Ambisi Prabowo di Laut, Antara Asa dan Realita
loading...
A
A
A
"InsyaAllah dalam waktu yang bisa kelihatan bahwa TNI akan menjadi sangat kuat di Asia Tenggara. Angkatan Laut kita akan kembali jaya di samudera.''
Pernyataan yang disampaikan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Kamis (27/1/2022) mencerminkan ambisi membangun kekuatan TNI, khususnya TNI Angkatan Laut (AL), secara besar-besaran dalam waktu cepat. Sebagai menteri pertahanan, keinginan tersebut tentu tidak bisa sebatas bualan, tapi juga harus benar-benar diejawantahkan dalam program-program Kementerian Pertahanan (Kemhan) hingga bisa mendukung target tersebut.
baca juga: TNI AL Siapkan Taktik Gerilya?
Mustahil dalam hitungan dua tahun ambisi tersebut ‘bim salabim’ terwujud. Minimal, di akhir jabatan sebagai menteri pertahanan sebelum memegang amanah sebagai RI 1, jalan menuju kejayaan kekuatan armada laut sudah menunjukkan hilal. Fondasi dan kerangka terwujudnya kejayaan TNI AL harus telah tampak kokoh, sehingga siapapun pejabat yang akan memegang pos menteri pertahanan nanti tinggal meneruskan.
Di lingkup Asia Tenggara (ASEAN) TNI telah menempati peringkat nomor satu atau terkuat. Posisi ini diteguhkan situs Global Fire Power 2022 yang diterbitkan pertengahan Januari 2022. Pun di level global, kekuatan TNI bahkan naik peringkat menjadi nomor 15. Posisinya mengungguli Jerman, Australia dan Israel. Kekuatan TNI AL tentu menjadi variabel signifikan dalam pembentukan kekuatan TNI.
Namun pernyataan yang disampaikan mantan Danjen Kopassus tersebut lebih dari sekadar itu. Lantas apa yang perlu digarisbawahi? Ada dua kalimat yang perlu mendapat perhatian, yakni ‘TNI akan menjadi sangat kuat di Asia Tenggara’ dan ‘Angkatan Laut kita akan kembali jaya di samudera’.
Penggalan kalimat pertama menunjukkan penekanan TNI akan jauh lebih kuat dari kapasitas saat ini vis- a-vis negara ASEAN. Sedangkan penggalan kedua mengingatkan memori tentang era kejayaan TNI AL di era 60-an. Saat itu TNI AL menjelma sebagai paling terkuat di bumi bagian selatan. Dengan begitu kuatnya armada laut yang sebagian besar produksi Uni Sovyet, Indonesia mampu mengusir Belanda yang ingin melanggengkan kekuasaan di Bumi Cendrawasih. Seolah Prabowo memiliki asa mengembalikan era kejayaan tersebut.
Apa yang disampaikan Prabowo mengandung tensi lebih dibanding menteri pertahanan sebelumnya, yakni semangat sekaligus optimisme untuk menghadirkan postur TNI, khususnya TNI AL, yang jauh lebih berotot. Pesan menggairahkan seperti ini telah lama ditunggu masyarakat, terutama korps TNI AL, yang menginginkan kekuatan armada perang Indonesia di laut disegani di dunia.
Dalam momen yang sama, Prabowo telah membeber target yang akan dicapai dalam waktu 2 tahun ke depan, yakni Indonesia bakal memiliki 50 kapal perang siap tempur. Saat itu belum jelas apakah hal dimaksud merujuk pada pembekalan terhadap kapal yang sudah ada hingga siap tempur, atau pembelian baru. Namun dia memastikan anggaran yang disebut terbesar sepanjang sejarah perjalanan Indonesia itu sudah disetujui Presiden Joko Widodo.
Berdasar data, termasuk yang digunakan Global Fire Power dalam memberikan penilaian pada 2022, secara kuantitas kapal perang yang dimiliki TNI saat ini terbilang banyak. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 296 unit, terdiri dari dari kapal fregat 7 unit, kapal korvet (24), kapal selam (4), kapal patroli (181), mine warfare (11).
Tetapi apabila diukur secara kualitas yang melibatkan sejumlah variabel seperti kecanggihan sistem rudal, sistem manajemen tempur, sistem pertahanan udara, dan lainnya, tentu akan menimbulkan tanda tanya karena faktanya mayoritas kapal perang yang dimiliki TNI AL berusia tua. Bahkan, TNI sudah meminta sebanyak 22 kapal perangnya dipensiunkan karena uzur.
baca juga: TNI AL Merajut Asa untuk Indonesia Emas
Pembangunan kekuatan alutsista tak terhindarkan harus mempertimbangkan perkembangan teknologi. Variabel kecanggihan, dalam hal ini kapal perang modern dengan segala perlengkapan dan persenjataan yang ditenteng, mutlak dibutuhkan untuk merespons dinamika di Laut China Selatan (LCS). Di lain pihak, kapasitas kapal perang TNI dituntut bisa mengimbangi kapal perang yang dikerahkan di kawasan, baik oleh China maupun Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Di ujung berakhirnya Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang tinggal menghitung bulan, menarik ditilik sejauh mana ambisi yang sudah dicanangkan Prabowo tersebut berjalan? Setelah dua tahun berlalu, pada 2022 menapak 2024, alutsista matra laut seperti apa yang sudah dihadirkan untuk TNI AL?
Takdir Harus Kuat di Laut
‘’Jalesveva Jayamahe’’ atau ‘’Justru di Laut Kita Jaya’’ adalah jiwa yang menggerakkan institusi TNI AL. Motto yang sudah mengakar kuat di era Majapahit seolah sudah menjadi penanda bahwa kekuatan armada laut Nusantara yang kini menjelma menjadi TNI AL ditakdirkan harus kuat.
