Omnibus Law RUU Cipta Kerja Dinilai Alami Kecelakaan Akademik
A
A
A
JAKARTA - Konsep Omnibus Law terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja, khususnya Pasal 170 Ayat (1) dinilai sebagai kecelakaan akademik.
Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing, mengatakan, sangat jelas tertuang dalam konstitusi bahwa sebagai negara demokrasi, pembuatan dan atau perubahan UU merupakan produk DPR bersama dengan pemerintah pusat (Lembaga Kepresidenan). ”Jadi, merujuk pada konstitusi, Lembaga Kepresiden belum diberikan kewenangan membuat dan atau mengubah UU,” katanya, Selasa (18/2/2020).
Menurutnya, pada Pasal 170 Ayat (1) tersebut tidak mempunyai pijakan konstitusional sehingga inkonstitusional. RUU Cipta Kerja Pasal 170 ayat (1) berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini.”
Selain inkonstitusional, kata dia, isi ayat tersebut memberikan luasan atau keleluasaan dan kewenangan yang luar biasa kepada pemerintah pusat hampir tanpa batas. ”Bayangkan melalui peraturan pemerintah (PP) yang lebih rendah dari UU, bisa mengubah isi pasal dan atau ayat dari suatu UU. Sangat mengejutkan kita semua,” urainya.
Dijelaskan, isi RUU Cipta Kerja, Pasal 170 ayat (2) berbunyi "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Pasal dari suatu UU direduksi menjadi PP.
“Aneh tapi nyata dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 170 telah menciderai tujuan mulia yang demokratis dilakukannya Omnibus Law sebagai gagasan revolusioner narasi UU yang sangat valid untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia di semua bidang kehidupan,” paparnya.
Narasi yang termuat pada pasal 170 tersebut, kata Emrus, sekaligus membuktikan lemahnya komunikasi pelibatan publik semua pemangku kepentingan oleh pemerintah pusat dalam proses merumuskan teks Omnisbus Law dalam bidang Cipta Kerja. Dengan kata lain, isi pasal yang terkesan otoriter tersebut tidak akan terjadi jika rumusan RUU Cipta Kerja dihasilkan melalui proses komunikasi transparansi.
“Para pihak berkontribusi memberikan pemikiran, pandangan, kritikan dan masukan. Yang terjadi, tiba-tiba RUU Cipta Kerja diajukan ke DPR. Akibatnya, sebagian publik bertanya, apa ada makna tertentu di balik isi pasal demi pasal,” katanya.
Dikatakan Emrus, memang disajikan pula pada pasal 170 ayat (3) bahwa "Dalam rangka penetapan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia."
“Sebenarnya isi ayat ini merupakan strategi penghalusan (eufimisme) narasi yang mencoba menghilangkan jejak kesewenangan dengan mencantumkan bahwa Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR,” katanya.
Pemakaian kata “dapat” dinilai bisa bertujuan sebagai manipulasi persepsi publik. Masyarakat yang kurang kritis akan memaknainya bahwa keharusan bagi pemerintah pusat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia sebelum melakukan perubahan dari isi suatu UU.
“Seolah-olah sudah melalui dialog dua arah. Padahal, makna “dapat” dalam ayat (3) tersebut, sebagai bukan kewajiban, bisa dilakukan konsultasi, bisa juga tanpa konsultasi ketika pemerintah pusat ingin merubah isi suatu UU tertentu,” tuturnya.
Dengan demikian, narasi RUU Cipta Kerja, pasal 170 sangat berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah pusat siapapun rezim yang berkuasan ke depan. Karena itu, pasal tersebut harus dikubur dalam-dalam. “Lalu, para pihak yang merumuskan RUU Cipta Kerja, termasuk yang ikut serta melakukan kajian akademik, menjadi kewajiban moral bertanggungjawab kepada publik dengan menjelaskan mengapa narasi tersebut bisa muncul seperti itu. Apakah ada motif politik tertentu?” tanya Emrus.
Terlepas dari apa agenda di balik pembuatan narasi, menurut Emrus, rumusan tersebut dapat dikategorikan sebagai kecelakaan akademik dari aspek konstitusi dan demokrasi. “Tidak ada salahnya mereka semua pihak yang terkait menyampaikan permohonan maaf. Saya berhipotesa ringan, ini bukan sekadar kesalahan ketik seperti diduga Mahfud MD (Menko Polhukam) sebagai suatu kemungkinan, tetapi merupakan pekerjaan yang dilakukan secara serius, penuh kehati-hatian, apalagi telah melalui kajian akademik,” kata Direktur Ekesekutif Emrus Corner ini.
