, Ayu menjelaskan penelitian keanekaragaman hayati, misalnya penelitian tentang keong darat adalah dasar dari seluruh penelitian. Sehingga, inovasi tidak akan terwujud jika proses fundamental itu dilewati. Bahkan, kebijakan juga bisa salah karena penelitian keanekaragaman hayati dianggap remeh.
Misalnya, salah satu keong darat bisa punah hanya karena kebijakan pemerintah untuk memberantas hama tanaman. Pasalnya, pembuat kebijakan tidak bisa membedakan bekicot dengan keong darat yang endemik di wilayah itu.
"Kita gembar-gembor di luar sana Indonesia merupakan mega biodiversity, tertinggi dan mengalahkan Brazil bila keanekaragaman laut dan darat kita disatukan. Tapi begitu sampai ke bawah ternyata kita mengeliminasi jenis (keong) kita sendiri, itu kan sedih," ujar Ayu.
Tak hanya itu, penelitian keanekaragaman hayati menjadi penting untuk menemukan keong darat yang bisa bermanfaat secara ekonomi. Di Thailand, lendir keong darat sudah dimanfaatkan untuk komponen masker wajah. Di beberapa negara, keong darat sebagai obat. Memang membutuhkan waktu lama untuk menemukan spesies keong darat yang bermanfaat, seperti Thailand yang melakukan penelitian sejak tahun 1980an. Akan tetapi, penelitian panjang bisa menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi di kemudian hari.
Ayu menilai peneliti di Indonesia masih sangat perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Di Jerman, peneliti mendapat dukungan karena pemerintahnya mengambil kebijakan berdasarkan sains.
Ayu kembali mengutarakan bahwa Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayati. Namun, penelitian yang ada saat ini hanya fokus pada penelitian yang memberikan dampak langsung. "Yang namanya inovasi itu ketika punya dasar. Penelitian keanekaragaman hayati adalah dasarnya. Jadi sebelum inovasi harus perlu dasarnya. Itu yang terkadang terlewatkan, membuat kami sulit keanekaragaman hayati," ujar Ayu.
Lebih dari itu, dia mengajak anak muda untuk peduli dengan keanekaragaman hayati di Indonesia. Khusus untuk keong darat, dia melihat peneliti spesies itu masih sangat sedikit.
Dengan banyak peneliti, dia menegaskan berbagai hal positif akan ditemukan bagi bangsa ke depan. "Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Saya berharap itu bisa menjadi modal kita untuk maju dan mandiri," ujarnya.
Meneliti dan Pancasila, menjelma pada putri kebanggaan bangsa bernama Ayu Savitri. Bernama lengkap Ayu Savitri Nurinsiyah, merupakan doktor muda lulusan Jerman, seorang peneliti Indonesia dengan spesialisasi penelitian keong darat. Keseriusan sekaligus konsistensinya terhadap keong darat membawanya sebagai peraih Ikon Prestasi Pancasila tahun 2020 dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dengan keseriusannya meneliti keong darat serta sejumlah prestasi lainnya Ayu Savitri telah mengamalkan sila ketiga Persatuan Indonesia yakni mengembangkan rasa cinta kepada Tanah Air dan bangsa. Juga mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan berTanah Air Indonesia.
Ayu Savitri ikut serta dalam program summer course Universitas Harvard di Kalimantan juga karena keong darat yang ditelinya. Selain itu keong darat pula yang membuat dirinya bisa magang di Natural History Museum, London, Inggris. Di sana, Ayu mempelajari bagaimana membedah keong darat untuk mengetahui secara spesifik organ binatang tersebut.
Berkah keong darat lain yang dikenyam Ayu yaitu mendapat tawaran beasiswa untuk mengambil strata 3 di Jerman. Alhasil, Ayu Savitro beroleh gelar doktor dari kegemarannya meneliti keong darat. "Pas pulang tahun 2018 ada pembukaan di LIPI di laboratorium molusca, bidang biologi. Saya apply CPNS, ikut semua SKD dan SKB, Alhamdulillah lulus dan sekarang jadi peneliti," ujar Ayu menceritakan awal mula meniti karir sebagai peneliti LIPI.
Ayu kemudian menceritakan awal perkenalan dengan keong darat, itu terjadi belasan tahun silam ketika sedang berada di kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah. Kala itu, dia mengaku takjub lendir dari keong darat bisa menghentikan pendarahan di kaki saudaranya yang luka akibat menginjak pecahan kaca.