Kondisi ini merupakan keniscayaan karena kekuatan laut sangat dibutuhkan untuk menjaga dan merekatkan Nusantara yang terdiri dari pulau-pulau berserakan yang dirangkai perairan laut. Di lain pihak, kekuatan laut urgen dimiliki karena untaian negeri ini di persimpangan dua samudera, yakni Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, serta dihimpit dua benua, yakni Benua Asia dan Australia.
Dalam catatan perjalanan peradaban dunia, mulai dari era kerajaan, kolonialisme, hingga era kini, posisi stragegis ini secara alamiah bertautan dengan kerentanan konflik akibat kepentingan ekonomi hingga sumber daya alam. Tantangan terbaru yang kini dihadapi adalah nafsu angkara China menguasai mayoritas wilayah LCS, yang serta-merta menarik Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke pusaran konflik di kawasan.
TNI AL sejak didirikan pada pada 10 September 1945 bersamaan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian bermetamorfosis menjadi TNI sudah menegaskan takdir tersebut lewat visi ‘’terwujudnya TNI AL yang andal dan disegani.’’ Visi demikian mutlak dibutuhkan agar bisa menjalankan tugas secara maksimal.
baca juga: Arti dan Sejarah Doktrin TNI AL Jalesveva Jayamahe
Berdasar Pasal 9 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, maka TNI AL memiliki tugas antara lain: melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan, menegakan hukum dan menjaga keamanan di wiliayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas diplomasi angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri, melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut, serta melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Proklamator RI Ir Soekarno yang diamanahi memimpin Nusantara di era modern bernama Indonesia, sudah menyadari laut sebagai hidup dan kehidupan negeri ini, seperti tercantum dalam syair ‘Nenek Moyangku Orang Pelaut.’ Karena itulah, saat acara peresmian Institut Angkatan Lautpada1953, dia menyerukan negeri ini kembali pada jati diri sebagai bangsa pelaut.
‘’Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawala samudera,” ujar tokoh yang akrab disapa Bung Karno ini. “Bangsa laut yang mempunyai armada niaga, bangsa laut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri,” imbuhnya.
Cita-cita mengembalikan jati diri Indonesia sebagai negeri pelaut ditindaklanjuti dengan sejumlah langkah kongkret. Seperti dituturkan Laksamana TNI Yudo Margono, pada sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Shipnaming KRI Bung Karno-396, Senin (20/6/2022), pada 1964 saat digelar Musyawarah Nasional Maritim I, Bung Karno menetapkan tanggal 23 September sebagai Hari Maritim Nasional, melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 249/1964.
Selain itu, dia juga merumuskan sistem kesenjataan Angkatan Laut, yaitu Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT), yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, marinir, dan pangkalan. Puncak perjuangan di era Orde Lama untuk mengukuhkan kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan laut yang melingkupi pulau-pulau di dalamnya (archipelagic state atau negara kepulauan) terjadi pada 13 Desember 1957, dengan momentum Deklarasi Juanda.
Berdasar Deklarasi Juanda yang kemudian dikodifikasi dalam Undang-undang No 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, wilayah Indonesia meliputi garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar sejauh 12 mil laut. Sebelumnya, sesuai Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaituTeritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939(TZMKO 1939) Nomor 442, adalah 3 mil laut. Terobosan hukum itu menjadikan luas wilayah Republik Indonesia meningkat 2,5 kali lipat dari 2.027.087km² menjadi 5.193.250km², kecuali wilayah Irian Jaya yang waktu itu belum diakui secara internasional.
Bahkan belakangan, setelah perjuangan panjang, Deklarasi Juanda akhirnya diakui internasional dan ditetapkan dalam konvensi hukum lautPBBke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Takdir jati Indonesia sebagai negara peluat dan negeri kepulauan yang diapit dua benua dan dua samudera yang tak henti diwarnai dinamika konflik, serta warisan wilayah yang sedemikian luas serta-merta diikuti tuntutan tanggung jawab menjaga dan mempertahankan. Sekali lagi, kewajiban ini mustahil berjalan optimal tanpa didukung keberadaan TNI AL yang kuat.
Harapan dan Kebutuhan TNI AL
TNI AL sudah sangat menyadari beban berat yang dipikul di pundaknya, termasuk mengimplementasikan visi ‘’terwujudnya TNI AL yang handal dan disegani’’. Karena itu, para pimpinan kesatuan itu telah memikirkan konsep atau program agar TNI AL bisa menunaikan tanggung jawabnya.
baca juga: Pengamat Militer Minta TNI AL Perkuat Diplomasi Pertahanan Maritim
Mantan KSAL Laksamana TNI (Purn) Prof Dr Marsetio, misalnya, dalam buku ‘’Sea Power Indonesia di Era Indo Pasifik’’ menekankan perlunya sea power untuk mengelola dinamika geo-strategi dan geo-politik di kawasan LCS dan Indo-Pasifik. Pada peluncuran buku yang digelar di Wisma Elang Laut (06/07/2024) Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan) itu menyebut dinamika yang terjadi menempatkan Indonesia sebagai pivot maritim dan mengharuskannya mengimplementasikan sea power.
Sea power secara sederhana diartikan sebagai negara dengan kekuatan laut yang memadai dan proporsional. Selain itu sea power bisa diartikan sebagai kemampuan suatu negara dalam menggunakan dan mengendalikan laut (sea control). Dengan demikian, sea power secara tegas menggarisbawahi urgensi kekuatan laut mumpuni agar mampu mengamankan wilayah laut di tengah ancaman konflik di kawasan.
