Singgung Gibran, Mahfud MD: Banyak Hukum Diperkosa Bila Menyangkut Politik dan Kekuasaan
loading...
A
A
A
Mahfud mengaku meminta kepada Istana agar dirinya mewakili pemerintah di DPR. Tujuannya agar masalah tersebut selesai. Saat pembahasan bersama DPR, Mahfud mengaku tidak setuju karena melanggar independensi MK.
“Saya tolak, tapi setelah saya tidak jadi Menteri, maju lagi (UU) ke DPR. Padahal itu berpotensi oleh masyarakat diuji formal karena prosedurnya salah. Saya bisa menjadi saksi itu prosedurnya ndak benar. Prosedurnya melanggar prinsip-prinsip keterbukaan” ucapnya.
Namun setelah dirinya tidak menjadi menteri, sambung Mahfud, pasal yang dulu ditolak dalam UU tersebut diperberat.
“Isinya, bagi hakim MK yang sudah masuk periode ketiga seperti Anwar Usman dan Arif Hidayat itu pensiun dalam usia 70 tahun atau habis masa SK-nya 5 tahun. Nah, dengan perubahan ini, Anwar Usman yang harusnya pensiun tahun 2027 dia memperpanjang sampai 2028 tambah lagi satu tahun. Kan sudah jelas sangat tendensius,” tegasnya.
Informasi yang diperoleh dari beberapa sumber, kata Mahfud, ketika Menko Polhukam yang baru akan ke DPR, sebelum itu Anwar Usman mendatangi Kantor Kemenko Polhukam bertemu Menko Polhukam, sehingga Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sebelumnya ditolak malah diperberat bahkan memberi tambahan 1 tahun kepada Anwar Usman.
“Semua produk undang-undang yang menyangkut kekuasaan itu menurut saya tidak lepas dari rekayasa-rekayasa untuk menguntungkan itu. Termasuk produk peradilannya,” kata Mahfud.
Mahfud mencontohkan kasus Gibran Rakabuming Raka yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilu 2024.
“Itukan perkaranya sudah ditarik, tiba-tiba dimasukkan lagi di hari libur. Kemudian disuruh beri nomor, menurut kesaksian yang muncul kan disuruh ketua MK, sehingga kesepakatan yang sebelumnya bahwa itu ditolak dibahas lagi dari awal karena nomor perkaranya beda,” katanya.
“Sampai akhirnya, semua masyarakat sudah tahu kan. Pada akhirnya lima orang tidak setuju, empat orang setuju. Tapi dikatakan dua dari lima itu karena mengusulkan hanya boleh kalau sudah gubernur dianggap ikut yang empat. Iyakan, akhirnya seperti itu,” paparnya.
“Saya tolak, tapi setelah saya tidak jadi Menteri, maju lagi (UU) ke DPR. Padahal itu berpotensi oleh masyarakat diuji formal karena prosedurnya salah. Saya bisa menjadi saksi itu prosedurnya ndak benar. Prosedurnya melanggar prinsip-prinsip keterbukaan” ucapnya.
Namun setelah dirinya tidak menjadi menteri, sambung Mahfud, pasal yang dulu ditolak dalam UU tersebut diperberat.
“Isinya, bagi hakim MK yang sudah masuk periode ketiga seperti Anwar Usman dan Arif Hidayat itu pensiun dalam usia 70 tahun atau habis masa SK-nya 5 tahun. Nah, dengan perubahan ini, Anwar Usman yang harusnya pensiun tahun 2027 dia memperpanjang sampai 2028 tambah lagi satu tahun. Kan sudah jelas sangat tendensius,” tegasnya.
Informasi yang diperoleh dari beberapa sumber, kata Mahfud, ketika Menko Polhukam yang baru akan ke DPR, sebelum itu Anwar Usman mendatangi Kantor Kemenko Polhukam bertemu Menko Polhukam, sehingga Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sebelumnya ditolak malah diperberat bahkan memberi tambahan 1 tahun kepada Anwar Usman.
“Semua produk undang-undang yang menyangkut kekuasaan itu menurut saya tidak lepas dari rekayasa-rekayasa untuk menguntungkan itu. Termasuk produk peradilannya,” kata Mahfud.
Mahfud mencontohkan kasus Gibran Rakabuming Raka yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilu 2024.
“Itukan perkaranya sudah ditarik, tiba-tiba dimasukkan lagi di hari libur. Kemudian disuruh beri nomor, menurut kesaksian yang muncul kan disuruh ketua MK, sehingga kesepakatan yang sebelumnya bahwa itu ditolak dibahas lagi dari awal karena nomor perkaranya beda,” katanya.
“Sampai akhirnya, semua masyarakat sudah tahu kan. Pada akhirnya lima orang tidak setuju, empat orang setuju. Tapi dikatakan dua dari lima itu karena mengusulkan hanya boleh kalau sudah gubernur dianggap ikut yang empat. Iyakan, akhirnya seperti itu,” paparnya.
(cip)