Singgung Gibran, Mahfud MD: Banyak Hukum Diperkosa Bila Menyangkut Politik dan Kekuasaan

Rabu, 11 September 2024 - 14:21 WIB
loading...
Singgung Gibran, Mahfud...
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyebut banyak hukum diperkosa bila menyangkut politik dan kekuasaan. Foto/tangkapan layar
A A A
JAKARTA - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD terang-terangan menyebut upaya pemerkosaan hukum pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Terutama yang menyangkut politik dan kekuasaan.

Hal itu diungkapkan Mahfud MD saat menjadi narasumber di Podcast Akbar Faizal Uncensored. Dalam kesempatan tersebut, Mahfud mengakui, dalam momen-momen tertentu hukum diperkosa.

“Kalau hukum di bidang keperdataan, kemudian hukum dalam kasus-kasus masyarakat biasa itu berjalan cukup oke, tetapi kalau sudah menyangkut politik, kekuasaan banyak sekali hukum yang diperkosa, di mana sumber daya dan energi hukum disedot agar bisa memperkuat kekuasaan,” katanya, Rabu (11/9/2024).



Bahkan, kata Mahfud, ada Undang-undang yang sengaja diterobos. Salah satunya,Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK). Mahfud mengaku menolak UU tersebut karena tidak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Apalagi UU tersebut baru diubah dua tahun lalu. Tiba-tiba ada surat akan ada perubahan UU dan isinya tidak diketahui publik.

“Isinya ancaman bagi kemerdekaan Mahkamah Konstitusi karena berisi hak konfirmasi. Konfirmasi itu artinya pada saat UU ditetapkan semua hakim yang ada dimintakan konfirmasi kepada presiden, apakah akan diteruskan atau tidak. Itukan ancaman ya ancaman,” ujarnya.



Selanjutnya, UU tersebut diperhalus sedikit di mana hakim yang diminta konfirmasi itu hanya orang-orang yang masuk pada periode kedua. Mahfud menyebut ada tiga orang hakim yang harus diminta dikonfirmasi. Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Hartoyo.

“Kami para mantan hakim MK sudah bertemu, tidak boleh ada pemberhentian hakim MK itu atas nama apa pun pada saat masa jabatan sedang berjalan sesuai dengan Keppresnya, enggak ada konfirmasi-konfirmasian,” katanya.

“Tetapi DPR tetap begitu. Saat itu (UU) dibuat, kira-kira ancamannya kalau tidak ikut pemerintah di dalam kasus-kasus pemilu waktu itu, ancamannya kira-kira tiga orang ini dikonfrimasi pasti tidak diangkat lagi. Kan tidak boleh di pengadilan hakim diberhentikan dari jabatannya. Itulah sebabnya saya tolak,” sambungnya.

Mahfud mengaku meminta kepada Istana agar dirinya mewakili pemerintah di DPR. Tujuannya agar masalah tersebut selesai. Saat pembahasan bersama DPR, Mahfud mengaku tidak setuju karena melanggar independensi MK.

“Saya tolak, tapi setelah saya tidak jadi Menteri, maju lagi (UU) ke DPR. Padahal itu berpotensi oleh masyarakat diuji formal karena prosedurnya salah. Saya bisa menjadi saksi itu prosedurnya ndak benar. Prosedurnya melanggar prinsip-prinsip keterbukaan” ucapnya.

Namun setelah dirinya tidak menjadi menteri, sambung Mahfud, pasal yang dulu ditolak dalam UU tersebut diperberat.

“Isinya, bagi hakim MK yang sudah masuk periode ketiga seperti Anwar Usman dan Arif Hidayat itu pensiun dalam usia 70 tahun atau habis masa SK-nya 5 tahun. Nah, dengan perubahan ini, Anwar Usman yang harusnya pensiun tahun 2027 dia memperpanjang sampai 2028 tambah lagi satu tahun. Kan sudah jelas sangat tendensius,” tegasnya.

Informasi yang diperoleh dari beberapa sumber, kata Mahfud, ketika Menko Polhukam yang baru akan ke DPR, sebelum itu Anwar Usman mendatangi Kantor Kemenko Polhukam bertemu Menko Polhukam, sehingga Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang sebelumnya ditolak malah diperberat bahkan memberi tambahan 1 tahun kepada Anwar Usman.

“Semua produk undang-undang yang menyangkut kekuasaan itu menurut saya tidak lepas dari rekayasa-rekayasa untuk menguntungkan itu. Termasuk produk peradilannya,” kata Mahfud.

Mahfud mencontohkan kasus Gibran Rakabuming Raka yang akan mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilu 2024.

“Itukan perkaranya sudah ditarik, tiba-tiba dimasukkan lagi di hari libur. Kemudian disuruh beri nomor, menurut kesaksian yang muncul kan disuruh ketua MK, sehingga kesepakatan yang sebelumnya bahwa itu ditolak dibahas lagi dari awal karena nomor perkaranya beda,” katanya.

“Sampai akhirnya, semua masyarakat sudah tahu kan. Pada akhirnya lima orang tidak setuju, empat orang setuju. Tapi dikatakan dua dari lima itu karena mengusulkan hanya boleh kalau sudah gubernur dianggap ikut yang empat. Iyakan, akhirnya seperti itu,” paparnya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1929 seconds (0.1#10.140)