Dari Gambar Bermuara Isu SARA

Selasa, 25 Agustus 2020 - 08:35 WIB
loading...
Dari Gambar Bermuara Isu SARA
Foto/dok
A A A
JAKARTA - Sejumlah simbol dan gambar yang dibuat oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara memicu kontroversi di masyarakat. Kasus terbaru yakni penggunaan logo HUT ke-75 RI yang dinilai mirip salib dan gambar anak pada uang kertas Rp75.000 yang disebut berpakaian mirip etnis Tiongkok.

Kegaduhan yang dipicu oleh simbol dan gambar tersebut ikut mewarnai perayaan HUT Kemerdekaan RI baru lalu. Tidak hanya masyarakat umum, tokoh agama dan elite politik pun ikut merespons. Kegaduhan terutama terjadi di media sosial akibat sikap pro dan kontra.

Terlepas dari substansi logo dan gambar yang dipolemikkan, kontroversi atas dua simbol ini menunjukkan bahwa isu identitas masih sangat rentan memantik kegaduhan di masyarakat. Publik masih mudah tersulut oleh sentimen suku, agama, ras , dan antargolongan (SARA). (Baca: Fadli Zon Pamer Koleksi Perpustakaan, Ingatkan Cita-cita Kemerdekaan)

Pemerintah telah membantah anggapan bahwa logo HUT RI dan gambar pada uang kertas tersebut bernuansa SARA. Logo yang disebut menyerupai salib adalah elemen "supergraphic". Sementara anak yang disebut berpakaian mirip etnis Tiongkok pada Uang Peringatan Kemerdekaan Rp75.000 juga diklarifikasi. Bank Indonesia (BI) menjelaskan, pakaian adat tersebut berasal dari Suku Tidung yang ada di Kalimantan Utara.

Penggunaan simbol yang dikaitkan dengan kelompok tertentu bukan kali ini saja. Pada 2017 lalu pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab menyebut logo BI di uang pecahan Rp100.000 tercetak mirip palu arit yang merupakan lambang Partai Komunis Indonesia.

Respons pemerintah dengan segera memberi penjelasan dinilai tepat. Namun, pemerintah juga dituntut lebih berhati-hati dalam setiap pernyataan dan kebijakan yang dibuat agar tidak membuat gaduh. Demi menghindari kontroversi, semua pihak harus sensitif terhadap dinamika dan suasana psikologis yang berkembang di masyarakat.

Cendekiawan muslim yang juga rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UII) Komaruddin Hidayat berpandangan, kontroversi seperti ini harus bisa dijelaskan ke masyarakat. Pemerintah, menurut dia, perlu sensitif dengan kondisi masyarakat yang plural. Sebaliknya, masyarakat juga harus menerima penjelasan yang diberikan pemerintah. (Baca juga: Biar Enggak Resesi, Sri Mulyani Kebut Belanja Pemerintah)

“Memang, penjelasan tidak bisa menyenangkan semua pihak. Tapi, demokrasi itu kan kompromi, bagaimana kita cari kebersamaan walau tidak optimal,” ujar Komarudin, saat dihubungi kemarin.

Terkait dua isu simbol identitas yang memicu kontroversi, Komaruddin mengimbau umat Islam untuk tidak mudah terpancing. “Tidak perlu berlebihan, jangan oversensitive,” ujarnya.

Potensi munculnya sikap saling curiga ke depan akan selalu ada. Untuk itu perlu memberi pendidikan kepada masyarakat bahwa sebagai bangsa harus siap dengan kondisi keberagaman. Perbedaan harus bisa diterima.

Sikap saling curiga, menurut Komaruddin, bisa muncul karena pertama, dipicu ketidakadilan ekonomi dan politik. Jurang antara kaya dan miskin yang kian lebar.

“Sebenarnya tidak apa-apa, bisa diterima kalau orang menjadi kaya karena mungkin dia berusaha keras. Tapi, itu kalau hukumnya tegak, hukum tegas, adil, dan tidak pilih kasih pada kelompok tertentu,” paparnya.

Kedua, sikap saling curiga muncul akibat rakyat kecewa pada keadaan. Kekecewaan ini datang dari berbagai pintu, mulai kondisi ekonomi yang tidak merata, politik yang pengap, korupsi yang merajalela, ditambah lagi dengan adanya media sosial. Ruang demokrasi yang terbuka ditambah kebebasan bicara di media sosial telah menciptakan kegaduhan. (Baca juga: Dua Sejoli yang Bunuh Diri di Sungai Musi Ditemukan Sudah Tak Bernyawa)

“Bagi orang yang merasa kalah, seolah mendapat umpan karena di media sosial merasa ada teman. Maka, kekecewaan makin mengkristal, dari ombak kecil jadi ombak besar, kita jadi mudah curiga,” katanya.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, dalam masyarakat yang semakin terbuka, semua pihak harus senantiasa berhati-hati dan bijak dalam menyampaikan pernyataan dan mengambil kebijakan. Dinamika dan suasana psikologis yang berkembang di masyarakat harus dipahami.

“Karena sudah terulang beberapa kali, sebaiknya pemerintah dan para penyelenggara negara lebih peka terhadap masalah SARA yang berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu,” ujarnya, saat dihubungi kemarin.