Laksamana TNI Yudo Margono dalam sambutan HUT TNI AL ke-78 di Koarmada I Surabaya (11/09/2023) menyampaikan urgensi Indonesia memiliki kekuatan TNI AL modern, dengan daya pukul yang kuat, daya manuver andal, dan daya gentar tinggi. Peningkatan kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi spektrum ancaman yang kian kompleks dan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Dia menegaskan TNI AL harus selalu siap menjadi garda terdepan dalam menghadapi krisis yang mengancam kepentingan dan keselamatan bangsa. Yudo kemudian menunjuk dampak perang Rusia-Ukraina yang semakin mengkhawatirkan dan munculnya aliansi militer baru -dalam hal ini Aliansi Australia, Inggris dan AS (AUKUS) - yang diiringi perlombaan teknologi persenjataan.
KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali saat menjadi keynote speaker pada ‘’Sarasehan Nasional Dalam Rangka Pembangunan Kekuatan Kapal Selam Dalam Postur TNI Angkatan Laut Tahun 2025-2044’’ di Gedung Submarine Facility Damage Control Training (SFDCT) Ujung Surabaya (12/06/2023) juga menggariskan bahwa TNI AL sebagai komponen utama pertahanan negara di laut yang bertugas mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah perairan Indonesia, harus memiliki postur kekuatan ideal agar mampu dihadapkan pada berbagai ancaman dan tantangan di masa depan.
Dia pun to the point menyebut pentingnya kapal selam sebagai alutsista strategis dalam armada angkatan laut suatu negara. Aspek kerahasiaan dan daya hancur tinggi menjadikan alutsista bahwa laut ini sebagai pengganda kekuatan tempur signifikan dan memiliki strategic deterrence tinggi.
Mempertimbangkan geo-strategis dan geo-politik Indonesia, dinamika di kawasan, serta kebutuhan TNI AL untuk menjalankan tugas secara optimal seperti disampaikan para pimpinan TNI AL, maka ambisi Prabowo tidaklah berangkat dari keinginan pribadi, tapi mencerminkan kebutuhan untuk merespons ancaman dan tantangan yang kian berat.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi negeri ini selain mewujudkan kekuatan TNI AL sebagai terkuat di kawasan dengan dukungan alutsista canggih dengan jumlah memadahi hingga kekuatannya disegani di lautan. Dengan terpenuhinya prasyarat ini, cita-cita Indonesia kembali sebagai bangsa pelaut bisa tercapai.
Akuisisi dan Modernisasi
Keputusan memborong enam fregat FREMM dari Fincantieri Italia dan dua fregat bekas kelas Maestrale milik Angkatan Laut Italia atau Regia Marina mengindikasikan Prabowo sudah melangkah mewujudkan ambisi tersebut. Sayangnya, kontrak tersebut tidak jelas kelanjutannya. Pada akhir Maret 2024, tiba-tiba pemerintah mengumumkan pembelian dua kapal OPV (Offshore Patrol Vessel) rasa fregat atau multi purpose Pattugliatore Polivante d’Altura (PPA) Paolo Thaon Di Revel class, yang juga buatan Fincantieri.
baca juga: TNI AL Prioritaskan Pembelian Alutsista Strategis untuk Percepat Modernisasi
Kendati demikian, hingga kini asa bisa mendapatkan fregat FREMM belum padam. Begitupun langkah Prabowo membangun dua kapal Fregat Merah Putih yang diadopsi dari Fregat Arrowhead 140 buatan Babcock Inggris. Proyek yang digarap PT PAL Indonesia dan telah menjalani prosesi keel laying pada 25 Agustus 2023 lalu, bisa menjadi fondasi proyek fregat nasional masa depan TNI AL.
Selain fregat, Indonesia pada Maret 2024 resmi mengambil dua kapal selam Scorpene Evolved dari Prancis. Rencananya, pembangunan alutsista strategis ini akan dilakukan di PT PAL dengan skenario transfer of technology (ToT). Kebijakan ini bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas PT PAL untuk membangun kapal kelas canggih, tapi juga bisa mendongkrak kapabilitas TNI AL dalam menjaga lautan.
Selain dua kapal selam state of the art buatan Naval Group ini, Kemhan juga mencari dua kapal interim untuk meningkatkan kesiapan armada laut bawah air. Namun hingga dua bulan KIM akan berakhir, belum ada keputusan kapal selam jenis apakah yang diakuisisi Indonesia.
Selain fregat dan kapal selam, Indonesia juga membangun dua kapal offshore patrol vessel (OPV) digalangan kapal dalam negeri, PT Daya Radar Utama (DRU), yang bekerjasama dengan perusahaan alutsista ternama dunia, Havelsan, Turki dan Thales, Belanda. Bukan hanya itu, PT PAL juga tengah meneruskan kontrak kapal cepat rudal (KCR) yang dilengkapi dengan sistem manajemen tempur atau CMS canggih dari Terma Denmark.
Tak kalah strategis, Kemhan juga melakukan modernisasi kapal perang TNI melalui program Refurbhisment 41 KRI (R-41). Proyek ini tidak hanya melibatkan PT PAL, tapi juga memberdayakan galangan kapal swasta nasional seperti PT Batamec, PT Waruna Shipyard, PT DOK Bahari Nusantara, PT Palindo Marine. PT PAL misalnya, kebagian tugas meremajakan KRI Fatahillah-361, KRI Sura-802, KRI Malahayati-362, KRI Hasan Basri-382, KRI Ajak-653, KRI Halasan-630, dan KRI Raden Eddy Martadinata-331.
