Berebut Jaksa Pinangki

Kamis, 03 September 2020 - 08:35 WIB
loading...
Berebut Jaksa Pinangki
Jaksa Pinangki (tengah) ketika ditangkap karena dugaan kasus suap Djoko Tjandra. Foto: dok/Antara
A A A
JAKARTA - Kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari terus bergulir. Setelah ditetapkan tersangka kasus penerima suap dari Djoko Tjandra sebesar Rp7,4 miliar atau USD500.000, Kejaksaan Agung (Kejagung) juga menetapkan Pinangki sebagai tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Sejumlah tempat Pinangki digeledah, termasuk dua apartemen mewah miliknya di kawasan Jakarta Selatan. Dari tempat tersebut penyidik menyita sejumlah dokumen, termasuk satu unit mobil BMW X5 seharga miliaran rupiah. Diduga mobil tersebut hasil kejahatan yang dilakukan saat berhubungan dengan Djoko Tjandra. (Baca: Kepemimpinan KAMI Sudah Final, Struktur Anggota Segera Dibentuk)

“Mobil tersebut disita hasil dari penggeledahan di apartemen Pinangki yang terletak di Jakarta Selatan. Mobil sitaan tersebut akan dijadikan barang bukti dalam perkara ini,” ujar Kapuspenkum Kejagung Hari Setiyono, kemarin.

Kasus yang menyeret Jaksa Pinangki muncul setelah fotonya dengan Djoko Tjandra di luar negeri tersebar luas di masyarakat. Waktu itu, Djoko masih berstatus buron. Pinangki sebelumnya sudah dijatuhi hukuman disiplin karena pergi ke luar negeri tanpa izin pimpinan sebanyak sembilan kali selama 2019.

Berebut Jaksa Pinangki


Kejagung kemudian menetapkan Pinangki sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait Djoko. Dalam kasus ini, penyidik menemukan bukti dugaan tindak pidana berupa penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri. Pinangki lalu ditangkap dan dibawa ke Kejagung untuk diperiksa. Penyidik memutuskan untuk menahan yang bersangkutan selama 20 hari, berlaku sejak 11 hingga 31 Agustus 2020.

Kejagung memang mengambil langsung kasus ini. Namun, publik meragukan penanganan oknum jaksa itu apabila dilakukan oleh institusi yang menaunginya karena kental akan konflik kepentingan. Komisi Kejaksaan (Komjak) misalnya merekomendasikan penanganan kasus Pinangki oleh KPK agar tidak akan menimbulkan conflict of interest dan juga lebih profesional.

Permintaan yang sama disampaikan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) dan Indonesian Corruption Watch (ICW). Mereka meminta KPK mengambil alih kasus tersebut. Bahkan, untuk membuktikan Kejagung tidak punya beban dalam menyidik Pinangki, Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyatakan, bila perlu KPK mengambil alih proses hukumnya. “Agar Kejagung menerima dengan tulus dan tangan terbuka atas kehadiran KPK dalam menjalankan tugas supervisi dan koordinasi,” ungkap Boyamin.

Sejak awal ICW juga meragukan keseriusan Kejagung untuk membongkar perkara korupsi yang melibatkan Pinangki. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menagih komitmen dan keberanian dari Pimpinan KPK untuk segera mengambil alih penanganan perkara yang melibatkan Pinangki dari Kejagung. (Baca juga: Pesta Gay di Kuningan Jakarta Digerebek, Puluhan Pria Diamankan Polisi)

Kurnia memandang, keraguan ICW dengan Kejagung bermula dari dikeluarkannya pedoman pemeriksaan Jaksa yang mesti melalui izin dari Jaksa Agung. Terlebih, Kejagung sempat berencana memberikan bantuan hukum kepada Pinangki. Bahkan, Komisi Kejaksaan terlihat tidak diberikan akses untuk memeriksa Pinangki. “Kejaksaan Agung diduga tidak pernah melibatkan KPK dalam setiap proses penanganan perkara,” ujarnya, menyesal.

Kejagung sebelumnya memastikan tidak akan menyerahkan proses penanganan perkara dugaan suap Jaksa Pinangki ke KPK. Namun, lembaga hukum yang dipimpin oleh ST Burhanuddin itu mengklaim telah berkoordinasi dan menyupervisi kasus itu dengan KPK. "Pasti nanti kami akan koordinasi dan supervisi dengan KPK," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono, Senin 31 Agustus 2020.

Wakil KPK Nawawi Pomolango mengatakan, Kejagung sebaiknya menyerahkan kasus suap Pinangki kepada KPK. Menurutnya, penanganan kasus Pinangki merupakan wewenang KPK sebagaimana amanat dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019.

"Saya tidak berbicara dengan konsep pengambilalihan perkara yang memang juga menjadi kewenangan KPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019, tetapi lebih berharap pada inisiasi institusi tersebutlah yang mau menyerahkan sendiri penanganan perkaranya kepada KPK," kata Nawawi.

Dia menegaskan, sejauh ini, KPK tidak pernah diminta untuk dilibatkan bersama Kejagung dalam mengusut kasus Pinangki. "Belum ada langkah-langkah koordinasi dan supervisi menyangkut penanganan perkara dimaksud," katanya.

