E-Rekap di Pilkada 2020, Perludem Minta KPU-Bawaslu Perhatikan 4 Hal Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai kesiapan penggunaan sistem rekapitulasi elektronik (e-rekap) di Pilkada 2020 bisa dilihat dari regulasi, teknologi, sumber daya manusia SDM, dan pemangku kebijakan serta publik.
Soal regulasi, Pasal 111 ayat (1) UU No.1/2015 tentang Pilkada berbunyi: "Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara Pemilihan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik diatur dengan Peraturan KPU".
Perludem memandang hal ini tidak cukup menjadi landasan hukum. Sebab pasal itu menggunakan istilah sistem penghitungan suara secara elektronik. Sementara dalam terminologi kepemiluan Indonesia, penghitungan suara merupakan penghitungan suara di tempat pemungutan suara atau TPS, yang berbeda dengan rekapitulasi suara.
”Rekapilutasi suara bermakna kegiatan tabulasi hasil penghitungan suara. Rekapitulasi suara dilakukan di luar TPS,” tutur peneliti Perludem Nurul Amalia Salabi, dihubungi SINDOnews, Rabu (26/8/2020).
(Baca: Bawaslu Ingatkan KPU Belum Buat Aturan Penggunaan E-Rekap)
Nurul mengakui pasal ini bisa dimaknai sebagai e-rekap. Tapi dia mengingatkan bahwa regulasinya tetap tidak cukup. Perlu ada aturan yang mengatur soal bukti digital sebagai bukti hukum yang sah saat ada gugatan terhadap hasil pilkada dengan e-rekap.
"Itu tidak ada di UU Pilkada. Begitu juga dengan sanksi terkait pelanggaran dalam e-rekap. PKPU tidak bisa mengatur itu," imbuhnya.
Berikutnya teknologi. Amalia menilai dari uji coba yang dilakukan KPU, sistem e-rekap belum berjalan dengan baik. Staf KPU sebagai petugas KPPS membutuhkan waktu cukup lama untuk berhasil mengirim hasil pemindaian sistem OCR dan OMR ke server tabulasi suara.
Di sisi lain, menurutnya, sering terjadi sistem tidak berhasil memindai karena hasil jepretan petugas kurang fokus, sistem salah mengkonversi angka, dan akses terhadap barcode yang ada di aplikasi ditolak dengan jawaban sistem "Jaringan Anda Tidak Privat". "Artinya, secara teknologi, masih banyak kelemahan," jelas Nurul
(Baca: Bawaslu: E-Rekap Membuat Penghitungan Suara di TPS Lebih Lama)
Ketiga, kata Nurul, terkait kesiapan SDM. Saat uji coba, yang terlibat sekitar empat orang saja. Keempat petugas KPPS itu bingung ketika sistem tidak bisa membaca, salah mengonversi angka, dan barcode tidak bisa diakses. Bahkan, ada petugas yang salah memasukkan kode daerah sehingga harus mengulang proses dari awal.
"Mungkin karena memang mereka tidak ada briefing sebelumnya. Jadi, harus betul-betul bimteknya baik, dan KPU menyiapkan daftar Q&A masalah yang ditemui selama uji coba, agar KPPS tidak kebingungan," papar dia.
Keempat, sambung Nurul, penerimaan stakeholder terkait dan publik. Sejauh ini, ia melihat Bawaslu sebagai sesama penyelenggara pemilu, sudah mengatakan jika mereka setuju jika Pasal 111 bisa dijadikan landasan e-rekap. Namun anehnya, Bawaslu tidak sepakat kalau e-rekap itu menggantikan proses rekapitulasi manual. Bawaslu hanya mau Sirekap jadi pendamping rekap manual.
"Nah, ini problem penerimaan terhadap Sirekap (sistem rekap) oleh sesama lembaga penyelenggara pemilu. Akan sulit kalau Bawaslu tidak mendukung Sirekap sebagai pilot project di beberapa daerah, yang sistemnya menggantikan rekap manual," bebernya.
Di samping itu, wacana mengenai Sistem rekapitulasi berbasis elektronik juga belum banyak disuarakan dan disosialisasikan oleh KPU. Partai politik, Pemerintah, DPR juga belum diundang untuk melihat uji coba. "Jadi, kita belum tahu bagaimana penerimaan Pemerintah, DPR dan partai politik. Kalau mereka tidak setuju, akan susah nanti di penyusunan PKPU Pungut Hitung, dan PKPU Rekapitulasi," pungkas dia.
