Menakar Merdeka Belajar sebagai Gerakan Revolusi Pendidikan

Selasa, 25 Agustus 2020 - 19:24 WIB
loading...
A A A
Daripada menyederhanakan RPP, lebih baik pemerintah menyiapkan perangkat pembelajaran yang lengkap, mulai silabus, RPP, sampai dengan media pembelajaran. Perangkat tersebut menjadi standar minimal perangkat administrasi dan pembelajaran. Guru yang inovatif dan kreatif dapat mengembangkan RPP sesuai dengan keinginannya.

Saat ini beban administrasi terkait syarat kenaikan pangkat. Berdasarkan Permenpan dan RB Nomor 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya bahwa mulai kenaikan pangkat dari III.b ke III.c, guru harus memiliki publikasi ilmiah dan atau karya inovatif yang membutuhkan kemampuan menulis. Dunia kerja guru banyak berkaitan dengan tradisi bicara, tidak semua guru mampu menulis. Padahal untuk dapat menulis, butuh proses panjang, kerja keras, dan ketekunan.

Administrasi kenaikan pangkat semakin berat ketika harus melampirkan sertifikat, surat tugas, daftar hadir, dan seabrek dokumen lainnya. Guru juga masih sibuk dengan diseminasi PTK dengan sesama rekan guru. Kesibukan tersebut membuat siswa pun terabaikan. Oleh karena itu, kenaikan pangkat guru dapat dibuat otomatis. Setiap empat tahun sekali guru yang memenuhi syarat pembelajaran dapat naik pangkatnya. Sedangkan guru yang mampu menyusun karya tulis ilmiah dan publikasi ilmiah dapat naik pangkat setelah dua tahun dan telah memenuhi angka kredit.

Sedangkan Guru Penggerak tidak akan jauh berbeda dengan pembentukan Guru Instruktur Nasional, Guru Inti, dan Guru Sasaran yang sudah ada sebelumnya. Keberhasilan Guru Penggerak sangat tergantung pada masing-masing personil dalam melakukan perubahan dan menjadi teladan guru yang lain.

Optimis

Sebuah perubahan tidak harus menunggu kesempurnaan program. Meski masih ada kekurangan dalam Program Merdeka Belajar, bukan berarti reformasi pendidikan nasional ditunda. Pembelajaran saat Pandemi Covid-19 dapat menjadi cermin perubahan dunia pendidikan. Pandemi ini benar-benar mampu mengubah persepsi tentang guru dan dunia pendidikan. Selama ini, guru cenderung bersikap apatis terhadap perubahan kurikulum, apalagi mengikuti perkembangan teknologi. Guru dan sekolah sangat ketinggalan.

Guru ingin bekerja pada zona nyaman. Bukankah metode pembelajaran yang aktif sudah didengungkan sejak 1984 bersamaan dengan kurikulum CBSA? Begitu juga dengan pembelajaran kooperatif, kontekstual, dan menyenangkan selalu menyertai setiap perubahan kurikulum. Tetapi, dalam pembelajaran, guru masih asyik dengan ceramah. “Apapun kurikulumnya, ceramah metodenya.”

Saat pandemi Covid-19, guru begitu antusias mempelajari teknologi untuk pembelajaran jarak jauh. Guru sibuk belajar google form, google school, whatsapp, dan aplikasi lainnya. Bukan hanya itu, guru juga belajar membuat bahan ajar dan penilaian online. Pandemi menyadarkan guru dan dunia pendidikan untuk segera beradaptasi dengan teknologi. Dalam kondisi terpaksa, guru juga dapat dan mau berubah.

Berkaca pada pembelajaran saat pandemi, Merdeka Belajar bukan sesuatu yang mustahil. Kepala sekolah memegang peranan penting demi suksesnya merdeka belajar sebagai gerakan revolusi pendidikan. Jalan tidaknya program merdeka belajar sangat tergantung dari kebijakan dan ketegasan kepala sekolah. Hanya kepala sekolah yang mampu “memaksa” guru untuk berubah.

Sebelum pandemi, peran kepala sekolah sebagai supervisor belum maksimal. Seharusnya kepala sekolah bertugas membimbing, memantau, membina, dan memperbaiki proses belajar mengajar di kelas. Tapi, seringkali, kepala sekolah hanya membagikan formulir supervisi untuk diisi oleh guru. Akibatnya, kepala sekolah tidak tahu bagaimana proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0819 seconds (0.1#10.140)