Perebutan penanganan kasus Pinangki memang menjadi daya tarik sejumlah institusi penegak hukum. Pasalnya, peran Pinangki dalam pusaran kasus Djoko Tjandra disinyalir sangat besar. Keberhasilan terpidana Djoko Tjandra masuk ke Indonesia kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan diduga ada peran mantan Kasubbag Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejagung itu untuk mengondisikan dan mengatur upaya hukum tersebut. Bahkan, diduga ada keterlibatan pihak lain yang mempunyai pengaruh besar. (Baca juga: Pesawat Tempur Su-57 Rusia Akan Dapat 'Jubah Gaib')

Peran Pinangki

Boyamin membeberkan awal mula rentetan peran Pinangki bertemu dengan Djoko Tjandra di Malaysia hingga adanya kongkalikong pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung (MA). Boyamin mengatakan awalnya Pinangki minta dipertemukan dengan Djoko Tjandra kepada seorang pengusaha bernama Rahmat yang sebelumnya pernah diperiksa penyidik Kejagung. Kemudian Rahmat mengantar Pinangki bertemu dengan Djoko di Kuala Lumpur, Malaysia, hingga muncul pembicaraan mengenai pengurusan fatwa ke MA.

Di sana ada pembicaraan yang intinya akan membantu Djoko Tjandra lepas dari jeratan hukum dalam bentuk mengajukan fatwa ke MA bahwa putusan Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi dengan alasan macam-macam. Selanjutnya, Pinangki mengajak pengacara Anita Kolopaking menemui Djoko Tjandra. Pertemuan tersebut juga diduga membahas rencana pengurusan fatwa ke MA, Pinangki disebut meminta sejumlah uang terkait pengurusan fatwa MA ke Djoko Tjandra.

Singkatnya, Pinangki dan Anita kembali ke Indonesia dan diduga uang yang diberikan Djoko Tjandra lebih rendah daripada yang sebelumnya ditawarkan. Kemudian Pinangki mencoba melobi pejabat di MA, tetapi upaya tersebut gagal dan diduga rencana fatwa pengurusan MA tersebut batal.

"Namun, dalam perjalanannya permohonan fatwa itu mungkin sempat dibicarakan dengan orang di MA level rendah, temannya atau apa, tapi terbukti kemudian batal dan gagal. Karena batal dan gagal, ya pakai permohonan fatwa itu kemudian ya tidak berlanjut," ujarnya. (Baca juga: Dilanda Kekeringan, Petani Bogor Diminta Segera Urus Klaim Asuransi)

Oleh karena pengurusan fatwa tidak berlanjut, diduga Djoko Tjandra memilih strategi lain untuk mengajukan di PN Jakarta Selatan. Setelah itu, diduga Jaksa Pinangki dan Anita pecah kongsi lantaran adanya uang yang direalisasikan Djoko Tjandra lebih sedikit daripada yang dijanjikan. "Dalam pengajuan PK, Pinangki sudah tidak diajak lagi oleh Anita. Jadi, sudah pecah kongsi. Mungkin alasannya ya uang yang menjadi pemicu pecah kongsi," kata Boyamin.

Diketahui, pada proses pengajuan PK Djoko Tjandra di PN Jakarta Selatan tidak diterima. Sejumlah pejabat turut terseret skandal pelarian Djoko Tjandra yang awalnya disebut hadir langsung mendaftarkan diri dan membuat e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan padahal masih berstatus buronan.

Bareskrim Polri sendiri telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus tersebut. Mereka adalah Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte. Kedua petinggi Polri itu diduga menerima suap dari Djoko dengan membuat surat sakti untuk masuk ke Indonesia dan membantunya melarikan diri kembali.

Tersangka lainnya Djoko sendiri dan seorang pengusaha, Tommy Sumardi. Selain mereka, polisi juga menetapkan pengacara Djoko, yakni Anita Kolopaking. Bareskrim Polri membagi tiga kategori perkara yang melibatkan Djoko Tjandra. Pertama, klaster tahun 2008-2009 tentang penyalahgunaan wewenang. Kedua, klaster November 2019 ihwal pertemuannya dengan Anita dan Prasetijo. Ketiga, klaster penghapusan red notice maupun pembuatan dan penggunaan surat jalan-surat kesehatan palsu. (Lihat videonya: Lonjakan Pasien Corona di RSUP Persahabatan Jakarta Timur)

Harta Pinangki

Jika menilik Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Pinangki, tercatat dia tidak ada laporan mobil seharga kurang lebih Rp1,7 miliar itu. Terakhir Pinangki melaporkan LHKPN pada 31 Maret 2019 dengan jabatan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II.

Saat itu, total harta yang disampaikan Rp6.838.500.000. Pinangki mencatatkan kepemilikan mobil, yaitu Nissan Teana, Toyota Alphard, dan Daihatsu Xenia, dan ketiganya tertulis senilai Rp630 juta.

Berdasarkan LHKPN-nya, kekayaan Pinangki didominasi tanah dan bangunan yang berada di Bogor dan Jakarta Barat. (M Yamin/SINDOnews/iNews/Okezone)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1091 seconds (0.1#10.140)