Jalan Sepi Nan Terjal Akademisi Publik?

Rabu, 22 Januari 2025 - 17:31 WIB
loading...
Jalan Sepi Nan Terjal...
Sesungguhnya menjadi akademisi publik adalah sebuah panggilan mulia dan bermartabat. Tidak banyak dosen yang mau mendedikasikan diri menjalani peran pengabdian ini. Ilustrasi/Dok. SINDOnews
A A A
Surokim dan Moch Imron Rosyidi
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi , FISIB,
Universitas Trunojoyo Madura (UTM)

SESUNGGUHNYA menjadi akademisi publik adalah sebuah panggilan mulia dan bermartabat. Tidak banyak dosen yang mau mendedikasikan diri menjalani peran pengabdian ini. Tugas utama akademisi ini adalah menjembatani ilmu pengetahuan dengan masyarakat luas, menjadi kaum pencerah masyarakat.

Namun, di tengah realitas akademik di Indonesia, peran ini kian terpinggirkan. Banyak akademisi yang enggan menekuni jalur ini. Salah satunya karena minimnya penghargaan terhadap karya-karya yang disampaikan kepada publik melalui media massa.

Saat ini, karya tulisan dosen di media massa, seperti opini atau artikel, dianggap kurang signifikan dalam sistem penilaian akademik. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) hanya memberikan angka kredit "1" untuk karya semacam itu. Ironisnya, tulisan-tulisan tersebut seringkali memiliki jangkauan yang lebih luas dan berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan.

Daya jangkau tulisan itu di era medsos saat ini bisa menyasar masyarakat pembaca lebih luas. Tulisan di media massa tesebut bisa menjangkau kelas sosial manapun, bisa diakses kapan saja, siapa saja, dimana saja, dengan biaya ekonomis. Sebaliknya, karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal-jurnal sering kali hanya dibaca oleh kalangan terbatas, eksklusif, mahal, dan juga karena akses dan bahasa yang tidak mudah dimengerti semua kalangan.

Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, mengapa kebijakan Dikti kurang memberi perhatian kepada karya-karya yang dapat menjangkau masyarakat umum? Seandainya penghargaan akademik terhadap tulisan di media massa lebih signifikan, maka tentu banyak dosen yang akan lebih terdorong untuk menulis sehingga ilmu yang mereka hasilkan dapat lebih mudah diakses dan terdistribusi lebih luas kepada masyarakat.

Karya kaya hebat hasil riset kampus sejauh ini belum terdiseminasi baik kepada khalayak luas. Kampus dan karyanya seringkali masih terjebat sebagai "menara gading" yang tinggi, tetapi terisolasi, tak bermanfaat dan belum bisa memberi solusi cepat kepada masyarakat dalam menghadapi berbagai problem mutkhir yang cepat.

Kampus, sebagaimana idealnya seharusnya bisa berfungsi sebagai "menara air," yakni menyebarkan manfaat bagi banyak orang. Namun, selama penghargaan terhadap karya-karya yang dapat diakses publik tetap rendah, peran transformasi ini rasanya akan sulit terwujud. Kampus, civitas akademika dan karyanya masih berasyik ria bagaikan katak dalam tempurung, yang engan keluar dari zona nyaman, berkarya untuk dirinya sendiri.

Menurut Rosdiansyah (2024), fungsi seorang cendekiawan adalah menjelaskan hal-hal kompleks kepada khalayak dengan bahasa yang mudah dipahami. Hal ini merupakan fungsi profetik yang mendekatkan akademisi dengan masyarakat.

Sayangnya, sistem akademik saat ini lebih mengutamakan karya eksklusif yang sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Karya kampus masih ekslusif dan banyak tersimpan rai di rak rak laporan riset di perpustakaan dan sebagai koleksi khusus.

Di era digital, informasi bergerak dengan sangat cepat melalui portal berita dan media sosial. Media cetak kini memerlukan langkah tambahan agar tulisannya dapat menjangkau khalayak lebih luas, seperti diunggah ke grup WhatsApp atau media sosial lainnya.

Sementara itu, banyak intelektual global, seperti Hamid Dabashi dari Amerika Serikat, lebih memilih menulis di portal berita digital seperti Al Jazeera. Langkah ini mencerminkan keunggulan media digital dalam menjangkau pembaca yang lebih beragam. (Rosdiansyah, 2024)

Selain tulisan, media video juga mulai menjadi pilihan diseminasi ilmu. Akademisi dapat memanfaatkan platform video untuk menyampaikan gagasan, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari pengabdian kepada masyarakat—salah satu elemen dari Tridharma Perguruan Tinggi. Namun, sayangnya, pengakuan atas upaya ini masih minim di Indonesia.

Sementara itu, menulis jurnal ilmiah memang memerlukan kerja keras, mulai dari penelitian hingga penyajian dalam format akademis yang ketat. Namun, jurnal-jurnal ini sering kali hanya dibaca oleh penulis lain atau peneliti yang membutuhkan referensi. Sebaliknya, tulisan di media massa menggunakan bahasa populer yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum, sehingga memiliki potensi dampak yang jauh lebih besar, masih minimalis.

Konsep Spiral of Silence yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann dapat membantu menjelaskan mengapa akademisi yang aktif menulis di media massa memiliki potensi besar untuk memengaruhi opini publik, meskipun penghargaan akademik terhadap karya-karya tersebut masih rendah.

