Memotret Wajah ASN Indonesia: Sebuah Pendekatan Teori Organisasi Birokrasi Max Weber
loading...
A
A
A
Wahyono
Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Jakarta
KESEMPATAN untuk meniti karier sebagai Calon Aparatur Sipil Negara ( CASN ) kembali dibuka pemerintah. Tahun 2024 ini negara membuka lebar-lebar lowongan CASN yang terdiri dari Calon Pegawai Negeri Sipil ( CPNS ) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mengutip data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB), total kebutuhan ASN tahun 2024 sebanyak 2,3 juta orang. Apabila dibandingkan tahun 2023, kebutuhan ASN tahun ini jumlahnya bisa dikatakan membengkak. Data KemenPAN RB menyebutkan kebutuhan ASN tahun 2023 yakni 1.030.751.
Sementara hingga per 1 Juli 2024, jumlah ASN di Indonesia berjumlah 4.758.730 orang. Jumlah para pegawai 'Ambtenaar' ini meningkat jika dibandingkan periode semester I tahun 2023 di mana jumlahnya 4,28 juta orang.
Itu artinya ada peningkatan kebutuhan ASN secara nasional. Atau dengan kata lain dari segi struktur organisasi, ASN juga mengalami perkembangan seiring dengan hadirnya kebutuhan tersebut.
Apa yang bisa dibaca dari fenomena bertambahnya jumlah ASN tersebut? Selain menjadi kebutuhan objektif nasional, ketika membincangkan ASN selama ini, suka atau tidak suka, selalu disertai pertanyaan efektivitas dan optimalisasi kinerja struktur organisasi ASN.
Singkatnya, pertanyaan soal efektivitas kinerja itu sangat relevan dengan pertanyaan selanjutnya yakni apakah dengan bertumbuh dan bertambahnya jumlah ASN akan berkorelasi dengan output berupa meningkatnya kualitas pelayanan terhadap masyarakat atau publik?
Apa itu birokrasi? Weber mendefiniskan organisasi sebagai pengaturan dan penyusunan bagian-bagian tertentu hingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan adanya gabungan kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam pandangan Weber, birokrasi harus menjadi ruh dari berjalannya sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang efektif, efisien, dan rasional. Birokrasi ideal model Weber juga harus memenuhi sejumlah prinsip dasar untuk bisa menuju goal atau tujuan bersama organisasi.
Pertama, birokrasi dari sebuah organisasi memiliki hierarki formal. Nyawa dari sebuah organisasi adalah adanya struktur bersifat vertikal atau hierarkis di mana satu level mengendalikan level atau bagian di bawahnya. Ada struktur bangunan organisasi bersifat top down-bottom up. Sederhananya ada atasan ada bawahan.
Kedua, dalam organisasi birokrasi ada tata aturan (role of the game) yang diciptakan dan ditaati bersama. Aturan atau tata tertib ini menjadi pengikat bagi anggota organisasi agar mudah dikontrol. Adanya sistem kontrol inilah yang menjadikan sebuah roda organisasi mudah menjalankan fungsinya.
Ketiga, di tubuh organisasi birokrasi dikenal yang namanya spesialisasi. Pekerjaan atau bagian dalam organisasi agar berfungsi dengan baik, maka harus diberikan kepada anggota yang memiliki keahlian dan kompetensi. Atau dengan Bahasa manajemen modern diistilahkan the right man on the right place. Menempatkan orang pada bidangnya.
Keempat, organisasi birokrasi menganut prinsip impersonal. Artinya organisasi memperlakukan semua karyawan secara sama dan setara. Ada prinsip egaliter dalam hal ini dan tidak membiarkan perbedaan individu lebih dominan dalam organisasi.
Secara umum jika ukurannya merujuk prinsip birokrasi Weber di atas, maka bisa dikatakan tujuan akhir organisasi ASN nasional, yang muaranya adalah terciptanya pelayanan publik yang maksimal, ternyata bisa dikatakan masih jauh panggang dari api alias masih jauh dari harapan.
Memang organisasi birokrasi PNS di Indoensia selama ini telah menerapkan struktur organisasi modern yang bersifat heirarkis dan berjenjang. Namun realitasnya membuat organisasi birokrasi PNS terjebak pada sistem prosedural kaku serta memiliki mata rantai panjang.
Hal ini terkonfirmasi dalam tulisan Hendrikus Triwibawanto Gedeona berjudul "Birokrasi dalam Prakteknya di Indonesia, Netralitas Atau Partisan" (2013). Dalam tulisannya Hendrikus menyatakan bahwa birokrasi Indonesia memiliki rantai yang panjang dan kompleks, di mana konsisi ini seringkali memperlambat proses administratif dan pelayanan publik.