Refurbhisment yang di antaranya diwujudkan dengan modernisasi sistem manajemen tempur dan sistem rudal terbaru dengan mengadopsi produk-produk Turki atau lazim disebut turkifikasi kapal perang TNI AL sudah barang tentu akan meningkatkan performa kapal-kapal perang Indonesia. Tak kalah urgen adalah untuk meningkatkan kesiapan TNI AL menghadapi tantangan dan ancaman yang kian berkembang.
Berbagai modernisasi dan akuisisi kapal perang yang dilakukan pemerintah saat ini bila dibandingkan dengan level kekuatan TNI AL di era Soekarno ternyata masih jomplang. Kala itu, TNI AL sudah diperkuat dengan 12 kapal selam Whiskey Class buatan Uni Sovyet. Seperti dikisahkan Indroyono Soesilo dan Budiman dalam buku “Kapal Selam Indonesia”, TNI AL juga mendapat kekuatan light cruiser atau destroyer ringan, KRI Irian.
baca juga: Mengenal Batalyon Infanteri 1, Buaya Petarung Milik TNI AL
KRI Irian bahkan menjadi tulang punggung Indonesia saat melakukan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Papua Barat. Kehadirannya telah menggentarkan kapal induk Belanda, HNLMS Karel Doorman. Berbagai alutsista matra laut yang ditumpuk pemerintah era Orde Lama pun tidak sebatas menjadikan TNI AL terkuat di ASEAN, tapi memposisikan Indonesia sebagai negara terkuat di belahan bumi bagian selatan.
Capaian ambisi Prabowo mengembalikan kejayaan Indonesia di lautan masih jauh bisa menyamai era Soekarno. Untuk kapal selam misalnya, Indonesia saat ini baru memiliki empat kapal selam plus dua kapal selam Scorpene Evolved yang akan dibangun di PT PAL. Sedangkan destroyer sudah tidak punya semenjak KRI Irian purna tugas.
Apalagi jika dibandingkan dengan kekuatan beberapa negara yang berada di bumi bagian selatan seperti Australia dan India. Dibanding Australia misalnya. Negeri Kanguru itu sudah memiliki tiga destroyer Hobart Class dan tengah membangun 3-5 kapal selam bertenaga nuklir, Virginia Class.
Negara benua yang bertetangga langsung dengan Indonesia itu dipastikan semakin memperkuat otot di lautan demi mengimbangi China, karena telah mengumumkan menyiapkan anggaran Rp113,5 triliun untuk periode satu dekade ke depan demi melipatgandakan armada lautnya, dan menjadikan angkatan lautnya terkuat sejak akhir Perang Dunia II.
Begitupun dibanding India, Indonesia masih tertinggal. Negara anak benua itu saat ini memiliki satu kapal induk aktif -INS Vikrant berbobot 40.000 ton, 10 kapal destroyer, dan 16 kapal selam - satu di antaranya kapal selam rudal balistik. Lebih dahsyat lagi, negeri tersebut memiliki senjata nuklir.
Namun, harus diakui kebijakan Prabowo meningkatkan kekuatan TNI AL menunjukkan progresivitas dibanding era sebelumnya. Berbagai akuisisi dan modernisasi -bukan hanya untuk kapal perang, tapi juga beragam alutsista lain yang dibutuhkan TNI AL- telah mengakselerasi target Minimum Essential Force (MEF) 2019-2024 dan memberi fondasi sekaligus kerangka kokoh untuk membangun kekuatan TNI AL lebih tangguh, berdaya gentar yang mampu mengimbangi kekuatan di kawasan dan meningkatkan kesiapan merespons dinamika konflik di kawasan setiap saat.
Walaupun proses memperkuat armada laut belum tuntas, langkah progresif yang ditunjukkan Prabowo saat ini telah menunjukkan perkembangan positif. Salah satu indikatornya adalah penasbihan World Directory of Modern Military Warships (WDMMW) yang menempatkan TNI AL pada posisi ke-4 daftar Peringkat Kekuatan Angkatan Laut Global 2023. Dalam daftarnya, posisi kekuatan ini hanya berada di belakang AS, China, dan Rusia, dengan True Value Rating(TvR) sebesar 137,3 poin.
TvR disebut sebagai indikator penilaian kekuatan militer berdasarkan jumlah alattempur,dukungan logistik, kemampuan serangan, kemampuan pertahanan, dan lain-lainnya. Berdasar data yang dihimpun WDMMW, per Juli 2023 Indonesia memiliki 243 armada tempur laut, dengan rincian 4 kapal selam, 7 fregat, 25 korvet, 9 kapal penyapu ranjau, 168 kapal patrol, dan 30 kapal tempur amfibi.
baca juga: Prabowo Diangkat Jadi Warga Kehormatan Korps Marinir TNI AL
Siapa tidak bangga dengan penilaian fantastis yang disampaikan WDMMW kepada TNI AL. Namun, jika melihat kondisi sesungguhnya, besaran kekuatan TNI lebih mencerminkan kuantitas, karena mayoritas armada laut TNI sudah uzur dan kini tengah menjalani program R-41.
Sedangkan di sisi lain, bila dibanding dengan begitu luasnya wilayah laut NKRI, jumlah armada TNI sudah pasti jauh dari kata cukup. Apalagi di tengah dinamika yang terjadi di LCS dan Indo-Pasifik yang diwarnai arm race antara negara-negara utama yang berkonflik, kuantitas maupun kualitas kapal perang TNI AL masih sangat kurang.
