Hegemoni China

Rabu, 15 Januari 2020 - 06:52 WIB
Hegemoni China
Hegemoni China
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional
@dinnawisnu

LEMBAGA Survei Indonesia telah menyampaikan hasil survei mereka mengenai persepsi masyarakat tentang negara-negara yang dianggap memiliki pengaruh terhadap Indonesia. Dalam survei yang dilakukan pada 10–15 Juli 2019 itu, hasil survei menyimpulkan bahwa masyarakat memersepsi ada lima negara yang memiliki pengaruh besar.

Urutan pertama dari yang terbesar hingga terkecil adalah China, Amerika Serikat, Jepang, Rusia, dan India. China lebih berpengaruh daripada Amerika Serikat. Menariknya, pengaruh ini lebih berbobot sentimen negatif dan sentimen negatif ini meningkat bila dibandingkan dengan hasil pada 2011.

Survei dilakukan pada bulan Juli 2019 dengan menggunakan metode stratified multistage random sampling di seluruh Indonesia dengan sampel 1.540 orang. Margin of error survei diperkirakan 2,5 pada tingkat kepercayaan 95%.

Djayadi Hanan sebagai direktur LSI telah menyampaikan bahwa hasil survei ini tidak lepas dari pengaruh dinamika politik yang terjadi sepanjang tahun pemilihan umum kepala daerah dan pemilihan presiden pada 2018–2019. Persepsi masyarakat pada periode waktu itu terpapar oleh materi-materi kampanye anti-China yang secara umum diasosiasikan dengan tenaga kerja asing, utang luar negeri, dan jaringan bisnis. Hasil survei ini juga bisa menjadi indikasi suksesnya kampanye anti-China ke beberapa kelompok, tetapi tidak sukses kepada kelompok yang lain.

Saya sebagai penanggap di dalam seminar itu menuliskan beberapa catatan. Pertama, bahwa hasil survei ini perlu dilengkapi penelitian dengan pendekatan kualitatif untuk mendalami kerangka pemikiran di tingkat individu ketika mereka berpikir bahwa China lebih memiliki pengaruh besar terhadap Indonesia daripada ke negara lain, terutama AS, Jepang, Rusia, dan India. Pendalaman ini terutama untuk memahami bagaimana cara pandang masyarakat tentang China, AS, dan tiga negara lain terbentuk.

Kedua, terbentuknya pandangan masyarakat yang menganggap pengaruh China menguat bila dibandingkan dengan AS dan negara lain juga tidak hanya disebabkan dinamika pilkada lalu. Kenyataannya dalam pergaulan sehari-hari hegemoni China bertarung dengan hegemoni AS.

China hadir dalam bentuk industri manufaktur yang menjual produk-produk murah dan massal sementara AS mendominasi dalam industri kultural yaitu dalam film-film dan acara televisi. Tentu ada banyak pengaruh dari industri lain, tetapi kedua industri tersebut menghasilkan produk-produk yang memengaruhi kesadaran subyektif masyarakat secara sadar atau tidak mulai dari kota hingga desa, dari pusat ke daerah, dari orang tua hingga remaja.

Ketiga, fakta bahwa pengaruh China telah mengglobal adalah kenyataan yang terjadi di hampir semua negara yang terintegrasi dengan pasar. China adalah salah satu negara yang cadangan devisanya terbesar, yaitu hampir mencapai Rp44.133 triliun (USD3119 billion), pada Juni 2019 lalu.

Dengan uang sebesar itu, tidak mengherankan banyak negara di dunia yang meminta pinjaman ke China, termasuk AS. Paul Volcker, mantan Ketua Federal Reserve, pernah menyebut hubungan keuangan yang erat antara AS dan Cina sebagai fatal embrace karena China memiliki lebih dari USD1 triliun dari surat berharga AS.