Soal regulasi, Pasal 111 ayat (1) UU No.1/2015 tentang Pilkada berbunyi: "Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara Pemilihan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik diatur dengan Peraturan KPU".
Perludem memandang hal ini tidak cukup menjadi landasan hukum. Sebab pasal itu menggunakan istilah sistem penghitungan suara secara elektronik. Sementara dalam terminologi kepemiluan Indonesia, penghitungan suara merupakan penghitungan suara di tempat pemungutan suara atau TPS, yang berbeda dengan rekapitulasi suara.
”Rekapilutasi suara bermakna kegiatan tabulasi hasil penghitungan suara. Rekapitulasi suara dilakukan di luar TPS,” tutur peneliti Perludem Nurul Amalia Salabi, dihubungi SINDOnews, Rabu (26/8/2020).
(Baca: Bawaslu Ingatkan KPU Belum Buat Aturan Penggunaan E-Rekap)
Nurul mengakui pasal ini bisa dimaknai sebagai e-rekap. Tapi dia mengingatkan bahwa regulasinya tetap tidak cukup. Perlu ada aturan yang mengatur soal bukti digital sebagai bukti hukum yang sah saat ada gugatan terhadap hasil pilkada dengan e-rekap.
"Itu tidak ada di UU Pilkada. Begitu juga dengan sanksi terkait pelanggaran dalam e-rekap. PKPU tidak bisa mengatur itu," imbuhnya.
Berikutnya teknologi. Amalia menilai dari uji coba yang dilakukan KPU, sistem e-rekap belum berjalan dengan baik. Staf KPU sebagai petugas KPPS membutuhkan waktu cukup lama untuk berhasil mengirim hasil pemindaian sistem OCR dan OMR ke server tabulasi suara.
Di sisi lain, menurutnya, sering terjadi sistem tidak berhasil memindai karena hasil jepretan petugas kurang fokus, sistem salah mengkonversi angka, dan akses terhadap barcode yang ada di aplikasi ditolak dengan jawaban sistem "Jaringan Anda Tidak Privat". "Artinya, secara teknologi, masih banyak kelemahan," jelas Nurul
(Baca: Bawaslu: E-Rekap Membuat Penghitungan Suara di TPS Lebih Lama)
Ketiga, kata Nurul, terkait kesiapan SDM. Saat uji coba, yang terlibat sekitar empat orang saja. Keempat petugas KPPS itu bingung ketika sistem tidak bisa membaca, salah mengonversi angka, dan barcode tidak bisa diakses. Bahkan, ada petugas yang salah memasukkan kode daerah sehingga harus mengulang proses dari awal.
"Mungkin karena memang mereka tidak ada briefing sebelumnya. Jadi, harus betul-betul bimteknya baik, dan KPU menyiapkan daftar Q&A masalah yang ditemui selama uji coba, agar KPPS tidak kebingungan," papar dia.
Keempat, sambung Nurul, penerimaan stakeholder terkait dan publik. Sejauh ini, ia melihat Bawaslu sebagai sesama penyelenggara pemilu, sudah mengatakan jika mereka setuju jika Pasal 111 bisa dijadikan landasan e-rekap. Namun anehnya, Bawaslu tidak sepakat kalau e-rekap itu menggantikan proses rekapitulasi manual. Bawaslu hanya mau Sirekap jadi pendamping rekap manual.
"Nah, ini problem penerimaan terhadap Sirekap (sistem rekap) oleh sesama lembaga penyelenggara pemilu. Akan sulit kalau Bawaslu tidak mendukung Sirekap sebagai pilot project di beberapa daerah, yang sistemnya menggantikan rekap manual," bebernya.
Di samping itu, wacana mengenai Sistem rekapitulasi berbasis elektronik juga belum banyak disuarakan dan disosialisasikan oleh KPU. Partai politik, Pemerintah, DPR juga belum diundang untuk melihat uji coba. "Jadi, kita belum tahu bagaimana penerimaan Pemerintah, DPR dan partai politik. Kalau mereka tidak setuju, akan susah nanti di penyusunan PKPU Pungut Hitung, dan PKPU Rekapitulasi," pungkas dia.
(muh)