Bambang Haryo Nilai Fasilitas Jalan Tol Belum Sesuai Standar Aturan PUPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat transportasi dan logistik, Bambang Haryo Soekartono menyoroti fasilitas di jalan tol yang sejauh ini belum disesuaikan. Hal ini sebagaimana standar yang tertuang dalam peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2021 tentang Tempat Istrahat dan Pelayanan pada Jalan Tol.
Menurut anggota DPR-RI terpilih periode 2024-2029 ini, menjelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Jokowi, belum terlihat maksimal adanya peningkatan positif di sektor jalan tol. Ia menyatakan, masih banyak hal yang perlu dibenahi di sektor jalan tol.
"Jika melihat kinerja pemerintah di sektor jalan tol, maka kita bisa menilai dari kondisi fisik jalan tol dan layanan rest area yang ada di setiap ruas jalan tol. Dari hal itu semua, bisa saya katakan layanan jalan tol Indonesia saat ini masih sangat kurang," kata BHS, Sabtu (14/9/2024).
Sebagai contoh pertama, ia menyoroti keberadaan Rest Area yang belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian PUPR.
"Dari sisi jumlah rest area nya saja belum memenuhi syarat yang mana, Jarak antara rest area ke rest area selanjutnya itu masih banyak yang tidak sesuai. Termasuk juga untuk luasan lahan, rest area tipe A seharusnya minimum 6 hectare, tipe B minimal 3 hektare, dan tipe C minimal 2.500 meter persegi," ucapnya.
"Itu juga banyak yang belum terpenuhi baik jumlah maupun kualitasnya. Seperti misal rest area tipe A seharusnya dilengkapi dengan unit-unit ber standar seperti klinik kesehatan, pemadam kebakaran, posko kepolisian, Dan bahkan harus dilengkapi dengan bengkel. Faktanya kan banyak yang tidak memenuhi standar sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR, begitu," tambah pemilik sapaan akrab, BHS ini.
Apalagi kata dia, akses jalan menuju ke rest area masih banyak yang berantakan, seperti yang dikeluhkan oleh Operator rest area. Sehingga akan menyulitkan pengguna jalan tol untuk masuk ke rest area.
"Rest Area ini kan kebutuhan pokok masyarakat, apalagi kalau 'Peak Season', dimana jumlah pengguna nya sangat banyak. Seharusnya tidak perlu dibuat bentuk yang aneh aneh, seperti di beberapa Negara luar, rest area tidak perlu menonjolkan bentuknya, yang penting adalah isi dan fungsi dari rest area itu," urainya lagi.
Belum lagi lanjutnya, beban dari biaya penyewaan lot untuk berdagang di rest area yang sangat mahal, sehingga menyebabkan harga makanan di rest area biasanya lebih mahal dibandingkan harga di luar jalan tol.
"Hal ini yang sangat mempengaruhi kenyamanan masyarakat untuk beristirahat dan memanfaatkan makanan dan berbelanja di jalan tol, karena terbatasnya areal rest area dan mahalnya harga makanan di rest area tersebut. Tentunya ini akan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan tol bila mereka tidak berminat untuk beristirahat di rest area jalan tol. Dan tentu akan berpengaruh terhadap ekonomi perdagangan di Wilayah tersebut," jelas BHS.
Selanjutnya, BHS juga menyoroti tarif jalan tol yang di bangun saat ini masih di rasa masyarakat sangat mahal, sehingga angkutan umum dan angkutan logistik, masih belum banyak yang memanfaatkan percepatan pertumbuhan di wilayah di Indonesia.
"Sehingga bisa dikatakan tidak lebih dari 5 persen saja angkutan umum dan angkutan logistik yang menggunakan jalan tol, bila dibandingkan dengan jalan reguler. Termasuk juga angkutan pribadi, tarif tol di rasa masih sangat mahal dan jumlah yang menggunakan jalan tol dibanding jalan biasa tidak lebih dari 10 persen. Sehingga manfaat jalan tol untuk percepatan pertumbuhan tidak bisa maksimal," ungkapnya.
Ia menyarankan, seharusnya pemerintah tidak menjadikan jalan tol sebagai proyek komersial, karena sesungguhnya pengelola tidak boleh mengambil keuntungan besar dari pembangunan infrastruktur.
"Seharusnya yang dikejar adalah dampak ekonomi yang besar akibat adanya infrastruktur jalan tol. Itu adalah prinsip dasar dari infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara maksimal. Kita bisa Lihat di jalan tol yang dibangun Kabinet Presiden Soeharto, mana ada yang mahal tarif-nya? Akhirnya transportasi umum dan logistik maksimal bisa memanfaatkan jalan tol tersebut saat itu," tuturnya.
Selain itu dia menyatakan, lajur jalan tol di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standarisasi layaknya jalan tol berbayar seperti yang ada di beberapa negara luar. Misalnya di Malaysia lajur jalan tol, minimal 3 lajur, di sisi kiri dan berlawanan 3 lajur di sisi kanan. Sementara mayoritas jalan tol di Indonesia hanya 2 lajur.
"Ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, agar standar jalan tol berbayar di Indonesia itu bisa lebih murah dan mempunyai lajur di atas dua lajur," tegas BHS.
Apalagi lajur di jalan tol kata dia, yang saat ini masih dalam bentuk Rigid Pavement, yang sangat membahayakan untuk kecepatan tinggi. Mana ada di seluruh dunia jalan tol Rigid Pavement tidak dilapisi aspal atau concrete.