Membandingkan antara teori heirarki birokrasi Weber dan praktiknya di Indonesia eolah sebuah ambivalensi. Satu sisi organisasi yang ideal memang mensyaratkan sistem hierarkis berjenjang yang membutuhkan tiap struktur bagian yang tidak pendek.
Tapi di sisi berikutnya, struktur bagian organisasi yang panjang dan kompleks ini menyebabkan proses yang lambat karena semuanya harus melewati aturan prosedural yang dalam konteks tertentu dinilai justru bertele-tele, kaku, dan tidak fleksibel.
Fenomena ini kemudian memunculkan istilah sangat 'birokratis' untuk mengggambarkan banyaknya bagian organisasi yang harus dilibatkan dalam sebuah proses organisasi maupun ketika pengambilan keputusan.
Adanya paradoks dalam sistem hierarkis birokrasi PNS di Indonesia itu juga diamini Ali Rozikin (2020). Dalam artikelnya Ali menyebut bahwa penggunaan struktur yang panjang dan berjenjang dalam birokrasi PNS berdampak pada lamanya proses pengambilan keputusan dan munculnya inefisiensi organisasi.
Weber juga mensyaratkan bahwa sebuah organisasi birokrasi harus memiliki aturan atau rule of the game yang ditaati dan dijalankan bersama untuk mencapai tujuan. Secara teoritis, kalau berbicara aturan, sudah banyak produk keputusan formal yang mengatur keberadaan ASN di Indonesia.
Namun banyaknya aturan dan tata tertib yang dibuat ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku dan budaya disiplin dalam tubuh ASN. Salah satu indikasi rendahnya kualitas PNS salah satunya disebabkan mudahnya para PNS melakukan pelanggaran disiplin.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak ASN yang tidak mentaati peraturan yang ada. Imbas dari ketidaktaatan terhadap aturan ini menyebabkan kinerja organisasi secara keseluruhan akan terganggu.
Tak cukup sampai di situ, Weber juga menyebutkan bahwa sebuah organisasi birokrasi ideal adalah yang menerapkan prinsip spesialisasi. Memperkerjakan orang atau anggota organisasi dalam bidang dan sub sistem yang tepat atau proper. Kalau dalam bahasa sekarang hal ini dikenal sebagai prinsip profesionalisme dalam organisasi manajemen modern.
Jadi ketika menempatkan seseorang dalam jabatan di organisasi nmor satu yang dikedepankan adalah keahlian atau kemampuannya. Lagi-lagi, melihat realitas ASN kita, hal itu juga masih banyak yang jauh dari harapan.
Banyak ASN yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk menjalankan tugas mereka. Kondisi obyektif ini selaras dengan temuan Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang menemukan 37% ASN tidak bekerja sesuai dengan bidang keahlian atau kompetensinya.
Selain kompetensi, organisasi birokrasi yang ideal dalam pandangan Weber juga harus menganut prinsip impersonal. Aturan yang dijalankan di organisasi pada prinsipnya sama untuk semua anggota organisasi, menjunjung prinsip kesetaraan, keadilian serta mengharamkan adanya pembedaan atau diskriminasi.
Bagaimana penerapan prinsip impersonal dalam birokrasi ASN di Indonesia? Realitasnya, kultur birokrasi di Tanah Air seringkali dipengaruhi oleh patronage dan privilège, yang dapat menganggu prinsip impersonal.
Kultur birokrasi yang kental sistem paternalistik ini pada perkembanganya menjadi lading subur bagi tumbuhnya budaya KKN yang pada gilirannya membuat sebuah organisasi tidak bisa efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuannya.
Setelah membedah struktur organisasi birokrasi ASN di Indonesia dengan merujuk pada teori birokrasi Weber maka salah satu kesimpulannya adalah bahwa wajah birokrasi ASN kita masih bopeng alias belum ideal.
Sosok wajah birokrasi Abdi Negara yang terhimpun dalam Korpri ini diibaratkan masih banyak ditumbuhi jerawat yang membutuhkan ‘obat’ untuk membersihkan sekaligus memolesnya.
Butuh kerja keras dan cerdas dari semua stake holder khususnya para pelaku dalam tubuh ASN sendiri untuk mewujudkan harapan masyarakat agar ideologi ASN sebagai pihak yang melayani tidak berubah menjadi orang yang minta dilayani.
Seperti juga harapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang suatu waktu pernah mengingatkan para mahasiswa Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN bahwa karakter utama ASN bukanlah menjadi penguasa, tapi pelayan masyarakat.
Mahasiswa S2 Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Jakarta
KESEMPATAN untuk meniti karier sebagai Calon Aparatur Sipil Negara ( CASN ) kembali dibuka pemerintah. Tahun 2024 ini negara membuka lebar-lebar lowongan CASN yang terdiri dari Calon Pegawai Negeri Sipil ( CPNS ) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mengutip data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB), total kebutuhan ASN tahun 2024 sebanyak 2,3 juta orang. Apabila dibandingkan tahun 2023, kebutuhan ASN tahun ini jumlahnya bisa dikatakan membengkak. Data KemenPAN RB menyebutkan kebutuhan ASN tahun 2023 yakni 1.030.751.
