Menakar Merdeka Belajar sebagai Gerakan Revolusi Pendidikan
loading...
A
A
A
Suyitman
Guru MTsN 1 Kebumen
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mencanangkan reformasi sistem pendidikan nasional melalui Program Merdeka Belajar. Sungguh sebuah gebrakan yang pantas diapresiasi dan didukung semua pihak. Sistem pendidikan Indonesia memang harus diperbaiki. Namun, cukupkah hanya dengan Merdeka Belajar?
Kini, Merdeka Belajar sudah memasuki episode kelima, yakni Guru Penggerak. Program lainnya terkait dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Dari lima program merdeka belajar, ada tiga program yang dapat diandalkan. Program tersebut yaitu: penyelenggaraan USBN, penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dan zonasi PPDB yang lebih fleksibel. USBN tidak ada lagi dan diganti dengan ujian di satuan pendidikan. Kebijakan ini membuat guru merdeka dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Guru dapat menggunakan bentuk penilaian yang komprehensif, bukan hanya tes tulis.
Begitu juga dengan penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter. Penghapusan UN menjadi angin segar bagi kemerdekaan belajar. Selama ini UN telah mengubah kebebasan belajar menjadi sekadar latihan soal. Guru tahu, tidak ada jurus jitu untuk meraih nilai UN yang tinggi, kecuali dengan latihan soal sebanyak-banyaknya yang kadang membuat siswa terbebani. UN juga menyebabkan pembelajaran hanya terfokus pada mata pelajaran tertentu. Banyak siswa yang menganggap remeh mata pelajaran non-UN.
Penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter sangat berpeluang untuk mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Apalagi soal AKM merujuk pada model soal Program for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Saat ini posisi Indonesia berada pada peringkat bawah baik berdasarkan Tes PISA maupun TIMSS. Soal-soal PISA dan TIMSS mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi yang selama ini belum banyak dikenalkan kepada siswa.
Penggantian UN juga sejalan dengan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru. Kebijakan ini membuat siswa dapat belajar di sekolah terdekat, tidak peduli berapa jumlah nilainya, meski sekolah terdekatnya dulunya merupakan sekolah favorit. PPDB Zonasi membuat psikis siswa merdeka dari beban sebagai “anak bodoh” karena tidak bisa diterima di sekolah yang ada di dekatnya.
Kurang Efektif
Program penyederhanaan RPP yang bertujuan untuk mengurangi beban administrasi guru, tentu masih jauh panggang dari api. RPP bukanlah beban yang memberatkan. Setiap tahun ajaran baru, guru hanya mengganti tanggal dan tahun. Hanya sebagian kecil guru yang benar-benar membuat RPP baru yang berbeda dengan tahun sebelumnya. Jika terjadi perubahan kurikulum atau kebijakan pun, ada forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) yang siap membantu guru.
Penyederhanaan RPP menjadi satu lembar justru dapat menjadi preseden buruk bagi pembelajaran. Benjamin Franklin mengatakan: “If you fail to plan, you plan to fail.” Apabila gagal merencanakan pembelajaran berarti merencanakan kegagalan belajar. Tentunya sebuah perencanaan pembelajaran yang baik bukan sekadar memuat tujuan, kegiatan pembelajaran, dan penilaian, tetapi juga memuat media, sumber belajar, dan kebutuhan yang akan digunakan dalam pembelajaran.
Daripada menyederhanakan RPP, lebih baik pemerintah menyiapkan perangkat pembelajaran yang lengkap, mulai silabus, RPP, sampai dengan media pembelajaran. Perangkat tersebut menjadi standar minimal perangkat administrasi dan pembelajaran. Guru yang inovatif dan kreatif dapat mengembangkan RPP sesuai dengan keinginannya.
Saat ini beban administrasi terkait syarat kenaikan pangkat. Berdasarkan Permenpan dan RB Nomor 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya bahwa mulai kenaikan pangkat dari III.b ke III.c, guru harus memiliki publikasi ilmiah dan atau karya inovatif yang membutuhkan kemampuan menulis. Dunia kerja guru banyak berkaitan dengan tradisi bicara, tidak semua guru mampu menulis. Padahal untuk dapat menulis, butuh proses panjang, kerja keras, dan ketekunan.
