Strategi Rumpon Belt Hadapi Nelayan Asing

Sabtu, 11 Januari 2020 - 07:06 WIB
Strategi “Rumpon Belt” Hadapi Nelayan Asing
Strategi Rumpon Belt Hadapi Nelayan Asing
A A A
Letkol Laut (KH) Dr Gentio Harsono
Staf Pengajar Universitas Pertahanan RI

RENCANA Menkopolhukam Mahfud MD mengirim 120 nelayan pantura ke Laut Natuna Utara patut pendapat perhatian. Wilayah ini menghangat pascainsiden nelayan China yang dikawal coastguard-nya mencuri ikan di wilayah ZEE Indonesia. Sebagai negara berdaulat, Pemerintah Indonesia menyatakan protes atas pelanggaran kedaulatan yang dilakukan China di wilayah ZEE Indonesia yang telah sah ditetapkan oleh UNCLOS 1982.

Sebagai suatu negara yang berada di persilangan jalur pelayaran dunia, geografi Indonesia tidak hanya memberikan keuntungan besar bagi kepentingan nasional, namun juga peran pentingnya dalam kepentingan global. Kita sadar, kekayaan sumber daya laut yang melimpah sesungguhnya dalam ancaman besar. Karena itu, eksistensi Indonesia ditentukan oleh derajat keberhasilan dalam memanfaatkan kenyataan tersebut.

Melimpahnya kekayaan laut Indonesia menjadi daya tarik bagi para nelayan asing untuk mencari sumber daya laut ekonomis seperti ikan. Namun, sangat disayangkan, nelayan Indonesia belum menikmati kekayaan ini secara baik. Bisa saja karena ada ketidakseimbangan wilayah penangkapan ikan seperti Laut Jawa yang sudah overfishing. Di samping itu, pengetahuan yang baik tentang lokasi-lokasi tempat wilayah potensial perikanan juga masih sangat kurang dipahami oleh mereka. Ditambah dengan ancaman kapal nelayan asing yang masuk secara ilegal sehingga nelayan kita takut melaut di perairan ini.

Hal ini menjadikan wilayah perairan ini sangat miskin dengan aktivitas penduduk dan nelayan Indonesia. Meskipun patroli kapal oleh aparat penegak hukum sering ditemui, namun frekuensinya belum memadai. Karena itu, wilayah ini menjadi sangat rawan oleh kemunculan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing.

“Ada gula, ada semut”, begitu kata pepatah kita. Wilayah perairan Natuna Utara telah menjadi daya tarik nelayan asing untuk menangkap ikan secara besar-besaran di wilayah ini. Sementara nelayan Indonesia tidak dapat menikmati kekayaan hayati tersebut mengingat berbagai keterbatasan. Muncullah problem illegal fishing bersamaan dengan tingkat kerawanan politik dan keamanan di wilayah perairan perbatasan seperti gangguan stabilitas keamanan serta potensi konflik dengan negara lain.

Di sisi lain, peningkatan jumlah armada perikanan di beberapa wilayah perairan seperti di Laut Jawa hingga pada level overfishing meningkatkan degradasi kualitas lingkungan perairan tersebut. Apalagi, ketika teknologi penangkapan ikan yang digunakan tidak ramah lingkungan. Karena itu, perlu dicari jalan pemecahan untuk mengatasi permasalahan tersebut sekaligus memperoleh manfaat lain, yaitu menjaga kedaulatan NKRI.

Tentu saja dengan memperhatikan daya dukung hayati (carrying capacity) dengan model pembangunan perikanan berkelanjutan (sustainable development fisheries). Belajar dari pengalaman, kehadiran armada perikanan Indonesia menangkap ikan di perairan perbatasan menjadi sangat strategis. Kehadiran mereka akan memperjelas bukti kuat atas kedaulatan NKRI di wilayah tersebut.

Keberadaan aktivitas nelayan Indonesia akan berimplikasi pada penurunan peluang terjadi illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing. Nelayan setiap harinya berada di laut, setiap waktu mereka mengamati dan membaca keadaan laut setiap waktu sehingga layak mereka disebut sebagai “armada semut”. Tentu kita ingat bagaimana Vietnam dan China menggunakan metode perang hibrida dengan memanfaatkan nelayannya ketika mereka digunakan untuk memprovokasi wilayah perairan yang menjadi sengketa sebagai cara klaim bahwa wilayah perairan ini menjadi wilayah tradisional tangkapan nelayannya.

