Politikus PKS Desak Cabut Pembahasan Klaster Pendidikan dari RUU Ciptaker
loading...
A
A
A
JAKARTA - Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Fikri Faqih mendesak klaster pendidikan dicabut seluruhnya dari substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja (Ciptaker).
"Semua substansi terkait pendidikan, termasuk yang mengubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut, karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi kita," ujarnya dalam keterangan tertulisnya,, Rabu (2/9/2020).
Wakil Ketua Komisi X DPR R I ini menduga adanya unsur pemaksaan pendidikan menjadi lebih liberal di dalam RUU Ciptaker dengan mengubah pasal-pasal di dalam UU yang mengurusi pendidikan tersebut. "Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi kita, masa depan bangsa ini jangan dipertaruhkan hanya segelintir pasal dalam RUU Cipta Kerja," tuturnya.
( ).
Dirinya menolak segala bentuk justifikasi atas liberalisasi pendidikan, apalagi dikuatkan dengan perundangan seperti di dalam RUU Ciptaker. "Bahkan Preambul konstitusi UUD 1945 kita langsung menyebut soal kewajiban pemerintah, salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu dengan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional, bukan melepasnya secara komersil," ujarnya.
Selanjutnya, kewajiban pemerintah juga tertulis dalam Pasal 31 UUD 1945 . Adapun Pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
( ).
Sementara, UUD 1945 Pasal 31 ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Fikri mengatakan bahwa draf RUU Ciptaker buatan pemerintah, telah melanggar kodrat kontitusi dengan mewajibkan institusi pendidikan mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam pasal 68 draf RUU tersebut. "Ketentuan ini memaksa institusi pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-allh pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konsitusi," ucapnya.
Sekadar diketahui, yang menjadi perdebatan krusial salah satunya adalah kewajiban berusaha dalam Draf RUU Ciptaker, pasal 68 ayat (5) terkait ketentuan pada pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diubah, sehingga berbunyi 1) Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
( ).
Selain itu, ketentuan lain mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda Rp1 Miliar. "Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum, bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan nonformal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha," ujarnya.
Isu lain soal perombakan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen di dalam RUU Ciptakerja. Dia mengecam pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing.
"Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar-benar RUU alien," katanya.
Di samping itu, dia juga mengritik sikap Pemerintah di dalam pembahasan legislasi yang tidak konsisten terkait Revisi UU Sisdiknas. "Kita seharusnya konsisten pada kesepakatan awal, bahwa revisi UU Sisdiknas dibahas terpisah," ujarnya.
Dirinya mengingatkan, dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020, revisi atas UU 20/2003 tentang Sisdiknas merupakan undang-undang tersendiri dan merupakan usulan pemerintah. "Keputusan ini disepakati oleh pemerintah sendiri yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM dalam rapat dengan badan legislasi DPR RI saat penentuan Prolegnas," imbuhnya.
Fikri merujuk pada kesimpulan hasil rapat antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan HAM RI serta pimpinan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada 16 Januari 2020.
"Semua substansi terkait pendidikan, termasuk yang mengubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut, karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi kita," ujarnya dalam keterangan tertulisnya,, Rabu (2/9/2020).
Wakil Ketua Komisi X DPR R I ini menduga adanya unsur pemaksaan pendidikan menjadi lebih liberal di dalam RUU Ciptaker dengan mengubah pasal-pasal di dalam UU yang mengurusi pendidikan tersebut. "Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin konstitusi kita, masa depan bangsa ini jangan dipertaruhkan hanya segelintir pasal dalam RUU Cipta Kerja," tuturnya.
( ).
Dirinya menolak segala bentuk justifikasi atas liberalisasi pendidikan, apalagi dikuatkan dengan perundangan seperti di dalam RUU Ciptaker. "Bahkan Preambul konstitusi UUD 1945 kita langsung menyebut soal kewajiban pemerintah, salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu dengan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional, bukan melepasnya secara komersil," ujarnya.
Selanjutnya, kewajiban pemerintah juga tertulis dalam Pasal 31 UUD 1945 . Adapun Pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
( ).
Sementara, UUD 1945 Pasal 31 ayat (5) menyebutkan bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Fikri mengatakan bahwa draf RUU Ciptaker buatan pemerintah, telah melanggar kodrat kontitusi dengan mewajibkan institusi pendidikan mengurus izin berusaha sebagaimana tertuang dalam pasal 68 draf RUU tersebut. "Ketentuan ini memaksa institusi pendidikan berbasis masyarakat untuk punya izin usaha, alih-allh pemerintah seharusnya membantu mereka sebagai amanat konsitusi," ucapnya.
Sekadar diketahui, yang menjadi perdebatan krusial salah satunya adalah kewajiban berusaha dalam Draf RUU Ciptaker, pasal 68 ayat (5) terkait ketentuan pada pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diubah, sehingga berbunyi 1) Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
( ).
Selain itu, ketentuan lain mengatur bagi mereka yang melanggar (tidak punya izin berusaha) akan dikenakan sanksi pidana kurungan maksimal 10 tahun dan denda Rp1 Miliar. "Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum, bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan nonformal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha," ujarnya.
Isu lain soal perombakan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen di dalam RUU Ciptakerja. Dia mengecam pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diskriminatif terhadap guru dan dosen dalam negeri, dan sebaliknya sangat memihak kepada pengajar asing.
"Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar-benar RUU alien," katanya.
Di samping itu, dia juga mengritik sikap Pemerintah di dalam pembahasan legislasi yang tidak konsisten terkait Revisi UU Sisdiknas. "Kita seharusnya konsisten pada kesepakatan awal, bahwa revisi UU Sisdiknas dibahas terpisah," ujarnya.
Dirinya mengingatkan, dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020, revisi atas UU 20/2003 tentang Sisdiknas merupakan undang-undang tersendiri dan merupakan usulan pemerintah. "Keputusan ini disepakati oleh pemerintah sendiri yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM dalam rapat dengan badan legislasi DPR RI saat penentuan Prolegnas," imbuhnya.
Fikri merujuk pada kesimpulan hasil rapat antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan HAM RI serta pimpinan Panitia Perancangan Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada 16 Januari 2020.
(zik)