Administrasi kenaikan pangkat semakin berat ketika harus melampirkan sertifikat, surat tugas, daftar hadir, dan seabrek dokumen lainnya. Guru juga masih sibuk dengan diseminasi PTK dengan sesama rekan guru. Kesibukan tersebut membuat siswa pun terabaikan. Oleh karena itu, kenaikan pangkat guru dapat dibuat otomatis. Setiap empat tahun sekali guru yang memenuhi syarat pembelajaran dapat naik pangkatnya. Sedangkan guru yang mampu menyusun karya tulis ilmiah dan publikasi ilmiah dapat naik pangkat setelah dua tahun dan telah memenuhi angka kredit.
Sedangkan Guru Penggerak tidak akan jauh berbeda dengan pembentukan Guru Instruktur Nasional, Guru Inti, dan Guru Sasaran yang sudah ada sebelumnya. Keberhasilan Guru Penggerak sangat tergantung pada masing-masing personil dalam melakukan perubahan dan menjadi teladan guru yang lain.
Optimis
Sebuah perubahan tidak harus menunggu kesempurnaan program. Meski masih ada kekurangan dalam Program Merdeka Belajar, bukan berarti reformasi pendidikan nasional ditunda. Pembelajaran saat Pandemi Covid-19 dapat menjadi cermin perubahan dunia pendidikan. Pandemi ini benar-benar mampu mengubah persepsi tentang guru dan dunia pendidikan. Selama ini, guru cenderung bersikap apatis terhadap perubahan kurikulum, apalagi mengikuti perkembangan teknologi. Guru dan sekolah sangat ketinggalan.
Guru ingin bekerja pada zona nyaman. Bukankah metode pembelajaran yang aktif sudah didengungkan sejak 1984 bersamaan dengan kurikulum CBSA? Begitu juga dengan pembelajaran kooperatif, kontekstual, dan menyenangkan selalu menyertai setiap perubahan kurikulum. Tetapi, dalam pembelajaran, guru masih asyik dengan ceramah. “Apapun kurikulumnya, ceramah metodenya.”
Saat pandemi Covid-19, guru begitu antusias mempelajari teknologi untuk pembelajaran jarak jauh. Guru sibuk belajar google form, google school, whatsapp, dan aplikasi lainnya. Bukan hanya itu, guru juga belajar membuat bahan ajar dan penilaian online. Pandemi menyadarkan guru dan dunia pendidikan untuk segera beradaptasi dengan teknologi. Dalam kondisi terpaksa, guru juga dapat dan mau berubah.
Berkaca pada pembelajaran saat pandemi, Merdeka Belajar bukan sesuatu yang mustahil. Kepala sekolah memegang peranan penting demi suksesnya merdeka belajar sebagai gerakan revolusi pendidikan. Jalan tidaknya program merdeka belajar sangat tergantung dari kebijakan dan ketegasan kepala sekolah. Hanya kepala sekolah yang mampu “memaksa” guru untuk berubah.
Sebelum pandemi, peran kepala sekolah sebagai supervisor belum maksimal. Seharusnya kepala sekolah bertugas membimbing, memantau, membina, dan memperbaiki proses belajar mengajar di kelas. Tapi, seringkali, kepala sekolah hanya membagikan formulir supervisi untuk diisi oleh guru. Akibatnya, kepala sekolah tidak tahu bagaimana proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas.
Begitu juga dengan pengawas pendidikan. Sebelum pandemi, peran pengawas belum optimal. Seringkali supervisi oleh pengawas hanya berdasarkan dokumen, bukan observasi langsung terhadap pembelajaran. Seharusnya pengawas benar-benar membimbing dan mengawasi kinerja kepala sekolah dan guru.
Jika kepala sekolah, pengawas pendidikan, dan guru dapat bersinergi dengan baik seperti saat pandemi, tentu Merdeka Belajar mampu menjadi gerakan revolusi pendidikan di Indonesia. Sebaliknya, jika ketiga komponen kembali seperti sebelum pandemi, maka Merdeka Belajar akan bernasib seperti perubahan kurikulum, ramai dalam pendidikan dan pelatihan, tapi sepi dalam implementasi.