Dalam amatan Mu’ti, reaksi masyarakat, khususnya umat Islam, terhadap simbol-simbol dan gambar yang dibuat oleh pemerintah dan lembaga-lembaga negara baru terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi. “Hal serupa tidak pernah atau jarang sekali terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya,” ujarnya, saat dihubungi kemarin.

Reaksi masyarakat, khususnya umat Islam, menurut Mu’ti, disebabkan oleh faktor politik. Masih ada residu dan rivalitas politik kelompok kontra Presiden Joko Widodo. Dalam amatan Mu’ti, ada tiga isu yang hampir selalu dikaitkan dengan kepemimpinan Presiden Jokowi. (Baca juga: BI Ungkap Adanya Penyebab Pakaian Adat China di Uang Baru Pecahan Rp75.000)

Pertama, isu bahwa Jokowi berasal dari keluarga PKI dan didukung oleh eks atau kelompok yang pro-PKI. Pemerintahan Jokowi dikelilingi oleh kalangan komunis. Kedua, Presiden Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan didukung penuh oleh para pengusaha keturunan Tionghoa serta Pemerintah China.

Ketiga, Presiden Jokowi didukung oleh kelompok sekuler dan kalangan nonmuslim. Kritik dan reaksi terhadap gambar dalam mata uang kertas dan logo kemerdekaan, menurut dia, adalah pembuktian atas ketiga isu tersebut.

“Walaupun, menurut saya, reaksi dan kesimpulan sebagian masyarakat bahwa gambar kemerdekaan bermotif salib dan gambar mirip anak Tionghoa serta palu arit agak berlebihan,” ujarnya. (Baca juga: Zulhas Sebut Gaya Kepemimpinan Amien Rais Ibarat Pesawat)

Dia menilai gambar dan logo tersebut hanyalah visualisasi akan kekayaan budaya dan visi kerja Pemerintah Jokowi. Agar sikap saling curiga hilang, masyarakat sekarang diminta tidak terpengaruh dan hirau terhadap logo dan gambar yang dipersoalkan itu. Pemerintah juga tidak perlu menanggapi berbagai tudingan secara berlebihan.

“Masyarakat, khususnya umat Islam, perlu lebih fokus menyikapi masalah-masalah dan isu-isu yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak,” ujarnya.

Pendidikan Inklusif

Sikap reaktif masyarakat terhadap simbol identitas bisa didasari sejumlah faktor. Menurut Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (CESPELS) Ubedilah Badrun, setidaknya ada tiga hal yang membuat publikmemiliki sikap reaktif. Pertama, akibat dari kegagalan dunia pendidikan secara umum. Respons yang ditunjukkan publik, menurut dia, sangat ditentukan oleh cara berpikir. Cara berpikir itu dipengaruhi oleh intensitas orang dalam mendapatkan informasi dan edukasi. Ketika pendidikan, mulai SD sampai kuliah, mampu membentuk paradigma inklusif maka seharusnya sikap artifisial dan simblolik dalam merespons isu identitas tidak perlu terjadi.

“Jadi, ini soal paradigma yang mengalami problem karena cara berpikirnya tidak inklusif,” ujarnya, kepada KORAN SINDO. (Baca juga: Konflik Belarusia Bisa Memicu Peranng Eropa)

Kedua, sikap reaktif muncul karena kebijakan negara yang kurang berhati-hati sehingga akhirnya menimbulkan interpretasi. “Jadi, bisa dibayangkan ketika paradigma masyarakat yang memang belum inklusif, lalu pemerintah juga kurang hati-hati, akhirnya muncul reaksi gaduh seperti itu,” ucapnya.

Ketiga, sikap reaktif terjadi karena negara belum memiliki kemampuan mengelola keragaman dan emosi publik. Di saat yang sama, sering “bensin” yang mudah membakar, yakni kepentingan pihak lain yang manfaatkan situasi.

“Ketegangan ini kan masih residu pilpres yang terus berdampak sampai hari ini,” tuturnya.

Demi mencegah sikap reaktif dan saling curiga terus terjadi, Ubedillah menyebut kuncinya ada pada pemerintah. Caranya, kontestasi pemilu jangan dibuat liberalistik. Jangan membuat kontestasi pilpres head to head yang akhirnya menciptakan pembelahan sosial.

“Pembelahan sosial yang terjadi sekarang ini dosa politik rezim, baik legislatif maupun eksekutif, karena mereka yang buat undang-undang sehingga pemilu seperti itu,” ungkapnya. (Lihat videonya: Pelaku Ganjal ATM Babak Belur Dihakimi Massa di Banten)

Terlepas dari polemik simbol, Ubedillah menyebut ada yang keliru dalam tata kelola negara saat ini. Hal ini memperparah kondisi di masyarakat yang sudah terbelah karena politik. Dia mencontohkan pemerintah yang memberi dukungan besar terhadap influencer atau buzzer. Anggaran Rp90 miliar untuk buzzer, sebagaimana data yang disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), menurut Ubedillah, tidak semestinya dilakukan karena buzzer termasuk “bensin” yang ikut membakar. Buzzer memperparah ketegangan sosial karena sering menyerang personal dan membunuh karakter orang.

“Jadi, pemerintah juga punya kontribusi besar menciptakan ketegangan sosial secara terus menerus,” tandasnya. (Bakti)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2805 seconds (0.1#10.140)