Omnibus Law Dikebut 100 Hari, Pakar: Indonesia Lebih 'Jago' dari AS
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan pembahasan mengenai Omnibus Law yang di dalamnya berisi empat Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU Cipta Lapangan Kerja (CLK), Sistem Perpajakan, Farmasi, dan Ibu Kota Baru dibahas dalam waktu sangat singkat, yakni 100 hari saja.
Meski demikian hingga saat ini draf maupun surat presiden (surpres) belum diserahkan ke DPR.
Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan, kalau benar pembahasan sejumlah RUU dalam Omnibus Law ini hanya dilakukan dalam 100 hari maka Indonesia sebenarnya jauh lebih ”jago” dibandingkan negara super power, Amerika Serikat (AS). Padahal, dari empat RUU tersebut esensinya sangat strategis.
”Saya mau bilang begini, andai kata, kalau Mas Baidowi (Wakil Badan Legislasi Ahmad Baidowi bilang-red) ini direncanakan selesai dalam 100 hari, kita ini lebih jago dari Amerika,” ujar Margarito dalam diskusi Forum Legislasi bertema RUU Omnibus Law, Mana yang Prioritas, Mana yang Penting? di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Margarito mencontohkan ketika AS membuat Omnibus Trade and Competitiveness Act pada 1988, dibutuhkan waktu selama tiga tahun.
”Satu undang-undang dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1985 sampai 1988, dan drafnya tahun 1983 dibahasnya. Kita mau buat tiga bulan maka itu sangat luar biasa,” tuturnya. (Baca Juga: Menang Telak, Zulhas Patahkan Mitos Ketua Umum PAN Satu Periode)
Menurut Margarito, Trade Law ini pula yang dipakai AS dalam dua kali pada 2013 untuk memukul China, Vietnam dan Thailand dalam isu perdagangan ikan. Senjata yang sama juga dipakai Presiden AS Donald Trump untuk memukul China dalam perang dagang saat ini.
Untuk kasus Trade Law di AS, gagasan dasarnya adalah proteksi di dalam negeri proteksi sementara di luar negeri dipaksa liberal. ”Kita mau di mana dengan UU CLK ini, mau apa kita? Ini yang mesti dikenali. Cara mereka berpikir, cara kapitalis mengkadali, selalu mereka menggunakan hukum untuk mengakumulasi secara vertikal seluruh sumber daya ekonomi ke tangan mereka dengan serangan law,” katanya.
Karena itu, lanjut dia, agar publik tidak betul-betul menjadi bodoh maka hal yang perlu dikenali adalah cara berpikir dari seluruh isu yang mau dibuat dalam RUU ini.
Menurut dia, jika selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa Omnibus Law diperlukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan beragam dalih lainnya, sebenarnya itu merupakan alasan klasik. ”Ini isu lama, ini isu klasik. Urusannya ini adalah mengakumulasi kekayaan alam, sumber-sumber ekonomi itu kepada kapitalis. Tidak kurang, tidak lebih,” paparnya.
Dia mencontohkan ketika belum lama ini muncul wacana pemerintah akan mengatur pekerjaan berdasarkan jam kerja. Hal ini diartikan akan berdampak hilangnya sejumlah kewajiban pengusaha yang selama ini diberikan kepada buruh.
”Kita bebaskan seluruh kewajiban pengusaha kepada pekerja. Pengusaha untung di satu sisi ya, pekerja belum tentu. Apa yang teman-teman kita dapat dari pekerja dari perusahaan sekarang, pasti hilang pada saat itu, dan itu masuk akal. Misalnya hak pensiun, hak dapat jaminan kesehatan dan lain- lain itu hilang dengan sendirinya karena bekerja secara jam-jam-an,” tuturnya.
Karena itu, dia menanyakan dalih bahwa Omnibus Law dibuat untuk menyejahterakan rakyat. ”Siapa yang sejahtera kalau seperti ini polanya? Yang sejahtera perusahan, iya, sedangkan rakyat tidak, dan tidak mungkin,” paparnya.
