Memotret Wajah ASN Indonesia: Sebuah Pendekatan Teori Organisasi Birokrasi Max Weber
loading...
A
A
A
Kedua, dalam organisasi birokrasi ada tata aturan (role of the game) yang diciptakan dan ditaati bersama. Aturan atau tata tertib ini menjadi pengikat bagi anggota organisasi agar mudah dikontrol. Adanya sistem kontrol inilah yang menjadikan sebuah roda organisasi mudah menjalankan fungsinya.
Ketiga, di tubuh organisasi birokrasi dikenal yang namanya spesialisasi. Pekerjaan atau bagian dalam organisasi agar berfungsi dengan baik, maka harus diberikan kepada anggota yang memiliki keahlian dan kompetensi. Atau dengan Bahasa manajemen modern diistilahkan the right man on the right place. Menempatkan orang pada bidangnya.
Keempat, organisasi birokrasi menganut prinsip impersonal. Artinya organisasi memperlakukan semua karyawan secara sama dan setara. Ada prinsip egaliter dalam hal ini dan tidak membiarkan perbedaan individu lebih dominan dalam organisasi.
Secara umum jika ukurannya merujuk prinsip birokrasi Weber di atas, maka bisa dikatakan tujuan akhir organisasi ASN nasional, yang muaranya adalah terciptanya pelayanan publik yang maksimal, ternyata bisa dikatakan masih jauh panggang dari api alias masih jauh dari harapan.
Memang organisasi birokrasi PNS di Indoensia selama ini telah menerapkan struktur organisasi modern yang bersifat heirarkis dan berjenjang. Namun realitasnya membuat organisasi birokrasi PNS terjebak pada sistem prosedural kaku serta memiliki mata rantai panjang.
Hal ini terkonfirmasi dalam tulisan Hendrikus Triwibawanto Gedeona berjudul "Birokrasi dalam Prakteknya di Indonesia, Netralitas Atau Partisan" (2013). Dalam tulisannya Hendrikus menyatakan bahwa birokrasi Indonesia memiliki rantai yang panjang dan kompleks, di mana konsisi ini seringkali memperlambat proses administratif dan pelayanan publik.
Membandingkan antara teori heirarki birokrasi Weber dan praktiknya di Indonesia eolah sebuah ambivalensi. Satu sisi organisasi yang ideal memang mensyaratkan sistem hierarkis berjenjang yang membutuhkan tiap struktur bagian yang tidak pendek.
Tapi di sisi berikutnya, struktur bagian organisasi yang panjang dan kompleks ini menyebabkan proses yang lambat karena semuanya harus melewati aturan prosedural yang dalam konteks tertentu dinilai justru bertele-tele, kaku, dan tidak fleksibel.
Fenomena ini kemudian memunculkan istilah sangat 'birokratis' untuk mengggambarkan banyaknya bagian organisasi yang harus dilibatkan dalam sebuah proses organisasi maupun ketika pengambilan keputusan.
Adanya paradoks dalam sistem hierarkis birokrasi PNS di Indonesia itu juga diamini Ali Rozikin (2020). Dalam artikelnya Ali menyebut bahwa penggunaan struktur yang panjang dan berjenjang dalam birokrasi PNS berdampak pada lamanya proses pengambilan keputusan dan munculnya inefisiensi organisasi.
Ketiga, di tubuh organisasi birokrasi dikenal yang namanya spesialisasi. Pekerjaan atau bagian dalam organisasi agar berfungsi dengan baik, maka harus diberikan kepada anggota yang memiliki keahlian dan kompetensi. Atau dengan Bahasa manajemen modern diistilahkan the right man on the right place. Menempatkan orang pada bidangnya.
Keempat, organisasi birokrasi menganut prinsip impersonal. Artinya organisasi memperlakukan semua karyawan secara sama dan setara. Ada prinsip egaliter dalam hal ini dan tidak membiarkan perbedaan individu lebih dominan dalam organisasi.
Birokrasi ASN Masih Jauh Panggang dari Api
Merujuk prinsip-prinsip dasar organisasi birokrasi Weber tersebut, secara kasat mata sebenarnya kita semua bisa melakukan penilaian subjektif sekaligus evaluasi untuk memotret keberadaan ASN dan PNS.Secara umum jika ukurannya merujuk prinsip birokrasi Weber di atas, maka bisa dikatakan tujuan akhir organisasi ASN nasional, yang muaranya adalah terciptanya pelayanan publik yang maksimal, ternyata bisa dikatakan masih jauh panggang dari api alias masih jauh dari harapan.
Memang organisasi birokrasi PNS di Indoensia selama ini telah menerapkan struktur organisasi modern yang bersifat heirarkis dan berjenjang. Namun realitasnya membuat organisasi birokrasi PNS terjebak pada sistem prosedural kaku serta memiliki mata rantai panjang.
Hal ini terkonfirmasi dalam tulisan Hendrikus Triwibawanto Gedeona berjudul "Birokrasi dalam Prakteknya di Indonesia, Netralitas Atau Partisan" (2013). Dalam tulisannya Hendrikus menyatakan bahwa birokrasi Indonesia memiliki rantai yang panjang dan kompleks, di mana konsisi ini seringkali memperlambat proses administratif dan pelayanan publik.
Membandingkan antara teori heirarki birokrasi Weber dan praktiknya di Indonesia eolah sebuah ambivalensi. Satu sisi organisasi yang ideal memang mensyaratkan sistem hierarkis berjenjang yang membutuhkan tiap struktur bagian yang tidak pendek.
Tapi di sisi berikutnya, struktur bagian organisasi yang panjang dan kompleks ini menyebabkan proses yang lambat karena semuanya harus melewati aturan prosedural yang dalam konteks tertentu dinilai justru bertele-tele, kaku, dan tidak fleksibel.
Fenomena ini kemudian memunculkan istilah sangat 'birokratis' untuk mengggambarkan banyaknya bagian organisasi yang harus dilibatkan dalam sebuah proses organisasi maupun ketika pengambilan keputusan.
Adanya paradoks dalam sistem hierarkis birokrasi PNS di Indonesia itu juga diamini Ali Rozikin (2020). Dalam artikelnya Ali menyebut bahwa penggunaan struktur yang panjang dan berjenjang dalam birokrasi PNS berdampak pada lamanya proses pengambilan keputusan dan munculnya inefisiensi organisasi.