Karena itu, Indonesia tidak boleh terlena dengan penilaian WDMMW, dengan terus fokus memodernisasi, mengakuisisi dan membangun kapal-kapal perang TNI AL lebih banyak dan canggih agar siap menghadapi tantangan maupun ancaman ke depan. Amanah yang diemban Prabowo sebagai RI 1 bisa menjadi pijakan kuat untuk kian mengakselerasi kekuatan TNI, khususnya TNI AL. (*)
Pernyataan yang disampaikan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Kamis (27/1/2022) mencerminkan ambisi membangun kekuatan TNI, khususnya TNI Angkatan Laut (AL), secara besar-besaran dalam waktu cepat. Sebagai menteri pertahanan, keinginan tersebut tentu tidak bisa sebatas bualan, tapi juga harus benar-benar diejawantahkan dalam program-program Kementerian Pertahanan (Kemhan) hingga bisa mendukung target tersebut.
baca juga: TNI AL Siapkan Taktik Gerilya?
Mustahil dalam hitungan dua tahun ambisi tersebut ‘bim salabim’ terwujud. Minimal, di akhir jabatan sebagai menteri pertahanan sebelum memegang amanah sebagai RI 1, jalan menuju kejayaan kekuatan armada laut sudah menunjukkan hilal. Fondasi dan kerangka terwujudnya kejayaan TNI AL harus telah tampak kokoh, sehingga siapapun pejabat yang akan memegang pos menteri pertahanan nanti tinggal meneruskan.
Di lingkup Asia Tenggara (ASEAN) TNI telah menempati peringkat nomor satu atau terkuat. Posisi ini diteguhkan situs Global Fire Power 2022 yang diterbitkan pertengahan Januari 2022. Pun di level global, kekuatan TNI bahkan naik peringkat menjadi nomor 15. Posisinya mengungguli Jerman, Australia dan Israel. Kekuatan TNI AL tentu menjadi variabel signifikan dalam pembentukan kekuatan TNI.
Namun pernyataan yang disampaikan mantan Danjen Kopassus tersebut lebih dari sekadar itu. Lantas apa yang perlu digarisbawahi? Ada dua kalimat yang perlu mendapat perhatian, yakni ‘TNI akan menjadi sangat kuat di Asia Tenggara’ dan ‘Angkatan Laut kita akan kembali jaya di samudera’.
Penggalan kalimat pertama menunjukkan penekanan TNI akan jauh lebih kuat dari kapasitas saat ini vis- a-vis negara ASEAN. Sedangkan penggalan kedua mengingatkan memori tentang era kejayaan TNI AL di era 60-an. Saat itu TNI AL menjelma sebagai paling terkuat di bumi bagian selatan. Dengan begitu kuatnya armada laut yang sebagian besar produksi Uni Sovyet, Indonesia mampu mengusir Belanda yang ingin melanggengkan kekuasaan di Bumi Cendrawasih. Seolah Prabowo memiliki asa mengembalikan era kejayaan tersebut.
Apa yang disampaikan Prabowo mengandung tensi lebih dibanding menteri pertahanan sebelumnya, yakni semangat sekaligus optimisme untuk menghadirkan postur TNI, khususnya TNI AL, yang jauh lebih berotot. Pesan menggairahkan seperti ini telah lama ditunggu masyarakat, terutama korps TNI AL, yang menginginkan kekuatan armada perang Indonesia di laut disegani di dunia.
Dalam momen yang sama, Prabowo telah membeber target yang akan dicapai dalam waktu 2 tahun ke depan, yakni Indonesia bakal memiliki 50 kapal perang siap tempur. Saat itu belum jelas apakah hal dimaksud merujuk pada pembekalan terhadap kapal yang sudah ada hingga siap tempur, atau pembelian baru. Namun dia memastikan anggaran yang disebut terbesar sepanjang sejarah perjalanan Indonesia itu sudah disetujui Presiden Joko Widodo.
Berdasar data, termasuk yang digunakan Global Fire Power dalam memberikan penilaian pada 2022, secara kuantitas kapal perang yang dimiliki TNI saat ini terbilang banyak. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 296 unit, terdiri dari dari kapal fregat 7 unit, kapal korvet (24), kapal selam (4), kapal patroli (181), mine warfare (11).
Tetapi apabila diukur secara kualitas yang melibatkan sejumlah variabel seperti kecanggihan sistem rudal, sistem manajemen tempur, sistem pertahanan udara, dan lainnya, tentu akan menimbulkan tanda tanya karena faktanya mayoritas kapal perang yang dimiliki TNI AL berusia tua. Bahkan, TNI sudah meminta sebanyak 22 kapal perangnya dipensiunkan karena uzur.
baca juga: TNI AL Merajut Asa untuk Indonesia Emas
Pembangunan kekuatan alutsista tak terhindarkan harus mempertimbangkan perkembangan teknologi. Variabel kecanggihan, dalam hal ini kapal perang modern dengan segala perlengkapan dan persenjataan yang ditenteng, mutlak dibutuhkan untuk merespons dinamika di Laut China Selatan (LCS). Di lain pihak, kapasitas kapal perang TNI dituntut bisa mengimbangi kapal perang yang dikerahkan di kawasan, baik oleh China maupun Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Di ujung berakhirnya Kabinet Indonesia Maju (KIM) yang tinggal menghitung bulan, menarik ditilik sejauh mana ambisi yang sudah dicanangkan Prabowo tersebut berjalan? Setelah dua tahun berlalu, pada 2022 menapak 2024, alutsista matra laut seperti apa yang sudah dihadirkan untuk TNI AL?
Takdir Harus Kuat di Laut
‘’Jalesveva Jayamahe’’ atau ‘’Justru di Laut Kita Jaya’’ adalah jiwa yang menggerakkan institusi TNI AL. Motto yang sudah mengakar kuat di era Majapahit seolah sudah menjadi penanda bahwa kekuatan armada laut Nusantara yang kini menjelma menjadi TNI AL ditakdirkan harus kuat.
