Pelajaran dari Tren Bunuh Diri Artis K-Pop

Sabtu, 30 November 2019 - 06:15 WIB
Pelajaran dari Tren Bunuh Diri Artis K-Pop
Pelajaran dari Tren Bunuh Diri Artis K-Pop
A A A
Rio Christiawan
Kriminolog dan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

MASYARAKAT dunia, termasuk penggemar Korean Pop (K-Pop) di Tanah Air, belakangan ini sering dikejutkan dengan aksi bunuh diri (suicide ) selebritas Negeri Ginseng tersebut. Terakhir artis K-Pop Goo Hara bunuh diri dengan sengaja menghirup gas beracun. Sebelumnya aksi yang sama juga dilakukan artis K-Pop lainnya, Suly, yang mengakhiri hidup dengan gantung diri.

Banyak masyarakat bertanya-tanya apa yang membuat para artis tersebut melakukan bunuh diri, padahal memiliki banyak hal yang diidamkan banyak orang. Mereka punya kekayaan berlimpah, ketenaran, memiliki paras cantik maupun tampan, namun nyatanya mereka tidak bahagia dan memilih melakukan bunuh diri.

Jawaban dari pertanyaan masyarakat tersebut adalah kekayaan dan ketenaran bukan jaminan manusia akan bahagia dan produktif. Sesuai data WHO (2018), Korea Selatan menempati peringkat pertama negara dengan jumlah bunuh diri tertinggi di Asia.

Satu di antara penyebab utama justru berkembang pesatnya industri hiburan di negara tersebut. Memang dalam banyak kejadian sebelumnya, pelaku industri hiburan nekat bunuh diri maupun berupaya bunuh diri karena tingginya tekanan pada pekerjaan yang mereka geluti.

Korea sama halnya dengan Hollywood di mana pelaku industri hiburannya juga sering kali melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Penelitian Dong Gook (2018) dari Busan University menyebutkan, penyebab bunuh diri pelaku industri hiburan di Korea Selatan adalah tekanan yang bersumber dari profesinya.

Mereka yang bunuh diri bukan seluruhnya berasal dari kalangan industri hiburan meskipun jumlah terbesar berasal dari profesi itu. Artinya, tekanan pada industri hiburan di Korea Selatan dapat dikatakan tinggi. Tingginya tekanan (pressure ) bisa bersumber dari sebab internal (eksistensi) dan sebab eksternal (peer pressure ), yakni pola komunikasi masyarakat dalam mengkritisi industri hiburan itu sendiri.

Eksistensi

Kerasnya persaingan dunia hiburan akan menyebabkan tekanan pada pelakunya mengingat tidak mudah mempertahankan eksistensi pada industri ini. Sebagaimana diungkapkan oleh kriminolog Sutherland (1986) bahwa ketenaran bisa berubah menjadi tekanan jika tidak dibarengi dengan nilai spiritual yang kuat.

Kebutuhan akan eksistensi akan menggerogoti nilai-nilai spiritual yang berakhir dengan pemahaman ketenaran secara pragmatis. Memahami ketenaran secara pragmatis berarti mengultuskan ketenaran sebagai tujuan hidup. Pada pemahaman ini tanpa ketenaran, maka hidup tidak akan memiliki arti dan tujuan hidup.

Pelaku industri hiburan yang berpikir pragmatis akan mengejar ketenaran dengan segala cara, bukan menghasilkan karya seni. Industri memerlukan ketenaran, sedangkan jika berorientasi pada karya sebagai tujuan akhir, maka ketenaran bukanlah hal yang utama.

Dalam hal ini tren bunuh diri K-Pop disebabkan oleh ada "ancaman" atas ketenaran tersebut yang berkorelasi dengan eksistensi si artis. Pada konteks ini, industri memerlukan ketenaran dalam kaitannya dengan kebutuhan komersial industri hiburan itu sendiri.

Pada akhirnya setiap industri akan berorientasi pada keuntungan material (profit). Hal inilah yang harus menjadi pembelajaran bagi para pekerja seni dan pelaku industri hiburan di Tanah Air. Mereka harus memiliki landasan nilai spiritual yang kuat guna mengimbangi dorongan untuk memenuhi tujuan industri. Sejatinya industri hiburan harus berorientasi pada humanisasi sehingga industri tersebut bermanfaat bagi manusia, bukan sebaliknya dalam pemahaman pragmatis industri ini justru menyebabkan dehumanisasi.

Dehumanisasi ditandai dengan perilaku hedonisme dalam mencapai ketenaran dan eksistensi pada industri hiburan. Contohnya saat ini ada tren pamer saldo di kalangan artis Tanah Air yang dikemas dalam vlog maupun media sosial. Ungkapan eksistensi dan ketenaran semacam inilah yang akan menciptakan dehumanisasi dalam dunia hiburan.

Dalam hal ini para pelaku industri hiburan harus memahami bahwa eksistensi dinilai dari kualitas karya, bukan dinilai dari ketenaran yang menggunakan parameter komersial. Meskipun juga tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan materiil menjadi satu di antara motivasi dalam berkarya, namun nilai spiritual akan mewujudkan karya yang humanis.

Faktor Eksternal

Beberapa kasus terakhir peristiwa bunuh diri di kalangan K-Pop disebabkan oleh faktor eksternal, yakni ada resistensi dan feedback yang tidak memuaskan dari para penggemar dan lingkungan sekitar. Cyber bullying atau perisakan melalui media sosial menjadi satu di antara faktor utama penyebab bunuh diri atau percobaan bunuh diri seperti contoh terakhir yang dialami Goo Hara. Kematiannya disebabkan oleh perisakan setelah sebelumnya ia sempat melakukan percobaan bunuh diri akibat depresi karena sebab yang sama.

Pelajaran dari hal ini adalah baik masyarakat penikmat seni maupun pelaku industri hiburan harus memahami bahwa pada dasarnya seni adalah perspektif (sudut pandang), dan perspektif setiap manusia tidak akan pernah sama.

Jadi, bukan sebuah karya buruk jika masyarakat menilai buruk, demikian juga sebaliknya. Jadi, pelaku industri hiburan harus belajar menerima perspektif yang berbeda dari penikmatnya, begitu pun sebaliknya, dalam menyikapi perbedaan perspektif atas suatu peristiwa maupun performance artis, masyarakat juga harus bijak.

Perisakan, baik secara nyata maupun melalui media sosial, justru akan menciptakan dehumanisasi pada pekerja hiburan, padahal mereka secara manusiawi juga memerlukan apresiasi dan dukungan dari penikmatnya. Harus dipahami bahwa penikmat industri hiburan turut berperan dalam menciptakan humanisasi, namun juga sebaliknya, melakukan dehumanisasi.

Untuk menciptakan industri hiburan yang sehat diperlukan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sebagai penikmat industri hiburan itu sendiri, termasuk para netizen.

Pada akhirnya hiburan dan bunuh diri merupakan dua hal yang sebenarnya sangat berbeda maknanya sehingga menjadi kewajiban moral dari seluruh pemangku kepentingan industri hiburan di Tanah Air untuk tetap menjernihkan makna hiburan itu sendiri. Dengan begitu, seluruh pemangku kepentingan yang ada di dalam industri ini dapat menikmati, bukan sebaliknya, justru merasa tertekan maupun depresi dalam dunia yang digelutinya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5062 seconds (0.1#10.140)