Sementara hingga per 1 Juli 2024, jumlah ASN di Indonesia berjumlah 4.758.730 orang. Jumlah para pegawai 'Ambtenaar' ini meningkat jika dibandingkan periode semester I tahun 2023 di mana jumlahnya 4,28 juta orang.
Itu artinya ada peningkatan kebutuhan ASN secara nasional. Atau dengan kata lain dari segi struktur organisasi, ASN juga mengalami perkembangan seiring dengan hadirnya kebutuhan tersebut.
Apa yang bisa dibaca dari fenomena bertambahnya jumlah ASN tersebut? Selain menjadi kebutuhan objektif nasional, ketika membincangkan ASN selama ini, suka atau tidak suka, selalu disertai pertanyaan efektivitas dan optimalisasi kinerja struktur organisasi ASN.
Singkatnya, pertanyaan soal efektivitas kinerja itu sangat relevan dengan pertanyaan selanjutnya yakni apakah dengan bertumbuh dan bertambahnya jumlah ASN akan berkorelasi dengan output berupa meningkatnya kualitas pelayanan terhadap masyarakat atau publik?
Weber: Birokrasi Harus Jadi Ruh Organisasi Ideal
Meminjam pendekatan teori organisasi birokrasi Max Weber, struktur organisasi modern, termasuk di dalamnya yang sudah diadopsi dalam sistem organisasi ASN saat ini, tak bisa dilepaskan dari model organisasi birokrasi.Apa itu birokrasi? Weber mendefiniskan organisasi sebagai pengaturan dan penyusunan bagian-bagian tertentu hingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan adanya gabungan kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam pandangan Weber, birokrasi harus menjadi ruh dari berjalannya sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang efektif, efisien, dan rasional. Birokrasi ideal model Weber juga harus memenuhi sejumlah prinsip dasar untuk bisa menuju goal atau tujuan bersama organisasi.
Prinsip Birokrasi sebagai 'Nyawa' Organisasi
Apa itu prinsip utama birokrasi? Dalam pandangan Weber, sebuah organisasi sekurang-kurangnya harus memenuhi standar minimal berikut agar bisa mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama, yakni:Pertama, birokrasi dari sebuah organisasi memiliki hierarki formal. Nyawa dari sebuah organisasi adalah adanya struktur bersifat vertikal atau hierarkis di mana satu level mengendalikan level atau bagian di bawahnya. Ada struktur bangunan organisasi bersifat top down-bottom up. Sederhananya ada atasan ada bawahan.
Kedua, dalam organisasi birokrasi ada tata aturan (role of the game) yang diciptakan dan ditaati bersama. Aturan atau tata tertib ini menjadi pengikat bagi anggota organisasi agar mudah dikontrol. Adanya sistem kontrol inilah yang menjadikan sebuah roda organisasi mudah menjalankan fungsinya.
Ketiga, di tubuh organisasi birokrasi dikenal yang namanya spesialisasi. Pekerjaan atau bagian dalam organisasi agar berfungsi dengan baik, maka harus diberikan kepada anggota yang memiliki keahlian dan kompetensi. Atau dengan Bahasa manajemen modern diistilahkan the right man on the right place. Menempatkan orang pada bidangnya.
Keempat, organisasi birokrasi menganut prinsip impersonal. Artinya organisasi memperlakukan semua karyawan secara sama dan setara. Ada prinsip egaliter dalam hal ini dan tidak membiarkan perbedaan individu lebih dominan dalam organisasi.
Birokrasi ASN Masih Jauh Panggang dari Api
Merujuk prinsip-prinsip dasar organisasi birokrasi Weber tersebut, secara kasat mata sebenarnya kita semua bisa melakukan penilaian subjektif sekaligus evaluasi untuk memotret keberadaan ASN dan PNS.Secara umum jika ukurannya merujuk prinsip birokrasi Weber di atas, maka bisa dikatakan tujuan akhir organisasi ASN nasional, yang muaranya adalah terciptanya pelayanan publik yang maksimal, ternyata bisa dikatakan masih jauh panggang dari api alias masih jauh dari harapan.
Memang organisasi birokrasi PNS di Indoensia selama ini telah menerapkan struktur organisasi modern yang bersifat heirarkis dan berjenjang. Namun realitasnya membuat organisasi birokrasi PNS terjebak pada sistem prosedural kaku serta memiliki mata rantai panjang.