Kondisi ini merupakan keniscayaan karena kekuatan laut sangat dibutuhkan untuk menjaga dan merekatkan Nusantara yang terdiri dari pulau-pulau berserakan yang dirangkai perairan laut. Di lain pihak, kekuatan laut urgen dimiliki karena untaian negeri ini di persimpangan dua samudera, yakni Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, serta dihimpit dua benua, yakni Benua Asia dan Australia.
Dalam catatan perjalanan peradaban dunia, mulai dari era kerajaan, kolonialisme, hingga era kini, posisi stragegis ini secara alamiah bertautan dengan kerentanan konflik akibat kepentingan ekonomi hingga sumber daya alam. Tantangan terbaru yang kini dihadapi adalah nafsu angkara China menguasai mayoritas wilayah LCS, yang serta-merta menarik Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke pusaran konflik di kawasan.
TNI AL sejak didirikan pada pada 10 September 1945 bersamaan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian bermetamorfosis menjadi TNI sudah menegaskan takdir tersebut lewat visi ‘’terwujudnya TNI AL yang andal dan disegani.’’ Visi demikian mutlak dibutuhkan agar bisa menjalankan tugas secara maksimal.
baca juga: Arti dan Sejarah Doktrin TNI AL Jalesveva Jayamahe
Berdasar Pasal 9 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, maka TNI AL memiliki tugas antara lain: melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan, menegakan hukum dan menjaga keamanan di wiliayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi, melaksanakan tugas diplomasi angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri, melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut, serta melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Proklamator RI Ir Soekarno yang diamanahi memimpin Nusantara di era modern bernama Indonesia, sudah menyadari laut sebagai hidup dan kehidupan negeri ini, seperti tercantum dalam syair ‘Nenek Moyangku Orang Pelaut.’ Karena itulah, saat acara peresmian Institut Angkatan Lautpada1953, dia menyerukan negeri ini kembali pada jati diri sebagai bangsa pelaut.
‘’Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti cakrawala samudera,” ujar tokoh yang akrab disapa Bung Karno ini. “Bangsa laut yang mempunyai armada niaga, bangsa laut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri,” imbuhnya.
Cita-cita mengembalikan jati diri Indonesia sebagai negeri pelaut ditindaklanjuti dengan sejumlah langkah kongkret. Seperti dituturkan Laksamana TNI Yudo Margono, pada sarasehan Pembinaan Mental Ideologi dan Shipnaming KRI Bung Karno-396, Senin (20/6/2022), pada 1964 saat digelar Musyawarah Nasional Maritim I, Bung Karno menetapkan tanggal 23 September sebagai Hari Maritim Nasional, melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 249/1964.
Selain itu, dia juga merumuskan sistem kesenjataan Angkatan Laut, yaitu Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT), yang terdiri dari kapal perang, pesawat udara, marinir, dan pangkalan. Puncak perjuangan di era Orde Lama untuk mengukuhkan kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan laut yang melingkupi pulau-pulau di dalamnya (archipelagic state atau negara kepulauan) terjadi pada 13 Desember 1957, dengan momentum Deklarasi Juanda.
Berdasar Deklarasi Juanda yang kemudian dikodifikasi dalam Undang-undang No 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, wilayah Indonesia meliputi garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar sejauh 12 mil laut. Sebelumnya, sesuai Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaituTeritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939(TZMKO 1939) Nomor 442, adalah 3 mil laut. Terobosan hukum itu menjadikan luas wilayah Republik Indonesia meningkat 2,5 kali lipat dari 2.027.087km² menjadi 5.193.250km², kecuali wilayah Irian Jaya yang waktu itu belum diakui secara internasional.
Bahkan belakangan, setelah perjuangan panjang, Deklarasi Juanda akhirnya diakui internasional dan ditetapkan dalam konvensi hukum lautPBBke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Takdir jati Indonesia sebagai negara peluat dan negeri kepulauan yang diapit dua benua dan dua samudera yang tak henti diwarnai dinamika konflik, serta warisan wilayah yang sedemikian luas serta-merta diikuti tuntutan tanggung jawab menjaga dan mempertahankan. Sekali lagi, kewajiban ini mustahil berjalan optimal tanpa didukung keberadaan TNI AL yang kuat.
Harapan dan Kebutuhan TNI AL
TNI AL sudah sangat menyadari beban berat yang dipikul di pundaknya, termasuk mengimplementasikan visi ‘’terwujudnya TNI AL yang handal dan disegani’’. Karena itu, para pimpinan kesatuan itu telah memikirkan konsep atau program agar TNI AL bisa menunaikan tanggung jawabnya.
baca juga: Pengamat Militer Minta TNI AL Perkuat Diplomasi Pertahanan Maritim
Mantan KSAL Laksamana TNI (Purn) Prof Dr Marsetio, misalnya, dalam buku ‘’Sea Power Indonesia di Era Indo Pasifik’’ menekankan perlunya sea power untuk mengelola dinamika geo-strategi dan geo-politik di kawasan LCS dan Indo-Pasifik. Pada peluncuran buku yang digelar di Wisma Elang Laut (06/07/2024) Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan) itu menyebut dinamika yang terjadi menempatkan Indonesia sebagai pivot maritim dan mengharuskannya mengimplementasikan sea power.
Sea power secara sederhana diartikan sebagai negara dengan kekuatan laut yang memadai dan proporsional. Selain itu sea power bisa diartikan sebagai kemampuan suatu negara dalam menggunakan dan mengendalikan laut (sea control). Dengan demikian, sea power secara tegas menggarisbawahi urgensi kekuatan laut mumpuni agar mampu mengamankan wilayah laut di tengah ancaman konflik di kawasan.
