Serikat PekerjaTolak Omnibus Law

Selasa, 28 Januari 2020 - 05:48 WIB
Serikat PekerjaTolak...
Serikat PekerjaTolak Omnibus Law
A A A
KALANGAN pekerja atau buruh merasa aspirasi mereka tidak didengar dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terkait ketenagakerjaan. Pihak Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di bawah komando Said Iqbal menuding penerbitan Omnibus Law atau aturan sapu jagat itu hanya untuk mengakomodasi kepentingan pengusaha. Dicontohkan, pembentukan satuan tugas (satgas) yang diketuai ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia beranggotakan 22 asosiasi pengusaha. Setiap pembahasan RUU tersebut seharusnya terbuka dan melibatkan semua pemangku kepentingan, namun hal itu tidak terjadi. Atas dasar itu, pihak KSPI menolak penerbitan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.

Benarkah Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja demi kepentingan pengusaha? Tudingan dari KSPI dimentahkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani. Tudingan bahwa aturan itu hanya memberi keuntungan kepada para pengusaha disebutnya keliru. Justru keberadaan aturan tersebut terkait ketenagakerjaan diharapkan dapat meminimalkan risiko atas kerawanan tenaga kerja. Saat ini pembahasan kebijakan yang dijadwalkan dapat diimplementasikan paling lambat pertengahan tahun ini masih di internal pemerintah, namun pada saat penyusunan substansi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja telah mendengar masukan dari enam serikat buruh.

Penolakan KSPI terhadap Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja telah dipertegas dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR pekan lalu. Enam persoalan dibeberkan yang bakal merugikan pekerja atau buruh apabila aturan itu disahkan. Pertama, bakal menghapus sistem upah minimum dengan diperkenalkannya upah per jam. Sistem upah per jam memang salah satu pokok bahasan dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang paling banyak dipertanyakan. Kedua, bisa mengakibatkan hilangnya pesangon.

Ketiga, dapat melanggengkan sistem outsourcing yang semena-mena. Selama ini sistem outsourcing hanya pada lima jenis pekerjaan, yakni cleaning service, katering, sopir, security, dan jasa penunjang ke depan bakal dibebaskan untuk segala jenis pekerjaan. Keempat, akan menghilangkan jaminan pensiun dan jaminan kesehatan. Karena pekerja dibayar di bawah upah minimum, maka pengusaha tidak wajib membayar jaminan pensiun dan jaminan kesehatan. Kelima, akan memberikan karpet merah bagi para tenaga kerja asing. Keenam, bakal menghapuskan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak memberikan upah pekerja sesuai upah minimum.

Sebelumnya, draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ditengarai telah beredar di tengah masyarakat. Buntutnya, sejumlah pasal ramai diperdebatkan di antaranya rencana penerapan skema upah per jam. Adapun penerapan upah per jam berdasarkan versi pemerintah dimaksudkan memberi keleluasaan kepada badan usaha atau perusahaan dalam menggaji pekerja yang bersifat tidak tetap atau sementara seperti konsultan dan pekerjaan paruh waktu. Selain itu, skema upah jam-jaman untuk mengakomodasi jenis pekerjaan baru bagi industri ekonomi digital.

Tujuan kebijakan ini tak lain agar memberikan keleluasaan kepada badan usaha atau perusahaan dalam memberikan gaji kepada pekerja yang sifat pekerjaannya tidak tetap atau sementara. Aturan skema upah jam-jaman ini untuk menampung jenis pekerjaan tertentu seperti konsultan, pekerjaan paruh waktu, dan lain-lain. Selain itu, aturan pembayaran upah dengan skema jam-jaman juga agar bisa mengakomodasi jenis pekerjaan baru bagi industri ekonomi digital. Kebijakan tersebut salah satu bentuk pemberian hak dan perlindungan bagi jenis pekerjaan jam-jaman. Dibutuhkan pengaturan upah yang berbasis jam kerja. Jadi, skema upah per jam tersebut tidak melikuidasi ketentuan upah minimum sebagaimana ramai dibicarakan masyarakat, terutama dari kalangan serikat pekerja.

Masih banyak masyarakat bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan Omnibus Law? Sebenarnya konsep Omnibus Law sudah lama diterapkan di berbagai negara maju. Contohnya di Amerika Serikat sudah menggunakan Omnibus Law sejak 1840. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut salah satu upaya pemerintah menyederhanakan regulasi yang dinilai berbelit. Mengutip kamus hukum Merriam-Webster bahwa istilah Omnibus Law bersumber dari Omnibus Bill, yakni UU yang mencakup berbagai isu atau topik. Melalui Omnibus Law dapat merevisi banyak aturan sekaligus. Saat ini pemerintah sedang menggodok RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang mencakup 11 kluster dan RUU Omnibus Law Perpajakan terdiri atas enam pilar.

Salah satu kluster RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah soal ketenagakerjaan yang mendapat sorotan tajam dari kalangan serikat pekerja. Hal itu wajar saja karena menyangkut hidup-mati para pekerja atau buruh. Jadi, pemerintah harus adil mendengar semua aspirasi yang berkembang baik dari kalangan pengusaha pekerja, ataupun buruh. Jadilah “wasit” yang adil. (*)
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5908 seconds (0.1#10.140)