Dari situ, Ayu seolah tak bisa lepas dari keong darat. Misalnya, dia mengulas soal keong darat ketika membuat artikel mata pelajaran Biologi dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) Sekolah Menengah Atas. "Saya bikin tulisan, kan saya baca tentang keong. Semakin saya baca, semakin saya tidak tahu. Maksudnya, kok ternyata keong bisa macam-macam ya. Saya jadi kepo," ujar Ayu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com.
Penasaran Ayu terhadap keong darat terus berlanjut hingga mengambil gelar sarjana di Universitas Padjadjaran (Unpad). Bahkan, dia menyebut karya ilmiah, kuliah kerja, hingga skripsinya berkaitan dengan keong darat.
Ayu menyampaikan kesenangan menjadi peneliti keanekaragaman hayati adalah bersentuhan dengan alam. Sehingga, tidak melulu harus berada di dalam laboratorium untuk menemukan sesuatu. "Dasar jadi peneliti keanekaragaman hayati adalah kita melakukan ekspedisi ke tempat-tempat yang ada di Indonesia," ujar Ayu.
Bagi Ayu, alam Indonesia adalah laboratorium keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Banyak flora dan fauna aneh bisa ditemukan di Indonesia. Hal itu pula lah yang kemudian menjadi alasan lain dirinya memilih pulang ke Indonesia menjadi peneliti.
Meski demikian, Ayu mengatakan untuk mengidentifikasi spesies baru memerlukan tahap panjang. Misalnya, salah satu spesies keong dinyatakan baru setelah empat tahun diteliti lewat literatur hingga pembedahan.
Bahkan, dia berkata harus berkemah di sebuah tempat untuk mencari spesies keong darat yang baru. Selain itu, publikasi juga diperlukan untuk dianalisis oleh ahli keong darat lain di seluruh dunia. "Jadi perjalannya tidak mudah," ujarnya.
Di sisi lain, Ayu menjelaskan penelitian keanekaragaman hayati, misalnya penelitian tentang keong darat adalah dasar dari seluruh penelitian. Sehingga, inovasi tidak akan terwujud jika proses fundamental itu dilewati. Bahkan, kebijakan juga bisa salah karena penelitian keanekaragaman hayati dianggap remeh.
Misalnya, salah satu keong darat bisa punah hanya karena kebijakan pemerintah untuk memberantas hama tanaman. Pasalnya, pembuat kebijakan tidak bisa membedakan bekicot dengan keong darat yang endemik di wilayah itu.
"Kita gembar-gembor di luar sana Indonesia merupakan mega biodiversity, tertinggi dan mengalahkan Brazil bila keanekaragaman laut dan darat kita disatukan. Tapi begitu sampai ke bawah ternyata kita mengeliminasi jenis (keong) kita sendiri, itu kan sedih," ujar Ayu.
Tak hanya itu, penelitian keanekaragaman hayati menjadi penting untuk menemukan keong darat yang bisa bermanfaat secara ekonomi. Di Thailand, lendir keong darat sudah dimanfaatkan untuk komponen masker wajah. Di beberapa negara, keong darat sebagai obat. Memang membutuhkan waktu lama untuk menemukan spesies keong darat yang bermanfaat, seperti Thailand yang melakukan penelitian sejak tahun 1980an. Akan tetapi, penelitian panjang bisa menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi di kemudian hari.
Ayu menilai peneliti di Indonesia masih sangat perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Di Jerman, peneliti mendapat dukungan karena pemerintahnya mengambil kebijakan berdasarkan sains.
Ayu kembali mengutarakan bahwa Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman hayati. Namun, penelitian yang ada saat ini hanya fokus pada penelitian yang memberikan dampak langsung. "Yang namanya inovasi itu ketika punya dasar. Penelitian keanekaragaman hayati adalah dasarnya. Jadi sebelum inovasi harus perlu dasarnya. Itu yang terkadang terlewatkan, membuat kami sulit keanekaragaman hayati," ujar Ayu.
Lebih dari itu, dia mengajak anak muda untuk peduli dengan keanekaragaman hayati di Indonesia. Khusus untuk keong darat, dia melihat peneliti spesies itu masih sangat sedikit.
Dengan banyak peneliti, dia menegaskan berbagai hal positif akan ditemukan bagi bangsa ke depan. "Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Saya berharap itu bisa menjadi modal kita untuk maju dan mandiri," ujarnya.
(alf)