Menurutnya, RUU yang diajukan harus ke DPR selalu dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perppu.
Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta, Emrus Sihombing, mengatakan, sangat jelas tertuang dalam konstitusi bahwa sebagai negara demokrasi, pembuatan dan atau perubahan UU merupakan produk DPR bersama dengan pemerintah pusat (Lembaga Kepresidenan). ”Jadi, merujuk pada konstitusi, Lembaga Kepresiden belum diberikan kewenangan membuat dan atau mengubah UU,” katanya, Selasa (18/2/2020).
Menurutnya, pada Pasal 170 Ayat (1) tersebut tidak mempunyai pijakan konstitusional sehingga inkonstitusional. RUU Cipta Kerja Pasal 170 ayat (1) berbunyi, "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini.”
Selain inkonstitusional, kata dia, isi ayat tersebut memberikan luasan atau keleluasaan dan kewenangan yang luar biasa kepada pemerintah pusat hampir tanpa batas. ”Bayangkan melalui peraturan pemerintah (PP) yang lebih rendah dari UU, bisa mengubah isi pasal dan atau ayat dari suatu UU. Sangat mengejutkan kita semua,” urainya.
Dijelaskan, isi RUU Cipta Kerja, Pasal 170 ayat (2) berbunyi "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Pasal dari suatu UU direduksi menjadi PP.
“Aneh tapi nyata dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 170 telah menciderai tujuan mulia yang demokratis dilakukannya Omnibus Law sebagai gagasan revolusioner narasi UU yang sangat valid untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia di semua bidang kehidupan,” paparnya.
Narasi yang termuat pada pasal 170 tersebut, kata Emrus, sekaligus membuktikan lemahnya komunikasi pelibatan publik semua pemangku kepentingan oleh pemerintah pusat dalam proses merumuskan teks Omnisbus Law dalam bidang Cipta Kerja. Dengan kata lain, isi pasal yang terkesan otoriter tersebut tidak akan terjadi jika rumusan RUU Cipta Kerja dihasilkan melalui proses komunikasi transparansi.
“Para pihak berkontribusi memberikan pemikiran, pandangan, kritikan dan masukan. Yang terjadi, tiba-tiba RUU Cipta Kerja diajukan ke DPR. Akibatnya, sebagian publik bertanya, apa ada makna tertentu di balik isi pasal demi pasal,” katanya.
Dikatakan Emrus, memang disajikan pula pada pasal 170 ayat (3) bahwa "Dalam rangka penetapan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia."
“Sebenarnya isi ayat ini merupakan strategi penghalusan (eufimisme) narasi yang mencoba menghilangkan jejak kesewenangan dengan mencantumkan bahwa Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR,” katanya.
Pemakaian kata “dapat” dinilai bisa bertujuan sebagai manipulasi persepsi publik. Masyarakat yang kurang kritis akan memaknainya bahwa keharusan bagi pemerintah pusat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia sebelum melakukan perubahan dari isi suatu UU.
“Seolah-olah sudah melalui dialog dua arah. Padahal, makna “dapat” dalam ayat (3) tersebut, sebagai bukan kewajiban, bisa dilakukan konsultasi, bisa juga tanpa konsultasi ketika pemerintah pusat ingin merubah isi suatu UU tertentu,” tuturnya.
Dengan demikian, narasi RUU Cipta Kerja, pasal 170 sangat berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah pusat siapapun rezim yang berkuasan ke depan. Karena itu, pasal tersebut harus dikubur dalam-dalam. “Lalu, para pihak yang merumuskan RUU Cipta Kerja, termasuk yang ikut serta melakukan kajian akademik, menjadi kewajiban moral bertanggungjawab kepada publik dengan menjelaskan mengapa narasi tersebut bisa muncul seperti itu. Apakah ada motif politik tertentu?” tanya Emrus.
Terlepas dari apa agenda di balik pembuatan narasi, menurut Emrus, rumusan tersebut dapat dikategorikan sebagai kecelakaan akademik dari aspek konstitusi dan demokrasi. “Tidak ada salahnya mereka semua pihak yang terkait menyampaikan permohonan maaf. Saya berhipotesa ringan, ini bukan sekadar kesalahan ketik seperti diduga Mahfud MD (Menko Polhukam) sebagai suatu kemungkinan, tetapi merupakan pekerjaan yang dilakukan secara serius, penuh kehati-hatian, apalagi telah melalui kajian akademik,” kata Direktur Ekesekutif Emrus Corner ini.
Menurutnya, RUU yang diajukan harus ke DPR selalu dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perppu.
(cip)