Jalan Sepi Nan Terjal Akademisi Publik?
loading...
A
A
A
Di era digital, informasi bergerak dengan sangat cepat melalui portal berita dan media sosial. Media cetak kini memerlukan langkah tambahan agar tulisannya dapat menjangkau khalayak lebih luas, seperti diunggah ke grup WhatsApp atau media sosial lainnya.
Sementara itu, banyak intelektual global, seperti Hamid Dabashi dari Amerika Serikat, lebih memilih menulis di portal berita digital seperti Al Jazeera. Langkah ini mencerminkan keunggulan media digital dalam menjangkau pembaca yang lebih beragam. (Rosdiansyah, 2024)
Selain tulisan, media video juga mulai menjadi pilihan diseminasi ilmu. Akademisi dapat memanfaatkan platform video untuk menyampaikan gagasan, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat—salah satu elemen dari Tridharma Perguruan Tinggi. Namun, sayangnya, pengakuan atas upaya ini masih minim di Indonesia.
Sementara itu, menulis jurnal ilmiah memang memerlukan kerja keras, mulai dari penelitian hingga penyajian dalam format akademis yang ketat. Namun, jurnal-jurnal ini sering kali hanya dibaca oleh penulis lain atau peneliti yang membutuhkan referensi. Sebaliknya, tulisan di media massa menggunakan bahasa populer yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum, sehingga memiliki potensi dampak yang jauh lebih besar, masih minimalis.
Konsep Spiral of Silence yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann dapat membantu menjelaskan mengapa akademisi yang aktif menulis di media massa memiliki potensi besar untuk memengaruhi opini publik, meskipun penghargaan akademik terhadap karya-karya tersebut masih rendah.
Spiral of Silence menunjukkan bahwa individu cenderung diam jika mereka merasa pandangan mereka tidak populer atau tidak sejalan dengan opini mayoritas. Namun, ketika suara tertentu semakin sering terdengar, terutama melalui media massa, suara tersebut dapat mematahkan kebisuan dan mendorong orang lain untuk berbicara atau mendukung pandangan yang sama.
Dalam konteks akademisi, tulisan yang diterbitkan di media massa berfungsi untuk mematahkan "spiral kebisuan" di ruang publik, terutama pada isu-isu yang memerlukan intervensi berbasis ilmu pengetahuan. Akademisi yang aktif menulis tidak hanya memberikan informasi tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih luas di masyarakat. Jejak digital dari tulisan-tulisan ini berkontribusi pada edukasi publik dan membangun legitimasi intelektual di luar lingkup akademik semata.
Tulisan di media massa juga memberikan keuntungan strategis bagi akademisi. Sebagai contoh, akademisi yang sering menulis opini dan terlibat dalam diskusi publik akan memiliki nilai tawar yang lebih kuat, baik dalam bidang politik, pemerintahan, maupun kebijakan publik.
Dengan membangun rekam jejak yang konsisten di media massa, seorang akademisi dapat membentuk persepsi publik tentang kepakaran mereka sebagai portofolio publik. Hal ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam mempercepat perhatian publik terhadap isu-isu tertentu, termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, seperti tunjangan kinerja (tukin, pen).
Dengan demikian, meskipun penghargaan akademik terhadap tulisan di media massa saat ini masih minim, kontribusi yang dihasilkan jauh melampaui sekadar angka kredit. Tulisan-tulisan ini adalah bentuk edukasi, inspirasi, dan amal jariyah yang menciptakan nilai sosial, sekaligus membangun legitimasi akademisi sebagai bagian dari intelektual publik. Lebih dari itu, tulisan di media massa adalah senjata yang ampuh untuk mematahkan kebisuan dan menciptakan dialog yang lebih inklusif dan konstruktif di masyarakat.
Sementara itu, banyak intelektual global, seperti Hamid Dabashi dari Amerika Serikat, lebih memilih menulis di portal berita digital seperti Al Jazeera. Langkah ini mencerminkan keunggulan media digital dalam menjangkau pembaca yang lebih beragam. (Rosdiansyah, 2024)
Selain tulisan, media video juga mulai menjadi pilihan diseminasi ilmu. Akademisi dapat memanfaatkan platform video untuk menyampaikan gagasan, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat—salah satu elemen dari Tridharma Perguruan Tinggi. Namun, sayangnya, pengakuan atas upaya ini masih minim di Indonesia.
Sementara itu, menulis jurnal ilmiah memang memerlukan kerja keras, mulai dari penelitian hingga penyajian dalam format akademis yang ketat. Namun, jurnal-jurnal ini sering kali hanya dibaca oleh penulis lain atau peneliti yang membutuhkan referensi. Sebaliknya, tulisan di media massa menggunakan bahasa populer yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum, sehingga memiliki potensi dampak yang jauh lebih besar, masih minimalis.
Konsep Spiral of Silence yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann dapat membantu menjelaskan mengapa akademisi yang aktif menulis di media massa memiliki potensi besar untuk memengaruhi opini publik, meskipun penghargaan akademik terhadap karya-karya tersebut masih rendah.
Spiral of Silence menunjukkan bahwa individu cenderung diam jika mereka merasa pandangan mereka tidak populer atau tidak sejalan dengan opini mayoritas. Namun, ketika suara tertentu semakin sering terdengar, terutama melalui media massa, suara tersebut dapat mematahkan kebisuan dan mendorong orang lain untuk berbicara atau mendukung pandangan yang sama.
Dalam konteks akademisi, tulisan yang diterbitkan di media massa berfungsi untuk mematahkan "spiral kebisuan" di ruang publik, terutama pada isu-isu yang memerlukan intervensi berbasis ilmu pengetahuan. Akademisi yang aktif menulis tidak hanya memberikan informasi tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih luas di masyarakat. Jejak digital dari tulisan-tulisan ini berkontribusi pada edukasi publik dan membangun legitimasi intelektual di luar lingkup akademik semata.
Tulisan di media massa juga memberikan keuntungan strategis bagi akademisi. Sebagai contoh, akademisi yang sering menulis opini dan terlibat dalam diskusi publik akan memiliki nilai tawar yang lebih kuat, baik dalam bidang politik, pemerintahan, maupun kebijakan publik.
Dengan membangun rekam jejak yang konsisten di media massa, seorang akademisi dapat membentuk persepsi publik tentang kepakaran mereka sebagai portofolio publik. Hal ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam mempercepat perhatian publik terhadap isu-isu tertentu, termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, seperti tunjangan kinerja (tukin, pen).
Dengan demikian, meskipun penghargaan akademik terhadap tulisan di media massa saat ini masih minim, kontribusi yang dihasilkan jauh melampaui sekadar angka kredit. Tulisan-tulisan ini adalah bentuk edukasi, inspirasi, dan amal jariyah yang menciptakan nilai sosial, sekaligus membangun legitimasi akademisi sebagai bagian dari intelektual publik. Lebih dari itu, tulisan di media massa adalah senjata yang ampuh untuk mematahkan kebisuan dan menciptakan dialog yang lebih inklusif dan konstruktif di masyarakat.
Lihat Juga :