Guru MTsN 1 Kebumen
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim mencanangkan reformasi sistem pendidikan nasional melalui Program Merdeka Belajar. Sungguh sebuah gebrakan yang pantas diapresiasi dan didukung semua pihak. Sistem pendidikan Indonesia memang harus diperbaiki. Namun, cukupkah hanya dengan Merdeka Belajar?
Kini, Merdeka Belajar sudah memasuki episode kelima, yakni Guru Penggerak. Program lainnya terkait dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Dari lima program merdeka belajar, ada tiga program yang dapat diandalkan. Program tersebut yaitu: penyelenggaraan USBN, penggantian Ujian Nasional (UN) dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, dan zonasi PPDB yang lebih fleksibel. USBN tidak ada lagi dan diganti dengan ujian di satuan pendidikan. Kebijakan ini membuat guru merdeka dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Guru dapat menggunakan bentuk penilaian yang komprehensif, bukan hanya tes tulis.
Begitu juga dengan penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter. Penghapusan UN menjadi angin segar bagi kemerdekaan belajar. Selama ini UN telah mengubah kebebasan belajar menjadi sekadar latihan soal. Guru tahu, tidak ada jurus jitu untuk meraih nilai UN yang tinggi, kecuali dengan latihan soal sebanyak-banyaknya yang kadang membuat siswa terbebani. UN juga menyebabkan pembelajaran hanya terfokus pada mata pelajaran tertentu. Banyak siswa yang menganggap remeh mata pelajaran non-UN.
Penggantian UN dengan AKM dan Survei Karakter sangat berpeluang untuk mengubah wajah pendidikan di Indonesia. Apalagi soal AKM merujuk pada model soal Program for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Saat ini posisi Indonesia berada pada peringkat bawah baik berdasarkan Tes PISA maupun TIMSS. Soal-soal PISA dan TIMSS mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi yang selama ini belum banyak dikenalkan kepada siswa.
Penggantian UN juga sejalan dengan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru. Kebijakan ini membuat siswa dapat belajar di sekolah terdekat, tidak peduli berapa jumlah nilainya, meski sekolah terdekatnya dulunya merupakan sekolah favorit. PPDB Zonasi membuat psikis siswa merdeka dari beban sebagai “anak bodoh” karena tidak bisa diterima di sekolah yang ada di dekatnya.
Kurang Efektif
Program penyederhanaan RPP yang bertujuan untuk mengurangi beban administrasi guru, tentu masih jauh panggang dari api. RPP bukanlah beban yang memberatkan. Setiap tahun ajaran baru, guru hanya mengganti tanggal dan tahun. Hanya sebagian kecil guru yang benar-benar membuat RPP baru yang berbeda dengan tahun sebelumnya. Jika terjadi perubahan kurikulum atau kebijakan pun, ada forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) yang siap membantu guru.
Penyederhanaan RPP menjadi satu lembar justru dapat menjadi preseden buruk bagi pembelajaran. Benjamin Franklin mengatakan: “If you fail to plan, you plan to fail.” Apabila gagal merencanakan pembelajaran berarti merencanakan kegagalan belajar. Tentunya sebuah perencanaan pembelajaran yang baik bukan sekadar memuat tujuan, kegiatan pembelajaran, dan penilaian, tetapi juga memuat media, sumber belajar, dan kebutuhan yang akan digunakan dalam pembelajaran.
Daripada menyederhanakan RPP, lebih baik pemerintah menyiapkan perangkat pembelajaran yang lengkap, mulai silabus, RPP, sampai dengan media pembelajaran. Perangkat tersebut menjadi standar minimal perangkat administrasi dan pembelajaran. Guru yang inovatif dan kreatif dapat mengembangkan RPP sesuai dengan keinginannya.
Saat ini beban administrasi terkait syarat kenaikan pangkat. Berdasarkan Permenpan dan RB Nomor 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya bahwa mulai kenaikan pangkat dari III.b ke III.c, guru harus memiliki publikasi ilmiah dan atau karya inovatif yang membutuhkan kemampuan menulis. Dunia kerja guru banyak berkaitan dengan tradisi bicara, tidak semua guru mampu menulis. Padahal untuk dapat menulis, butuh proses panjang, kerja keras, dan ketekunan.