"Ini pasti sangat membahayakan pengguna jalan tol yang menggunakan kecepatan tinggi karena akhirnya mengakibatkan begitu banyak pecah ban apalagi kalau Rigid Pavement nya pecah atau rusak, maka akan lebih membahayakan ban kendaraan yang lewat di jalur tol tersebut," tutup BHS.
Menurut anggota DPR-RI terpilih periode 2024-2029 ini, menjelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Jokowi, belum terlihat maksimal adanya peningkatan positif di sektor jalan tol. Ia menyatakan, masih banyak hal yang perlu dibenahi di sektor jalan tol.
"Jika melihat kinerja pemerintah di sektor jalan tol, maka kita bisa menilai dari kondisi fisik jalan tol dan layanan rest area yang ada di setiap ruas jalan tol. Dari hal itu semua, bisa saya katakan layanan jalan tol Indonesia saat ini masih sangat kurang," kata BHS, Sabtu (14/9/2024).
Sebagai contoh pertama, ia menyoroti keberadaan Rest Area yang belum memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh Kementerian PUPR.
"Dari sisi jumlah rest area nya saja belum memenuhi syarat yang mana, Jarak antara rest area ke rest area selanjutnya itu masih banyak yang tidak sesuai. Termasuk juga untuk luasan lahan, rest area tipe A seharusnya minimum 6 hectare, tipe B minimal 3 hektare, dan tipe C minimal 2.500 meter persegi," ucapnya.
"Itu juga banyak yang belum terpenuhi baik jumlah maupun kualitasnya. Seperti misal rest area tipe A seharusnya dilengkapi dengan unit-unit ber standar seperti klinik kesehatan, pemadam kebakaran, posko kepolisian, Dan bahkan harus dilengkapi dengan bengkel. Faktanya kan banyak yang tidak memenuhi standar sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR, begitu," tambah pemilik sapaan akrab, BHS ini.
Apalagi kata dia, akses jalan menuju ke rest area masih banyak yang berantakan, seperti yang dikeluhkan oleh Operator rest area. Sehingga akan menyulitkan pengguna jalan tol untuk masuk ke rest area.
"Rest Area ini kan kebutuhan pokok masyarakat, apalagi kalau 'Peak Season', dimana jumlah pengguna nya sangat banyak. Seharusnya tidak perlu dibuat bentuk yang aneh aneh, seperti di beberapa Negara luar, rest area tidak perlu menonjolkan bentuknya, yang penting adalah isi dan fungsi dari rest area itu," urainya lagi.
Belum lagi lanjutnya, beban dari biaya penyewaan lot untuk berdagang di rest area yang sangat mahal, sehingga menyebabkan harga makanan di rest area biasanya lebih mahal dibandingkan harga di luar jalan tol.
"Hal ini yang sangat mempengaruhi kenyamanan masyarakat untuk beristirahat dan memanfaatkan makanan dan berbelanja di jalan tol, karena terbatasnya areal rest area dan mahalnya harga makanan di rest area tersebut. Tentunya ini akan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan tol bila mereka tidak berminat untuk beristirahat di rest area jalan tol. Dan tentu akan berpengaruh terhadap ekonomi perdagangan di Wilayah tersebut," jelas BHS.
Selanjutnya, BHS juga menyoroti tarif jalan tol yang di bangun saat ini masih di rasa masyarakat sangat mahal, sehingga angkutan umum dan angkutan logistik, masih belum banyak yang memanfaatkan percepatan pertumbuhan di wilayah di Indonesia.
"Sehingga bisa dikatakan tidak lebih dari 5 persen saja angkutan umum dan angkutan logistik yang menggunakan jalan tol, bila dibandingkan dengan jalan reguler. Termasuk juga angkutan pribadi, tarif tol di rasa masih sangat mahal dan jumlah yang menggunakan jalan tol dibanding jalan biasa tidak lebih dari 10 persen. Sehingga manfaat jalan tol untuk percepatan pertumbuhan tidak bisa maksimal," ungkapnya.
Ia menyarankan, seharusnya pemerintah tidak menjadikan jalan tol sebagai proyek komersial, karena sesungguhnya pengelola tidak boleh mengambil keuntungan besar dari pembangunan infrastruktur.
"Seharusnya yang dikejar adalah dampak ekonomi yang besar akibat adanya infrastruktur jalan tol. Itu adalah prinsip dasar dari infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara maksimal. Kita bisa Lihat di jalan tol yang dibangun Kabinet Presiden Soeharto, mana ada yang mahal tarif-nya? Akhirnya transportasi umum dan logistik maksimal bisa memanfaatkan jalan tol tersebut saat itu," tuturnya.
Selain itu dia menyatakan, lajur jalan tol di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi standarisasi layaknya jalan tol berbayar seperti yang ada di beberapa negara luar. Misalnya di Malaysia lajur jalan tol, minimal 3 lajur, di sisi kiri dan berlawanan 3 lajur di sisi kanan. Sementara mayoritas jalan tol di Indonesia hanya 2 lajur.
"Ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah, agar standar jalan tol berbayar di Indonesia itu bisa lebih murah dan mempunyai lajur di atas dua lajur," tegas BHS.
Apalagi lajur di jalan tol kata dia, yang saat ini masih dalam bentuk Rigid Pavement, yang sangat membahayakan untuk kecepatan tinggi. Mana ada di seluruh dunia jalan tol Rigid Pavement tidak dilapisi aspal atau concrete.
"Ini pasti sangat membahayakan pengguna jalan tol yang menggunakan kecepatan tinggi karena akhirnya mengakibatkan begitu banyak pecah ban apalagi kalau Rigid Pavement nya pecah atau rusak, maka akan lebih membahayakan ban kendaraan yang lewat di jalur tol tersebut," tutup BHS.
(maf)