Pinjaman itu tidak selalu untuk pembangunan, tetapi juga untuk sokongan politik. Contoh, Bank Sentral China mentransfer dana senilai USD1 miliar ke Turki pada Juni 2019 sebagai paket dukungan terbesar Beijing untuk Presiden Recep Tayyip Erdogan yang dikirim saat Erdogan sedang dalam masa kampanye pemilihan presiden. Transfer itu seketika membuat cadangan devisa Turki meningkat bertepatan di sekitar waktu pemilihan lokal Istanbul (Bloomberg, 2019).

Fakta ini menunjukkan bahwa saat ini negara-negara di dunia tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan China, baik untuk maksud ekonomi maupun politik. Siapa pun tokoh yang menjadi kepala negara dan menyandarkan pembangunan ke ekonomi pasar, dia perlu menjaga hubungan dengan China.

Fakta-fakta tersebut tidak berarti bahwa kita tidak memiliki alternatif lain sumber dana lain. Bank Dunia, IMF, dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang umumnya dikontrol oleh negara-negara Barat masih dapat menyediakan dana untuk pembangunan. Apa yang menjadi pekerjaan rumah bagi negara-negara tersebut adalah untuk menyeimbangkan agar sumber dana agar tidak berasal dari China saja, tetapi juga dari negara-negara lain agar tidak menimbulkan hubungan ketergantungan kepada satu pihak saja.

Perbedaan antara sumber dana dari China dan negara-negara Barat, terutama ada dalam syarat dan kondisinya. Negara-negara Barat umumnya mempersyaratkan dana yang mereka berikan dengan hal-hal yang terkait dengan isu kemanusiaan mulai dari nilai-nilai demokrasi, HAM, keseimbangan gender, tidak digunakan untuk korupsi, perlu transparansi dan lain sebagainya. Sebaliknya, China tidak peduli uang yang diberikan akan digunakan untuk apa selama negara itu tepat waktu mengembalikannya.

Oleh sebab itu menyeimbangkan dan merawat hubungan antara China dengan negara-negara lain baik dalam soal ekonomi dan politik adalah salah satu tugas diplomasi terberat Indonesia. Tidak tepat misalnya upaya mengancam China di Natuna dengan hanya mengundang AS dan Jepang berinvestasi di Natuna.

Selain karena tamu yang diundang merasa tidak dihargai karena mungkin merasa “diperalat”, langkah diplomasi tersebut adalah langkah klasik yang tentu sudah diantisipasi oleh China. Negara-negara lain ada yang berhasil mengundang investasi Jepang demi mengimbangi China tetapi kenyataanya China tetap lanjut menjalankan agendanya di negara tersebut.

Upaya untuk membendung hegemoni China tentu harus dilakukan juga dengan kerja-kerja diplomasi yang sinergis antar-kementerian yang terkait dengan langkah yang diambil oleh kepala negara dalam hal ini Presiden Joko Widodo. Masalah di perairan Natuna bukanlah sebuah peristiwa yang kebetulan terjadi, tetapi adalah akumulasi dari pekerjaan-pekerjaan diplomasi dan teknis yang tidak diselesaikan dengan baik sehingga pada akhirnya membesar.

Pekerjaan diplomasi kecil itu antara lain menguatkan kepemimpinan Indonesia di ASEAN, komunikasi yang kurang mendalam atau parsial dengan China dan AS, kurangnya sinergi kerja antar-kementerian, masalah perbatasan laut yang buntu, masalah penanganan penangkapan ikan secara ilegal, dan sebagainya.

Strategi diplomasi untuk melawan hegemoni China dan hegemoni negara-negara lain tentu tidak dapat diungkapkan di publik. Kerja-kerja diplomasi untuk melawan hegemoni China memang harus dilakukan secara senyap dan baru diungkapkan atau bahkan tidak perlu diungkapkan ke publik sepanjang hasilnya memang sesuai dengan yang diharapkan.

Ukuran kinerja diplomat berbeda dengan ukuran sebagian besar kinerja aparatur sipil negara lainnya. Kerja diplomat sama seperti angin. Tidak dapat dilihat, tetapi dapat dirasakan hasilnya. Apa yang dilakukan di belakang layar jauh lebih penting daripada yang ditampilkan di hadapan publik.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1715 seconds (0.1#10.140)