Laksamana TNI Yudo Margono dalam sambutan HUT TNI AL ke-78 di Koarmada I Surabaya (11/09/2023) menyampaikan urgensi Indonesia memiliki kekuatan TNI AL modern, dengan daya pukul yang kuat, daya manuver andal, dan daya gentar tinggi. Peningkatan kemampuan tersebut diperlukan untuk menghadapi spektrum ancaman yang kian kompleks dan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Dia menegaskan TNI AL harus selalu siap menjadi garda terdepan dalam menghadapi krisis yang mengancam kepentingan dan keselamatan bangsa. Yudo kemudian menunjuk dampak perang Rusia-Ukraina yang semakin mengkhawatirkan dan munculnya aliansi militer baru -dalam hal ini Aliansi Australia, Inggris dan AS (AUKUS) - yang diiringi perlombaan teknologi persenjataan.
KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali saat menjadi keynote speaker pada ‘’Sarasehan Nasional Dalam Rangka Pembangunan Kekuatan Kapal Selam Dalam Postur TNI Angkatan Laut Tahun 2025-2044’’ di Gedung Submarine Facility Damage Control Training (SFDCT) Ujung Surabaya (12/06/2023) juga menggariskan bahwa TNI AL sebagai komponen utama pertahanan negara di laut yang bertugas mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayah perairan Indonesia, harus memiliki postur kekuatan ideal agar mampu dihadapkan pada berbagai ancaman dan tantangan di masa depan.
Dia pun to the point menyebut pentingnya kapal selam sebagai alutsista strategis dalam armada angkatan laut suatu negara. Aspek kerahasiaan dan daya hancur tinggi menjadikan alutsista bahwa laut ini sebagai pengganda kekuatan tempur signifikan dan memiliki strategic deterrence tinggi.
Mempertimbangkan geo-strategis dan geo-politik Indonesia, dinamika di kawasan, serta kebutuhan TNI AL untuk menjalankan tugas secara optimal seperti disampaikan para pimpinan TNI AL, maka ambisi Prabowo tidaklah berangkat dari keinginan pribadi, tapi mencerminkan kebutuhan untuk merespons ancaman dan tantangan yang kian berat.
Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi negeri ini selain mewujudkan kekuatan TNI AL sebagai terkuat di kawasan dengan dukungan alutsista canggih dengan jumlah memadahi hingga kekuatannya disegani di lautan. Dengan terpenuhinya prasyarat ini, cita-cita Indonesia kembali sebagai bangsa pelaut bisa tercapai.
Akuisisi dan Modernisasi
Keputusan memborong enam fregat FREMM dari Fincantieri Italia dan dua fregat bekas kelas Maestrale milik Angkatan Laut Italia atau Regia Marina mengindikasikan Prabowo sudah melangkah mewujudkan ambisi tersebut. Sayangnya, kontrak tersebut tidak jelas kelanjutannya. Pada akhir Maret 2024, tiba-tiba pemerintah mengumumkan pembelian dua kapal OPV (Offshore Patrol Vessel) rasa fregat atau multi purpose Pattugliatore Polivante d’Altura (PPA) Paolo Thaon Di Revel class, yang juga buatan Fincantieri.
baca juga: TNI AL Prioritaskan Pembelian Alutsista Strategis untuk Percepat Modernisasi
Kendati demikian, hingga kini asa bisa mendapatkan fregat FREMM belum padam. Begitupun langkah Prabowo membangun dua kapal Fregat Merah Putih yang diadopsi dari Fregat Arrowhead 140 buatan Babcock Inggris. Proyek yang digarap PT PAL Indonesia dan telah menjalani prosesi keel laying pada 25 Agustus 2023 lalu, bisa menjadi fondasi proyek fregat nasional masa depan TNI AL.
Selain fregat, Indonesia pada Maret 2024 resmi mengambil dua kapal selam Scorpene Evolved dari Prancis. Rencananya, pembangunan alutsista strategis ini akan dilakukan di PT PAL dengan skenario transfer of technology (ToT). Kebijakan ini bukan hanya untuk meningkatkan kapasitas PT PAL untuk membangun kapal kelas canggih, tapi juga bisa mendongkrak kapabilitas TNI AL dalam menjaga lautan.
Selain dua kapal selam state of the art buatan Naval Group ini, Kemhan juga mencari dua kapal interim untuk meningkatkan kesiapan armada laut bawah air. Namun hingga dua bulan KIM akan berakhir, belum ada keputusan kapal selam jenis apakah yang diakuisisi Indonesia.
Selain fregat dan kapal selam, Indonesia juga membangun dua kapal offshore patrol vessel (OPV) digalangan kapal dalam negeri, PT Daya Radar Utama (DRU), yang bekerjasama dengan perusahaan alutsista ternama dunia, Havelsan, Turki dan Thales, Belanda. Bukan hanya itu, PT PAL juga tengah meneruskan kontrak kapal cepat rudal (KCR) yang dilengkapi dengan sistem manajemen tempur atau CMS canggih dari Terma Denmark.
Tak kalah strategis, Kemhan juga melakukan modernisasi kapal perang TNI melalui program Refurbhisment 41 KRI (R-41). Proyek ini tidak hanya melibatkan PT PAL, tapi juga memberdayakan galangan kapal swasta nasional seperti PT Batamec, PT Waruna Shipyard, PT DOK Bahari Nusantara, PT Palindo Marine. PT PAL misalnya, kebagian tugas meremajakan KRI Fatahillah-361, KRI Sura-802, KRI Malahayati-362, KRI Hasan Basri-382, KRI Ajak-653, KRI Halasan-630, dan KRI Raden Eddy Martadinata-331.
Refurbhisment yang di antaranya diwujudkan dengan modernisasi sistem manajemen tempur dan sistem rudal terbaru dengan mengadopsi produk-produk Turki atau lazim disebut turkifikasi kapal perang TNI AL sudah barang tentu akan meningkatkan performa kapal-kapal perang Indonesia. Tak kalah urgen adalah untuk meningkatkan kesiapan TNI AL menghadapi tantangan dan ancaman yang kian berkembang.
