Dari Gambar Bermuara Isu SARA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah simbol dan gambar yang dibuat oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara memicu kontroversi di masyarakat. Kasus terbaru yakni penggunaan logo HUT ke-75 RI yang dinilai mirip salib dan gambar anak pada uang kertas Rp75.000 yang disebut berpakaian mirip etnis Tiongkok.
Kegaduhan yang dipicu oleh simbol dan gambar tersebut ikut mewarnai perayaan HUT Kemerdekaan RI baru lalu. Tidak hanya masyarakat umum, tokoh agama dan elite politik pun ikut merespons. Kegaduhan terutama terjadi di media sosial akibat sikap pro dan kontra.
Terlepas dari substansi logo dan gambar yang dipolemikkan, kontroversi atas dua simbol ini menunjukkan bahwa isu identitas masih sangat rentan memantik kegaduhan di masyarakat. Publik masih mudah tersulut oleh sentimen suku, agama, ras , dan antargolongan (SARA). (Baca: Fadli Zon Pamer Koleksi Perpustakaan, Ingatkan Cita-cita Kemerdekaan)
Pemerintah telah membantah anggapan bahwa logo HUT RI dan gambar pada uang kertas tersebut bernuansa SARA. Logo yang disebut menyerupai salib adalah elemen "supergraphic". Sementara anak yang disebut berpakaian mirip etnis Tiongkok pada Uang Peringatan Kemerdekaan Rp75.000 juga diklarifikasi. Bank Indonesia (BI) menjelaskan, pakaian adat tersebut berasal dari Suku Tidung yang ada di Kalimantan Utara.
Penggunaan simbol yang dikaitkan dengan kelompok tertentu bukan kali ini saja. Pada 2017 lalu pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab menyebut logo BI di uang pecahan Rp100.000 tercetak mirip palu arit yang merupakan lambang Partai Komunis Indonesia.
Respons pemerintah dengan segera memberi penjelasan dinilai tepat. Namun, pemerintah juga dituntut lebih berhati-hati dalam setiap pernyataan dan kebijakan yang dibuat agar tidak membuat gaduh. Demi menghindari kontroversi, semua pihak harus sensitif terhadap dinamika dan suasana psikologis yang berkembang di masyarakat.
Cendekiawan muslim yang juga rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UII) Komaruddin Hidayat berpandangan, kontroversi seperti ini harus bisa dijelaskan ke masyarakat. Pemerintah, menurut dia, perlu sensitif dengan kondisi masyarakat yang plural. Sebaliknya, masyarakat juga harus menerima penjelasan yang diberikan pemerintah. (Baca juga: Biar Enggak Resesi, Sri Mulyani Kebut Belanja Pemerintah)
“Memang, penjelasan tidak bisa menyenangkan semua pihak. Tapi, demokrasi itu kan kompromi, bagaimana kita cari kebersamaan walau tidak optimal,” ujar Komarudin, saat dihubungi kemarin.
Terkait dua isu simbol identitas yang memicu kontroversi, Komaruddin mengimbau umat Islam untuk tidak mudah terpancing. “Tidak perlu berlebihan, jangan oversensitive,” ujarnya.
Potensi munculnya sikap saling curiga ke depan akan selalu ada. Untuk itu perlu memberi pendidikan kepada masyarakat bahwa sebagai bangsa harus siap dengan kondisi keberagaman. Perbedaan harus bisa diterima.
Kegaduhan yang dipicu oleh simbol dan gambar tersebut ikut mewarnai perayaan HUT Kemerdekaan RI baru lalu. Tidak hanya masyarakat umum, tokoh agama dan elite politik pun ikut merespons. Kegaduhan terutama terjadi di media sosial akibat sikap pro dan kontra.
Terlepas dari substansi logo dan gambar yang dipolemikkan, kontroversi atas dua simbol ini menunjukkan bahwa isu identitas masih sangat rentan memantik kegaduhan di masyarakat. Publik masih mudah tersulut oleh sentimen suku, agama, ras , dan antargolongan (SARA). (Baca: Fadli Zon Pamer Koleksi Perpustakaan, Ingatkan Cita-cita Kemerdekaan)
Pemerintah telah membantah anggapan bahwa logo HUT RI dan gambar pada uang kertas tersebut bernuansa SARA. Logo yang disebut menyerupai salib adalah elemen "supergraphic". Sementara anak yang disebut berpakaian mirip etnis Tiongkok pada Uang Peringatan Kemerdekaan Rp75.000 juga diklarifikasi. Bank Indonesia (BI) menjelaskan, pakaian adat tersebut berasal dari Suku Tidung yang ada di Kalimantan Utara.
Penggunaan simbol yang dikaitkan dengan kelompok tertentu bukan kali ini saja. Pada 2017 lalu pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab menyebut logo BI di uang pecahan Rp100.000 tercetak mirip palu arit yang merupakan lambang Partai Komunis Indonesia.
Respons pemerintah dengan segera memberi penjelasan dinilai tepat. Namun, pemerintah juga dituntut lebih berhati-hati dalam setiap pernyataan dan kebijakan yang dibuat agar tidak membuat gaduh. Demi menghindari kontroversi, semua pihak harus sensitif terhadap dinamika dan suasana psikologis yang berkembang di masyarakat.
Cendekiawan muslim yang juga rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UII) Komaruddin Hidayat berpandangan, kontroversi seperti ini harus bisa dijelaskan ke masyarakat. Pemerintah, menurut dia, perlu sensitif dengan kondisi masyarakat yang plural. Sebaliknya, masyarakat juga harus menerima penjelasan yang diberikan pemerintah. (Baca juga: Biar Enggak Resesi, Sri Mulyani Kebut Belanja Pemerintah)
“Memang, penjelasan tidak bisa menyenangkan semua pihak. Tapi, demokrasi itu kan kompromi, bagaimana kita cari kebersamaan walau tidak optimal,” ujar Komarudin, saat dihubungi kemarin.
Terkait dua isu simbol identitas yang memicu kontroversi, Komaruddin mengimbau umat Islam untuk tidak mudah terpancing. “Tidak perlu berlebihan, jangan oversensitive,” ujarnya.
Potensi munculnya sikap saling curiga ke depan akan selalu ada. Untuk itu perlu memberi pendidikan kepada masyarakat bahwa sebagai bangsa harus siap dengan kondisi keberagaman. Perbedaan harus bisa diterima.