Administrasi kenaikan pangkat semakin berat ketika harus melampirkan sertifikat, surat tugas, daftar hadir, dan seabrek dokumen lainnya. Guru juga masih sibuk dengan diseminasi PTK dengan sesama rekan guru. Kesibukan tersebut membuat siswa pun terabaikan. Oleh karena itu, kenaikan pangkat guru dapat dibuat otomatis. Setiap empat tahun sekali guru yang memenuhi syarat pembelajaran dapat naik pangkatnya. Sedangkan guru yang mampu menyusun karya tulis ilmiah dan publikasi ilmiah dapat naik pangkat setelah dua tahun dan telah memenuhi angka kredit.
Sedangkan Guru Penggerak tidak akan jauh berbeda dengan pembentukan Guru Instruktur Nasional, Guru Inti, dan Guru Sasaran yang sudah ada sebelumnya. Keberhasilan Guru Penggerak sangat tergantung pada masing-masing personil dalam melakukan perubahan dan menjadi teladan guru yang lain.
Optimis
Sebuah perubahan tidak harus menunggu kesempurnaan program. Meski masih ada kekurangan dalam Program Merdeka Belajar, bukan berarti reformasi pendidikan nasional ditunda. Pembelajaran saat Pandemi Covid-19 dapat menjadi cermin perubahan dunia pendidikan. Pandemi ini benar-benar mampu mengubah persepsi tentang guru dan dunia pendidikan. Selama ini, guru cenderung bersikap apatis terhadap perubahan kurikulum, apalagi mengikuti perkembangan teknologi. Guru dan sekolah sangat ketinggalan.
Guru ingin bekerja pada zona nyaman. Bukankah metode pembelajaran yang aktif sudah didengungkan sejak 1984 bersamaan dengan kurikulum CBSA? Begitu juga dengan pembelajaran kooperatif, kontekstual, dan menyenangkan selalu menyertai setiap perubahan kurikulum. Tetapi, dalam pembelajaran, guru masih asyik dengan ceramah. “Apapun kurikulumnya, ceramah metodenya.”
Saat pandemi Covid-19, guru begitu antusias mempelajari teknologi untuk pembelajaran jarak jauh. Guru sibuk belajar google form, google school, whatsapp, dan aplikasi lainnya. Bukan hanya itu, guru juga belajar membuat bahan ajar dan penilaian online. Pandemi menyadarkan guru dan dunia pendidikan untuk segera beradaptasi dengan teknologi. Dalam kondisi terpaksa, guru juga dapat dan mau berubah.
Berkaca pada pembelajaran saat pandemi, Merdeka Belajar bukan sesuatu yang mustahil. Kepala sekolah memegang peranan penting demi suksesnya merdeka belajar sebagai gerakan revolusi pendidikan. Jalan tidaknya program merdeka belajar sangat tergantung dari kebijakan dan ketegasan kepala sekolah. Hanya kepala sekolah yang mampu “memaksa” guru untuk berubah.
Sebelum pandemi, peran kepala sekolah sebagai supervisor belum maksimal. Seharusnya kepala sekolah bertugas membimbing, memantau, membina, dan memperbaiki proses belajar mengajar di kelas. Tapi, seringkali, kepala sekolah hanya membagikan formulir supervisi untuk diisi oleh guru. Akibatnya, kepala sekolah tidak tahu bagaimana proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas.
Begitu juga dengan pengawas pendidikan. Sebelum pandemi, peran pengawas belum optimal. Seringkali supervisi oleh pengawas hanya berdasarkan dokumen, bukan observasi langsung terhadap pembelajaran. Seharusnya pengawas benar-benar membimbing dan mengawasi kinerja kepala sekolah dan guru.
Jika kepala sekolah, pengawas pendidikan, dan guru dapat bersinergi dengan baik seperti saat pandemi, tentu Merdeka Belajar mampu menjadi gerakan revolusi pendidikan di Indonesia. Sebaliknya, jika ketiga komponen kembali seperti sebelum pandemi, maka Merdeka Belajar akan bernasib seperti perubahan kurikulum, ramai dalam pendidikan dan pelatihan, tapi sepi dalam implementasi.
(ras)