Berbagai modernisasi dan akuisisi kapal perang yang dilakukan pemerintah saat ini bila dibandingkan dengan level kekuatan TNI AL di era Soekarno ternyata masih jomplang. Kala itu, TNI AL sudah diperkuat dengan 12 kapal selam Whiskey Class buatan Uni Sovyet. Seperti dikisahkan Indroyono Soesilo dan Budiman dalam buku “Kapal Selam Indonesia”, TNI AL juga mendapat kekuatan light cruiser atau destroyer ringan, KRI Irian.
baca juga: Mengenal Batalyon Infanteri 1, Buaya Petarung Milik TNI AL
KRI Irian bahkan menjadi tulang punggung Indonesia saat melakukan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Papua Barat. Kehadirannya telah menggentarkan kapal induk Belanda, HNLMS Karel Doorman. Berbagai alutsista matra laut yang ditumpuk pemerintah era Orde Lama pun tidak sebatas menjadikan TNI AL terkuat di ASEAN, tapi memposisikan Indonesia sebagai negara terkuat di belahan bumi bagian selatan.
Capaian ambisi Prabowo mengembalikan kejayaan Indonesia di lautan masih jauh bisa menyamai era Soekarno. Untuk kapal selam misalnya, Indonesia saat ini baru memiliki empat kapal selam plus dua kapal selam Scorpene Evolved yang akan dibangun di PT PAL. Sedangkan destroyer sudah tidak punya semenjak KRI Irian purna tugas.
Apalagi jika dibandingkan dengan kekuatan beberapa negara yang berada di bumi bagian selatan seperti Australia dan India. Dibanding Australia misalnya. Negeri Kanguru itu sudah memiliki tiga destroyer Hobart Class dan tengah membangun 3-5 kapal selam bertenaga nuklir, Virginia Class.
Negara benua yang bertetangga langsung dengan Indonesia itu dipastikan semakin memperkuat otot di lautan demi mengimbangi China, karena telah mengumumkan menyiapkan anggaran Rp113,5 triliun untuk periode satu dekade ke depan demi melipatgandakan armada lautnya, dan menjadikan angkatan lautnya terkuat sejak akhir Perang Dunia II.
Begitupun dibanding India, Indonesia masih tertinggal. Negara anak benua itu saat ini memiliki satu kapal induk aktif -INS Vikrant berbobot 40.000 ton, 10 kapal destroyer, dan 16 kapal selam - satu di antaranya kapal selam rudal balistik. Lebih dahsyat lagi, negeri tersebut memiliki senjata nuklir.
Namun, harus diakui kebijakan Prabowo meningkatkan kekuatan TNI AL menunjukkan progresivitas dibanding era sebelumnya. Berbagai akuisisi dan modernisasi -bukan hanya untuk kapal perang, tapi juga beragam alutsista lain yang dibutuhkan TNI AL- telah mengakselerasi target Minimum Essential Force (MEF) 2019-2024 dan memberi fondasi sekaligus kerangka kokoh untuk membangun kekuatan TNI AL lebih tangguh, berdaya gentar yang mampu mengimbangi kekuatan di kawasan dan meningkatkan kesiapan merespons dinamika konflik di kawasan setiap saat.
Walaupun proses memperkuat armada laut belum tuntas, langkah progresif yang ditunjukkan Prabowo saat ini telah menunjukkan perkembangan positif. Salah satu indikatornya adalah penasbihan World Directory of Modern Military Warships (WDMMW) yang menempatkan TNI AL pada posisi ke-4 daftar Peringkat Kekuatan Angkatan Laut Global 2023. Dalam daftarnya, posisi kekuatan ini hanya berada di belakang AS, China, dan Rusia, dengan True Value Rating(TvR) sebesar 137,3 poin.
TvR disebut sebagai indikator penilaian kekuatan militer berdasarkan jumlah alattempur,dukungan logistik, kemampuan serangan, kemampuan pertahanan, dan lain-lainnya. Berdasar data yang dihimpun WDMMW, per Juli 2023 Indonesia memiliki 243 armada tempur laut, dengan rincian 4 kapal selam, 7 fregat, 25 korvet, 9 kapal penyapu ranjau, 168 kapal patrol, dan 30 kapal tempur amfibi.
baca juga: Prabowo Diangkat Jadi Warga Kehormatan Korps Marinir TNI AL
Siapa tidak bangga dengan penilaian fantastis yang disampaikan WDMMW kepada TNI AL. Namun, jika melihat kondisi sesungguhnya, besaran kekuatan TNI lebih mencerminkan kuantitas, karena mayoritas armada laut TNI sudah uzur dan kini tengah menjalani program R-41.
Sedangkan di sisi lain, bila dibanding dengan begitu luasnya wilayah laut NKRI, jumlah armada TNI sudah pasti jauh dari kata cukup. Apalagi di tengah dinamika yang terjadi di LCS dan Indo-Pasifik yang diwarnai arm race antara negara-negara utama yang berkonflik, kuantitas maupun kualitas kapal perang TNI AL masih sangat kurang.
Karena itu, Indonesia tidak boleh terlena dengan penilaian WDMMW, dengan terus fokus memodernisasi, mengakuisisi dan membangun kapal-kapal perang TNI AL lebih banyak dan canggih agar siap menghadapi tantangan maupun ancaman ke depan. Amanah yang diemban Prabowo sebagai RI 1 bisa menjadi pijakan kuat untuk kian mengakselerasi kekuatan TNI, khususnya TNI AL. (*)
(hdr)