Indriyanto: Lembaga seperti KPK Dinilai Perlu Dewan Pengawas
A
A
A
JAKARTA - Mantan Pelaksana tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji menilai wajar dalam revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2020 tentang KPK muncul adanya Dewan Pengawas.
Indriyanto menganggap, dalam negara demokrasi berbagai pembentukan lembaga yang melekat istilah 'super body' perlu diawasi termasuk KPK. Sebagaimana pengawasan juga dilakukan terhadap Mahkamah Agung, Polri dan Kejaksaan.
"Tentang Dewan Pengawas adalah sesuatu yang wajar. Karena pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK, disyaratkan adanya badan pengawas yang independen, MA dengan KY, Polri dengan Kompolnas, Kejaksaan dengan Komjak," kata Indriyanto dalam keterangan tertulis, Minggu (8/9/2019).
Kata Indriyanto, selain soal Dewan Pengawas, kewenangan mengeluarkan SP3 juga perlu diterapkan kepada KPK. Ia menilai, kewenangan SP3 dilakukan untuk memberikan asas kepastian hukum. Namun begitu, SP3 pada KPK bisa diterapkan dalam kondisi yang limitatif dan eksepsional sifatnya.
"Misalnya saja seorang ditetapkan tersangka saat proses penyidikan dan kemudian menderita sakit yang secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan), maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," ujar dia.
Guru besar tidak tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia menilai, inisiatif DPR atas revisi UU KPK ini memiliki pendekatan filosofi keadilan restoratif.
Pendekatan ini menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan dan tidak semata-mata soal memberikan deterrent effect (efek jera).
Menurutnya, dari kasus-kasus korupsi yang ditangani sampai hari ini, pola dan cara penindakan dengan efek jera tidak memberikan manfaaat pengembalian optimal keuangan negara.
"Karena itu fiilosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama,"
Terlepas dari setuju atau tidak, kata Indriyanto, enam pokok dalam draf perubahan UU KPK itu merupakan gabungan atas evaluasi pola pencegahan dan penindakan sebagai sesuatu yang wajar serta baik bagi lembaga antirasuah itu ke depannya.
Keenam pokok perubahan itu antara lain, keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK
Kemudian kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, serta posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Lebih lanjut, Indriyanto menyatakan munculnya keberatan dari masyarakat sipil antikorupsi serta pengamat hukum atas revisi UU KPK ini karena persepsi dan pola pendekatan yang berbeda. Mereka masih dengan pendektan efek jera.
Menurutnya, draf revisi UU KPK yang disusun oleh DPR tanpa menghilangkan pola penindakan KPK sudah sesuai untuk prospek ke depan. Ia menyatakan tidak perlu dicurigai dan khawatir dengan rencana revisi UU KPK tersebut.
"Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini," ujarnya.
DPR telah sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg. Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK.
Rencana revisi UU KPK ini langsung dikritik oleh sejumlah pihak, mulai dari Indonesia Corupption Watch (ICW) sampai KPK sendiri. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa KPK sedang berada di unjuk tanduk.
Indriyanto menganggap, dalam negara demokrasi berbagai pembentukan lembaga yang melekat istilah 'super body' perlu diawasi termasuk KPK. Sebagaimana pengawasan juga dilakukan terhadap Mahkamah Agung, Polri dan Kejaksaan.
"Tentang Dewan Pengawas adalah sesuatu yang wajar. Karena pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK, disyaratkan adanya badan pengawas yang independen, MA dengan KY, Polri dengan Kompolnas, Kejaksaan dengan Komjak," kata Indriyanto dalam keterangan tertulis, Minggu (8/9/2019).
Kata Indriyanto, selain soal Dewan Pengawas, kewenangan mengeluarkan SP3 juga perlu diterapkan kepada KPK. Ia menilai, kewenangan SP3 dilakukan untuk memberikan asas kepastian hukum. Namun begitu, SP3 pada KPK bisa diterapkan dalam kondisi yang limitatif dan eksepsional sifatnya.
"Misalnya saja seorang ditetapkan tersangka saat proses penyidikan dan kemudian menderita sakit yang secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan), maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," ujar dia.
Guru besar tidak tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia menilai, inisiatif DPR atas revisi UU KPK ini memiliki pendekatan filosofi keadilan restoratif.
Pendekatan ini menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan dan tidak semata-mata soal memberikan deterrent effect (efek jera).
Menurutnya, dari kasus-kasus korupsi yang ditangani sampai hari ini, pola dan cara penindakan dengan efek jera tidak memberikan manfaaat pengembalian optimal keuangan negara.
"Karena itu fiilosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama,"
Terlepas dari setuju atau tidak, kata Indriyanto, enam pokok dalam draf perubahan UU KPK itu merupakan gabungan atas evaluasi pola pencegahan dan penindakan sebagai sesuatu yang wajar serta baik bagi lembaga antirasuah itu ke depannya.
Keenam pokok perubahan itu antara lain, keberadaan dewan pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK
Kemudian kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, serta posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.
Lebih lanjut, Indriyanto menyatakan munculnya keberatan dari masyarakat sipil antikorupsi serta pengamat hukum atas revisi UU KPK ini karena persepsi dan pola pendekatan yang berbeda. Mereka masih dengan pendektan efek jera.
Menurutnya, draf revisi UU KPK yang disusun oleh DPR tanpa menghilangkan pola penindakan KPK sudah sesuai untuk prospek ke depan. Ia menyatakan tidak perlu dicurigai dan khawatir dengan rencana revisi UU KPK tersebut.
"Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini," ujarnya.
DPR telah sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg. Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK.
Rencana revisi UU KPK ini langsung dikritik oleh sejumlah pihak, mulai dari Indonesia Corupption Watch (ICW) sampai KPK sendiri. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa KPK sedang berada di unjuk tanduk.
(pur)