Dalam kasus Natuna Utara, apa yang disebut oleh Mahfud MD sebenarnya praktik dari menggunakan kekuatan armada nelayan sebagai “armada semut” menjadi petugas patroli laut swakarsa melengkapi patroli aparat hukum Indonesia. Kehadiran mereka di perairan perbatasan secara kontinu akan mengisi aktivitasnya dengan kegiatan menangkap ikan dan memberikan posisi tawar untuk mengusir armada “tamu tak diundang” tersebut.

Strategi “Rumpon Belt”

Strategi ini bermula pada keterbatasan nelayan ketika menghadapi harga BBM yang melangit dan distribusi BBM yang tidak merata menjadi pilihan sulit bagi nelayan. Beban mereka semakin berat karena seringkali hasil tangkapan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk melaut.
Satu di antara metode untuk menarik gerombolan ikan di laut dengan mendirikan rumpon.

Berkumpulnya ikan di sekitar rumpon dimanfaatkan oleh nelayan untuk memancing dan menjaring ikan. Ikan-ikan kecil akan berkumpul di sekitar rumpon karena terdapat lumut dan plankton yang menempel pada atraktor rumpon yang terbuat dari daun kelapa. Ikan-ikan kecil ini akan mengundang ikan-ikan yang lebih besar sebagai pemangsanya dan demikian seterusnya hingga ikan tuna juga berada di sekitar rumpon laut dalam jarak tertentu.

Teknologi pembuatan rumpon ini tergolong sederhana dengan bahan baku yang ramah lingkungan dan terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Penggunaan alat pengumpul ikan ini secara nyata selain memberikan kepastian lokasi tangkap ikan sehingga mempersingkat waktu penangkapan, juga dapat menghemat ongkos BBM yang selama ini berkisar 40-60% dari total biaya melaut. Rumpon juga bermanfaat menjadi tempat ikan bertelur dan melindungi pertumbuhan benih ikan pelagis (nursery ground). Rumpon umumnya mampu bertahan hingga 4-5 tahun.

Walaupun bukan tergolong baru bagi masyarakat nelayan Indonesia, pemasangan rumpon memiliki beberapa kendala seperti biaya yang dikeluarkan nelayan untuk membuat rumpon, terutama untuk rumpon laut dalam yang biaya pembuatannya tergolong mahal. Sementara sedikit lembaga keuangan dan perbankan mau menggelontorkan dananya untuk kredit para nelayan guna membiayai pembuatan rumpon tersebut. Rumpon juga menjadi masalah ketika dibangun di atas perairan yang sangat padat lalu lintas kapalnya.

Kendati demikian, pembangunan rumpon juga harus dilihat dalam perspektif menjaga kedaulatan Indonesia, terutama untuk perairan wilayah perbatasan, wilayah di mana sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil dengan kekayaan laut cukup melimpah, namun minimum akan aktivitas penduduk karena letaknya yang terpencil, terbatasnya sarana, prasarana, dan sumber daya manusia. Wilayah yang justru sangat rawan terhadap ancaman kedaulatan.

Strategi Rumpon Belt dapat meminimalkan kemunculan ketidakseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya kelautan antarkawasan. Kegiatan penangkapan ikan saat ini masih terfokus di perairan sekitar pantai/pesisir dan terkonsentrasi di wilayah barat seperti Laut Jawa, Selat Malaka, dan pantai timur Sumatera, di mana perairan ini telah mengalami overfishing.

Strategi ini juga dapat mengurangi muncul ketidakseimbangan akibat terakumulasinya sejumlah besar nelayan di wilayah tertentu yang berakibat pada penurunan jumlah tangkapan, semakin kecilnya ukuran ikan, penurunan jumlah spesies, dan pada akhirnya berdampak pada penurunan penghasilan nelayan.

Rumpon Belt dapat menjadi suatu inspirasi menjadi referensi dalam mengatasi masalah kerawanan di perairan perbatasan, terutama pada wilayah yang berpotensi terjadi konflik perbatasan menjadi sebuah “oase” bagi para nelayan Indonesia ketika nelayan menghadapi penurunan hasil tangkapan serta penghematan bahan bakar karena wilayah penangkapan yang sudah pasti.

Sebagai fungsi ekologis, memperluas lahan perkembangbiakan, membangun perlindungan habitat ikan (nursery ground). Sedangkan dari aspek strategi adalah peningkatan kehadiran dan aktivitas nelayan Indonesia sebagai bukti kuat kehadiran negara di wilayah yang selama ini sepi dari kegiatan nelayan Indonesia.
(shf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7434 seconds (0.1#10.140)