Hal ini terkonfirmasi dalam tulisan Hendrikus Triwibawanto Gedeona berjudul "Birokrasi dalam Prakteknya di Indonesia, Netralitas Atau Partisan" (2013). Dalam tulisannya Hendrikus menyatakan bahwa birokrasi Indonesia memiliki rantai yang panjang dan kompleks, di mana konsisi ini seringkali memperlambat proses administratif dan pelayanan publik.
Membandingkan antara teori heirarki birokrasi Weber dan praktiknya di Indonesia eolah sebuah ambivalensi. Satu sisi organisasi yang ideal memang mensyaratkan sistem hierarkis berjenjang yang membutuhkan tiap struktur bagian yang tidak pendek.
Tapi di sisi berikutnya, struktur bagian organisasi yang panjang dan kompleks ini menyebabkan proses yang lambat karena semuanya harus melewati aturan prosedural yang dalam konteks tertentu dinilai justru bertele-tele, kaku, dan tidak fleksibel.
Fenomena ini kemudian memunculkan istilah sangat 'birokratis' untuk mengggambarkan banyaknya bagian organisasi yang harus dilibatkan dalam sebuah proses organisasi maupun ketika pengambilan keputusan.
Adanya paradoks dalam sistem hierarkis birokrasi PNS di Indonesia itu juga diamini Ali Rozikin (2020). Dalam artikelnya Ali menyebut bahwa penggunaan struktur yang panjang dan berjenjang dalam birokrasi PNS berdampak pada lamanya proses pengambilan keputusan dan munculnya inefisiensi organisasi.
Weber juga mensyaratkan bahwa sebuah organisasi birokrasi harus memiliki aturan atau rule of the game yang ditaati dan dijalankan bersama untuk mencapai tujuan. Secara teoritis, kalau berbicara aturan, sudah banyak produk keputusan formal yang mengatur keberadaan ASN di Indonesia.
Namun banyaknya aturan dan tata tertib yang dibuat ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku dan budaya disiplin dalam tubuh ASN. Salah satu indikasi rendahnya kualitas PNS salah satunya disebabkan mudahnya para PNS melakukan pelanggaran disiplin.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak ASN yang tidak mentaati peraturan yang ada. Imbas dari ketidaktaatan terhadap aturan ini menyebabkan kinerja organisasi secara keseluruhan akan terganggu.
Tak cukup sampai di situ, Weber juga menyebutkan bahwa sebuah organisasi birokrasi ideal adalah yang menerapkan prinsip spesialisasi. Memperkerjakan orang atau anggota organisasi dalam bidang dan sub sistem yang tepat atau proper. Kalau dalam bahasa sekarang hal ini dikenal sebagai prinsip profesionalisme dalam organisasi manajemen modern.
Jadi ketika menempatkan seseorang dalam jabatan di organisasi nmor satu yang dikedepankan adalah keahlian atau kemampuannya. Lagi-lagi, melihat realitas ASN kita, hal itu juga masih banyak yang jauh dari harapan.
Banyak ASN yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk menjalankan tugas mereka. Kondisi obyektif ini selaras dengan temuan Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang menemukan 37% ASN tidak bekerja sesuai dengan bidang keahlian atau kompetensinya.
Selain kompetensi, organisasi birokrasi yang ideal dalam pandangan Weber juga harus menganut prinsip impersonal. Aturan yang dijalankan di organisasi pada prinsipnya sama untuk semua anggota organisasi, menjunjung prinsip kesetaraan, keadilian serta mengharamkan adanya pembedaan atau diskriminasi.
Bagaimana penerapan prinsip impersonal dalam birokrasi ASN di Indonesia? Realitasnya, kultur birokrasi di Tanah Air seringkali dipengaruhi oleh patronage dan privilège, yang dapat menganggu prinsip impersonal.
Kultur birokrasi yang kental sistem paternalistik ini pada perkembanganya menjadi lading subur bagi tumbuhnya budaya KKN yang pada gilirannya membuat sebuah organisasi tidak bisa efektif dan efisien dalam mewujudkan tujuannya.
Setelah membedah struktur organisasi birokrasi ASN di Indonesia dengan merujuk pada teori birokrasi Weber maka salah satu kesimpulannya adalah bahwa wajah birokrasi ASN kita masih bopeng alias belum ideal.
Sosok wajah birokrasi Abdi Negara yang terhimpun dalam Korpri ini diibaratkan masih banyak ditumbuhi jerawat yang membutuhkan ‘obat’ untuk membersihkan sekaligus memolesnya.
Butuh kerja keras dan cerdas dari semua stake holder khususnya para pelaku dalam tubuh ASN sendiri untuk mewujudkan harapan masyarakat agar ideologi ASN sebagai pihak yang melayani tidak berubah menjadi orang yang minta dilayani.
Seperti juga harapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang suatu waktu pernah mengingatkan para mahasiswa Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN bahwa karakter utama ASN bukanlah menjadi penguasa, tapi pelayan masyarakat.
(abd)