Spiral of Silence menunjukkan bahwa individu cenderung diam jika mereka merasa pandangan mereka tidak populer atau tidak sejalan dengan opini mayoritas. Namun, ketika suara tertentu semakin sering terdengar, terutama melalui media massa, suara tersebut dapat mematahkan kebisuan dan mendorong orang lain untuk berbicara atau mendukung pandangan yang sama.

Dalam konteks akademisi, tulisan yang diterbitkan di media massa berfungsi untuk mematahkan "spiral kebisuan" di ruang publik, terutama pada isu-isu yang memerlukan intervensi berbasis ilmu pengetahuan. Akademisi yang aktif menulis tidak hanya memberikan informasi tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih luas di masyarakat. Jejak digital dari tulisan-tulisan ini berkontribusi pada edukasi publik dan membangun legitimasi intelektual di luar lingkup akademik semata.

Tulisan di media massa juga memberikan keuntungan strategis bagi akademisi. Sebagai contoh, akademisi yang sering menulis opini dan terlibat dalam diskusi publik akan memiliki nilai tawar yang lebih kuat, baik dalam bidang politik, pemerintahan, maupun kebijakan publik.

Dengan membangun rekam jejak yang konsisten di media massa, seorang akademisi dapat membentuk persepsi publik tentang kepakaran mereka sebagai portofolio publik. Hal ini memberikan pengaruh yang signifikan dalam mempercepat perhatian publik terhadap isu-isu tertentu, termasuk yang berkaitan dengan kebijakan, seperti tunjangan kinerja (tukin, pen).

Dengan demikian, meskipun penghargaan akademik terhadap tulisan di media massa saat ini masih minim, kontribusi yang dihasilkan jauh melampaui sekadar angka kredit. Tulisan-tulisan ini adalah bentuk edukasi, inspirasi, dan amal jariyah yang menciptakan nilai sosial, sekaligus membangun legitimasi akademisi sebagai bagian dari intelektual publik. Lebih dari itu, tulisan di media massa adalah senjata yang ampuh untuk mematahkan kebisuan dan menciptakan dialog yang lebih inklusif dan konstruktif di masyarakat.

Memang jalan menjadi akademisi publik ini kadang tak lagi menjanjikan jika melihat apresiasi dari Dikti. Jalan ini cenderung menjadi jalan sepi karena minimnya penghargaan untuk karir dosen. Namun, dibalik semua itu, sudah saatnya sistem akademik di Indonesia memberikan tempat yang lebih layak bagi karya intelektual yang menyasar publik.

Dengan demikian, para akademisi dapat menjalankan peran mereka sebagai intelektual publik yang sesungguhnya, tidak hanya terjebak dalam "tempurung" jurnal ilmiah yang eksklusif. Mari bersatu para akademisi, menulis untuk masyarakat, bukan hanya untuk angka kredit. Bagaimana pendapat Anda?
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Lanjut Baca Berita Terkait Lainnya
Berita Terkait
Idulfitri dan Nyepi...
Idulfitri dan Nyepi sebagai Momentum Energi Cinta dan Perdamaian Umat
PMII dan Tantangan Kaderisasi...
PMII dan Tantangan Kaderisasi di Era Ketidakpastian
Nasib Pengawas Sekolah...
Nasib Pengawas Sekolah di Ujung Tanduk?
Ruh Perlawanan dan Tanda-Tanda...
Ruh Perlawanan dan Tanda-Tanda Zaman
BPI Danantara: Peluang...
BPI Danantara: Peluang atau Tantangan untuk Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?
Dari Deflasi menuju...
Dari Deflasi menuju Resesi: Lampu Kuning Ekonomi Indonesia
Ijtihad Tepuk Nyamuk:...
Ijtihad 'Tepuk Nyamuk': Logika Radikal-Terorisme
Gebrakan Efisiensi Anggaran...
Gebrakan Efisiensi Anggaran Prabowo-Gibran, Jantung Ekonomi Kerakyatan
Integritas
Integritas
Rekomendasi
Bupati dan Wabup Lanny...
Bupati dan Wabup Lanny Jaya Fokus Perbaikan Rumah Korban Kebakaran di 100 Hari Kerja
Ribut di Tempat Parkir,...
Ribut di Tempat Parkir, Polisi Polres Rohil dan Temannya Tewas Ditikam
Eks PM Inggris Tegaskan...
Eks PM Inggris Tegaskan Tidak Ada Alternatif NATO
Berita Terkini
H-1 Lebaran, Arus Lalin...
H-1 Lebaran, Arus Lalin di Tol Cipali dan Pantura Cirebon Ramai Lancar
1 jam yang lalu
Kemenko Polkam Nilai...
Kemenko Polkam Nilai Kebijakan WFA Efektif Urai Kepadatan Mudik Lebaran
1 jam yang lalu
Prabowo Salat Idulfitri...
Prabowo Salat Idulfitri di Masjid Istiqlal Dilanjutkan Open House di Istana
5 jam yang lalu
3 Letjen TNI Teman Seangkatan...
3 Letjen TNI Teman Seangkatan Jenderal Agus Subiyanto, Salah Satunya Peraih Adhi Makayasa
7 jam yang lalu
PCINU Yordania dan Perusahaan...
PCINU Yordania dan Perusahaan Air Mineral Salurkan Bantuan Kemanusiaan untuk Warga Palestina
7 jam yang lalu
2 Pati Polri Naik Pangkat...
2 Pati Polri Naik Pangkat Jadi Jenderal Bintang 3, Nomor 1 Jebolan Akpol 1992
11 jam yang lalu
Infografis
Ribuan Umat Islam Inggris...
Ribuan Umat Islam Inggris Turun ke Jalan Lawan Gerakan Rasis
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved