Desentralisasi Indonesia: Divergen atau Konvergen?
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
SELAMA dua dekade terakhir, kebijakan desentralisasi di Indonesia telah menjadi tonggak penting dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan daerah. Diluncurkan pada tahun 2001, desentralisasi bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya, merancang kebijakan, dan melaksanakan program-program pembangunan sesuai kebutuhan lokal maupun nasional.
Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mengurangi ketimpangan antar daerah yang selama ini menjadi masalah kronis di Indonesia. Meski demikian, masih muncul pertanyaan sejauh mana kebijakan desentralisasi benar-benar berhasil memberikan dampak pemerataan, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusi.
Pada perkembangannya, instrumen fiskal yang ditransfer ke daerah (TKD) di Indonesia terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data terbaru, untuk tahun anggaran 2024, alokasi TKD mencapai lebih dari 800 triliun rupiah, yang mencakup hampir seperempat dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sejatinya, peningkatan tersebut merupakan cerminan dari komitmen pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan daerah yang lebih baik. Terutama lebih optimal dalam menjalankan program-program pembangunannya serta mampu meningkatkan kualitas layanan publik.
Dalam praktiknya, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan bahwa indeks Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan yang masih tinggi, berada pada angka 0,384 pada tahun 2023. Daerah-daerah dengan sumber daya alam melimpah serta sektor jasa yang tumbuh pesat, seperti pulau Jawa dan Sumatera, menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Sementara daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua masih tertinggal dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan akses layanan publik yang terbatas. Hal itu menunjukkan bahwa peningkatan alokasi dana saja tidak cukup, masih memerlukan perbaikan kualitas belanja yang lebih fokus dan betul-betul menyelesaikan masalah pembangunan daerah.
Konvergensi Lamban
BPS mengungkapkan bahwa DKI Jakarta dan Jawa Barat mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dengan rata-rata pertumbuhan PDB di atas 5% per tahun dalam dekade terakhir. Sebaliknya, daerah-daerah seperti Papua dan NTT hanya mencatatkan pertumbuhan di bawah 3% per tahun, jauh tertinggal dibandingkan dengan pusat-pusat ekonomi di Jawa dan Sumatera.
Angka tersebut selaras dengan hasil penelitian dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI juga menunjukkan bahwa wilayah-wilayah seperti Jawa dan Sumatera mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Terutama dalam sektor industri dan jasa.
Sementara itu, daerah-daerah seperti NTT dan Papua tetap tertinggal dengan pertumbuhan yang lamban dan infrastruktur yang kurang memadai. Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa kebijakan desentralisasi dan peningkatan dana TKD belum mampu secara efektif mengatasi ketimpangan regional atau dengan kata lain, ada konvergensi tetapi berjalan lamban.
Kajian lain menyatakan bahwa jika beberapa pusat pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sumber daya alam (SDA) tinggi seperti Kalimantan dan Sumatera dikeluarkan dari analisis, maka pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah lain menunjukkan pola pemerataan yang lebih baik. Kajian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) mendukung temuan tersebut.
Di mana pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tinggi cenderung stabil dan merata. Laporan ini juga mencatat bahwa wilayah-wilayah seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup seimbang, dengan rata-rata pertumbuhan PDB yang konsisten sekitar 4% per tahun.
Meski demikian, kajian dari Asian Development Bank (ADB) juga menyoroti bahwa meskipun pembangunan semakin merata, laju pertumbuhannya masih tergolong lambat. Oleh sebab itu, ADB menyarankan bahwa diperlukan kebijakan yang lebih agresif dalam mengembangkan infrastruktur dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah-daerah yang kurang berkembang untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi, termasuk peningkatan akses terhadap teknologi dan modal.
Kebijakan ekonomi yang ada saat ini, lebih memperkuat ketergantungan daerah yang kaya SDA, sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Hal ini jika diteruskan akan mendorong divergensi yang makin tinggi.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya daerah dengan SDA tinggi, untuk lebih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, kualitas layanan dasar serta perlipatan pelaku ekonomi yang lebih merata. Dengan demikian, perubahan pola pembangunan di daerah dengan SDA tinggi tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi memperkuat distribusi pembangunan yang lebih merata.
Economic Linkages dalam Transformasi Ekonomi
Transformasi ekonomi yang mengarah pada integrasi ekonomi yang kuat, baik antar sektor maupun secara spasial, merupakan langkah krusial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Integrasi ekonomi antar sektor berarti menciptakan keterkaitan yang lebih erat antara berbagai industri, sehingga mendorong sinergi dan efisiensi dalam rantai nilai.
Di samping itu, integrasi ekonomi secara spasial—yakni penghubungan antar wilayah—juga penting untuk mengurangi ketimpangan regional dan memastikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi tersebar merata.
Pengembangan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang terintegrasi dapat menghubungkan daerah-daerah terpencil dengan pusat-pusat ekonomi utama, sehingga memperluas akses pasar dan peluang investasi. Hal ini memungkinkan daerah-daerah dengan potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan untuk berkontribusi lebih besar terhadap ekonomi nasional, sekaligus mempercepat proses pembangunan regional yang merata.
Selain itu, implementasi integrasi ekonomi juga membutuhkan strategi yang terkoordinasi, mulai dari kebijakan pemerintah hingga upaya sektor swasta. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menginisiasi kebijakan yang mendukung pengembangan kawasan industri, pusat logistik, dan jaringan transportasi yang saling terhubung.
Di samping itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja juga harus diutamakan agar sumber daya manusia dapat beradaptasi dengan kebutuhan industri yang berkembang. Pun sektor swasta berperan penting dalam membangun kemitraan dan kolaborasi lintas sektor, serta memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Secara umum, melalui integrasi ekonomi (economic linkages) yang kuat, baik antar sektor maupun spasial, diharapkan dapat tercipta ekosistem ekonomi yang lebih resilient dan dinamis. Pendekatan tersebut diyakini tak hanya akan memperkuat daya saing ekonomi nasional tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Integrasi yang efektif akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih inklusif, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan di seluruh wilayah. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
SELAMA dua dekade terakhir, kebijakan desentralisasi di Indonesia telah menjadi tonggak penting dalam tata kelola pemerintahan dan pembangunan daerah. Diluncurkan pada tahun 2001, desentralisasi bertujuan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya, merancang kebijakan, dan melaksanakan program-program pembangunan sesuai kebutuhan lokal maupun nasional.
Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mengurangi ketimpangan antar daerah yang selama ini menjadi masalah kronis di Indonesia. Meski demikian, masih muncul pertanyaan sejauh mana kebijakan desentralisasi benar-benar berhasil memberikan dampak pemerataan, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusi.
Pada perkembangannya, instrumen fiskal yang ditransfer ke daerah (TKD) di Indonesia terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data terbaru, untuk tahun anggaran 2024, alokasi TKD mencapai lebih dari 800 triliun rupiah, yang mencakup hampir seperempat dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sejatinya, peningkatan tersebut merupakan cerminan dari komitmen pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan daerah yang lebih baik. Terutama lebih optimal dalam menjalankan program-program pembangunannya serta mampu meningkatkan kualitas layanan publik.
Dalam praktiknya, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan bahwa indeks Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan yang masih tinggi, berada pada angka 0,384 pada tahun 2023. Daerah-daerah dengan sumber daya alam melimpah serta sektor jasa yang tumbuh pesat, seperti pulau Jawa dan Sumatera, menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Sementara daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua masih tertinggal dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan akses layanan publik yang terbatas. Hal itu menunjukkan bahwa peningkatan alokasi dana saja tidak cukup, masih memerlukan perbaikan kualitas belanja yang lebih fokus dan betul-betul menyelesaikan masalah pembangunan daerah.
Konvergensi Lamban
BPS mengungkapkan bahwa DKI Jakarta dan Jawa Barat mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dengan rata-rata pertumbuhan PDB di atas 5% per tahun dalam dekade terakhir. Sebaliknya, daerah-daerah seperti Papua dan NTT hanya mencatatkan pertumbuhan di bawah 3% per tahun, jauh tertinggal dibandingkan dengan pusat-pusat ekonomi di Jawa dan Sumatera.
Angka tersebut selaras dengan hasil penelitian dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI juga menunjukkan bahwa wilayah-wilayah seperti Jawa dan Sumatera mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Terutama dalam sektor industri dan jasa.
Sementara itu, daerah-daerah seperti NTT dan Papua tetap tertinggal dengan pertumbuhan yang lamban dan infrastruktur yang kurang memadai. Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa kebijakan desentralisasi dan peningkatan dana TKD belum mampu secara efektif mengatasi ketimpangan regional atau dengan kata lain, ada konvergensi tetapi berjalan lamban.
Kajian lain menyatakan bahwa jika beberapa pusat pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh sumber daya alam (SDA) tinggi seperti Kalimantan dan Sumatera dikeluarkan dari analisis, maka pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah lain menunjukkan pola pemerataan yang lebih baik. Kajian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) mendukung temuan tersebut.
Di mana pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tinggi cenderung stabil dan merata. Laporan ini juga mencatat bahwa wilayah-wilayah seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bali mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup seimbang, dengan rata-rata pertumbuhan PDB yang konsisten sekitar 4% per tahun.
Meski demikian, kajian dari Asian Development Bank (ADB) juga menyoroti bahwa meskipun pembangunan semakin merata, laju pertumbuhannya masih tergolong lambat. Oleh sebab itu, ADB menyarankan bahwa diperlukan kebijakan yang lebih agresif dalam mengembangkan infrastruktur dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah-daerah yang kurang berkembang untuk mempercepat proses pembangunan ekonomi, termasuk peningkatan akses terhadap teknologi dan modal.
Kebijakan ekonomi yang ada saat ini, lebih memperkuat ketergantungan daerah yang kaya SDA, sebagai motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Hal ini jika diteruskan akan mendorong divergensi yang makin tinggi.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya daerah dengan SDA tinggi, untuk lebih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, kualitas layanan dasar serta perlipatan pelaku ekonomi yang lebih merata. Dengan demikian, perubahan pola pembangunan di daerah dengan SDA tinggi tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi memperkuat distribusi pembangunan yang lebih merata.
Economic Linkages dalam Transformasi Ekonomi
Transformasi ekonomi yang mengarah pada integrasi ekonomi yang kuat, baik antar sektor maupun secara spasial, merupakan langkah krusial untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Integrasi ekonomi antar sektor berarti menciptakan keterkaitan yang lebih erat antara berbagai industri, sehingga mendorong sinergi dan efisiensi dalam rantai nilai.
Di samping itu, integrasi ekonomi secara spasial—yakni penghubungan antar wilayah—juga penting untuk mengurangi ketimpangan regional dan memastikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi tersebar merata.
Pengembangan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang terintegrasi dapat menghubungkan daerah-daerah terpencil dengan pusat-pusat ekonomi utama, sehingga memperluas akses pasar dan peluang investasi. Hal ini memungkinkan daerah-daerah dengan potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan untuk berkontribusi lebih besar terhadap ekonomi nasional, sekaligus mempercepat proses pembangunan regional yang merata.
Selain itu, implementasi integrasi ekonomi juga membutuhkan strategi yang terkoordinasi, mulai dari kebijakan pemerintah hingga upaya sektor swasta. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menginisiasi kebijakan yang mendukung pengembangan kawasan industri, pusat logistik, dan jaringan transportasi yang saling terhubung.
Di samping itu, investasi dalam pendidikan dan pelatihan tenaga kerja juga harus diutamakan agar sumber daya manusia dapat beradaptasi dengan kebutuhan industri yang berkembang. Pun sektor swasta berperan penting dalam membangun kemitraan dan kolaborasi lintas sektor, serta memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Secara umum, melalui integrasi ekonomi (economic linkages) yang kuat, baik antar sektor maupun spasial, diharapkan dapat tercipta ekosistem ekonomi yang lebih resilient dan dinamis. Pendekatan tersebut diyakini tak hanya akan memperkuat daya saing ekonomi nasional tetapi juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Integrasi yang efektif akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih inklusif, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan mendorong pembangunan yang berkelanjutan di seluruh wilayah. Semoga.
(poe)