Meski demikian hingga saat ini draf maupun surat presiden (surpres) belum diserahkan ke DPR.
Pakar hukum tata negara, Margarito Kamis mengatakan, kalau benar pembahasan sejumlah RUU dalam Omnibus Law ini hanya dilakukan dalam 100 hari maka Indonesia sebenarnya jauh lebih ”jago” dibandingkan negara super power, Amerika Serikat (AS). Padahal, dari empat RUU tersebut esensinya sangat strategis.
”Saya mau bilang begini, andai kata, kalau Mas Baidowi (Wakil Badan Legislasi Ahmad Baidowi bilang-red) ini direncanakan selesai dalam 100 hari, kita ini lebih jago dari Amerika,” ujar Margarito dalam diskusi Forum Legislasi bertema RUU Omnibus Law, Mana yang Prioritas, Mana yang Penting? di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Margarito mencontohkan ketika AS membuat Omnibus Trade and Competitiveness Act pada 1988, dibutuhkan waktu selama tiga tahun.
”Satu undang-undang dalam jangka waktu tiga tahun sejak 1985 sampai 1988, dan drafnya tahun 1983 dibahasnya. Kita mau buat tiga bulan maka itu sangat luar biasa,” tuturnya. (Baca Juga: Menang Telak, Zulhas Patahkan Mitos Ketua Umum PAN Satu Periode)
Menurut Margarito, Trade Law ini pula yang dipakai AS dalam dua kali pada 2013 untuk memukul China, Vietnam dan Thailand dalam isu perdagangan ikan. Senjata yang sama juga dipakai Presiden AS Donald Trump untuk memukul China dalam perang dagang saat ini.
Untuk kasus Trade Law di AS, gagasan dasarnya adalah proteksi di dalam negeri proteksi sementara di luar negeri dipaksa liberal. ”Kita mau di mana dengan UU CLK ini, mau apa kita? Ini yang mesti dikenali. Cara mereka berpikir, cara kapitalis mengkadali, selalu mereka menggunakan hukum untuk mengakumulasi secara vertikal seluruh sumber daya ekonomi ke tangan mereka dengan serangan law,” katanya.
Karena itu, lanjut dia, agar publik tidak betul-betul menjadi bodoh maka hal yang perlu dikenali adalah cara berpikir dari seluruh isu yang mau dibuat dalam RUU ini.
Menurut dia, jika selama ini pemerintah selalu berdalih bahwa Omnibus Law diperlukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan beragam dalih lainnya, sebenarnya itu merupakan alasan klasik. ”Ini isu lama, ini isu klasik. Urusannya ini adalah mengakumulasi kekayaan alam, sumber-sumber ekonomi itu kepada kapitalis. Tidak kurang, tidak lebih,” paparnya.
Dia mencontohkan ketika belum lama ini muncul wacana pemerintah akan mengatur pekerjaan berdasarkan jam kerja. Hal ini diartikan akan berdampak hilangnya sejumlah kewajiban pengusaha yang selama ini diberikan kepada buruh.
”Kita bebaskan seluruh kewajiban pengusaha kepada pekerja. Pengusaha untung di satu sisi ya, pekerja belum tentu. Apa yang teman-teman kita dapat dari pekerja dari perusahaan sekarang, pasti hilang pada saat itu, dan itu masuk akal. Misalnya hak pensiun, hak dapat jaminan kesehatan dan lain- lain itu hilang dengan sendirinya karena bekerja secara jam-jam-an,” tuturnya.
Karena itu, dia menanyakan dalih bahwa Omnibus Law dibuat untuk menyejahterakan rakyat. ”Siapa yang sejahtera kalau seperti ini polanya? Yang sejahtera perusahan, iya, sedangkan rakyat tidak, dan tidak mungkin,” paparnya.
(dam)