Program Pelatihan Online Dinilai Abaikan Lembaga Dikmas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Program pelatihan daring (online) yang dibungkus dalam program kartu prakerja sebanyak 5,6 juta penerima dinilai mengabaikan keberadaan sekolah berbasis pendidikan masyarakat (Dikmas) di Tanah Air.
“Padahal ada puluhan ribu lembaga yang sudah berkecimpung dalam pendidikan dan pelatihan yang sudah bertahun-tahun eksis di masyarakat, menyakitkan melihat fakta bahwa mereka diabaikan,” tutur Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/5/2020).
Fikri merinci data terkait satuan pendidikan berbasis pendidikan masyarakat (Dikmas) di laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud.go.id). Data itu menyebut ada 9.390 lembaga kursus dan pelatihan (LKP), 9.537 pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), serta terdapat 433 sanggar kegiatan belajar (SKB) yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Totalnya ada 19.360 lembaga,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Selain itu, sambung dia, terdapat 600-an lembaga pelatihan dan keterampilan yang berada di bawah binaan Kemenaker. Dengan data tersebut, diperkirakan terdapat 250-an ribu pekerja yang menggantungkan hidupnya sebagai pengajar dan instruktur di lembaga-lembaga tersebut.
Fikri mempertanyakan alasan pemerintah yang hanya mengandeng delapan perusahaan platform digital yang sudah mapan secara finansial. Mitra platform ini kabarnya hanya mengandeng 200-an lembaga kursus. “Padahal ada 19 ribuan Lembaga dikmas milik anak negeri ini yang kesulitan di masa pandemi,” ujar Fikri.
Selain itu, Fikri menilai kebijakan yang telah diambil pemerintah tersebut diwarnai konflik kepentingan. “Aksi nepotisme oleh stafsus Istana tidak bisa dilupakan begitu saja,” kata Fikri.
Fikri mengatakan, kini publik dengan gamblang bisa menilai keberpihakan pemerintah, khususnya saat menghadapi krisis multidimensi yang timbul dari pandemi Covid-19. “Kebijakan yang tidak peka dan diwarnai KKN menyebabkan krisis ketidakpercayaan kepada Istana yang lebih luas,” katanya.
Maka itu, Fikri juga mengusulkan agar sistem pengawasan internal pemerintah diterjunkan untuk mengawasi proses yang tengah berjalan. “Meski agak terlambat, mestinya juga dilibatkan pendampingan BPKP, LKPP, juga Itjen dalam proses kartu prakerja ini,” ungkapnya.( )
Menurut dia, pelibatan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah (LPKP), serta Inspektorat Jenderal (Itjen) untuk meredam kegaduhan yang sudah timbul akibat pelaksanaan program kartu pra-kerja.
“BPKP, LKPP, dan Itjen harus aktif mencermati proses pengadaan barang jasa di kartu prakerja agar tidak terjadi kegaduhan dan menyakiti hati lembaga-lembaga kursus di bawah binaan Kemendikbud. Sebagian toh sudah digitalisasi,” tuturnya.
Sekadar diketahui sebelumnya, pemerintah merilis paket stimulus ekonomi di masa pandemi Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun.
Alokasi anggaran sebesar itu antara lain dirinci untuk biaya pelatihan bagi pemegang kartu prakerja sebanyak 5,6 juta penerima, masing-masingnya senilai Rp1 juta, atau total Rp5,6 triliun.
“Padahal ada puluhan ribu lembaga yang sudah berkecimpung dalam pendidikan dan pelatihan yang sudah bertahun-tahun eksis di masyarakat, menyakitkan melihat fakta bahwa mereka diabaikan,” tutur Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/5/2020).
Fikri merinci data terkait satuan pendidikan berbasis pendidikan masyarakat (Dikmas) di laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud.go.id). Data itu menyebut ada 9.390 lembaga kursus dan pelatihan (LKP), 9.537 pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), serta terdapat 433 sanggar kegiatan belajar (SKB) yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Totalnya ada 19.360 lembaga,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Selain itu, sambung dia, terdapat 600-an lembaga pelatihan dan keterampilan yang berada di bawah binaan Kemenaker. Dengan data tersebut, diperkirakan terdapat 250-an ribu pekerja yang menggantungkan hidupnya sebagai pengajar dan instruktur di lembaga-lembaga tersebut.
Fikri mempertanyakan alasan pemerintah yang hanya mengandeng delapan perusahaan platform digital yang sudah mapan secara finansial. Mitra platform ini kabarnya hanya mengandeng 200-an lembaga kursus. “Padahal ada 19 ribuan Lembaga dikmas milik anak negeri ini yang kesulitan di masa pandemi,” ujar Fikri.
Selain itu, Fikri menilai kebijakan yang telah diambil pemerintah tersebut diwarnai konflik kepentingan. “Aksi nepotisme oleh stafsus Istana tidak bisa dilupakan begitu saja,” kata Fikri.
Fikri mengatakan, kini publik dengan gamblang bisa menilai keberpihakan pemerintah, khususnya saat menghadapi krisis multidimensi yang timbul dari pandemi Covid-19. “Kebijakan yang tidak peka dan diwarnai KKN menyebabkan krisis ketidakpercayaan kepada Istana yang lebih luas,” katanya.
Maka itu, Fikri juga mengusulkan agar sistem pengawasan internal pemerintah diterjunkan untuk mengawasi proses yang tengah berjalan. “Meski agak terlambat, mestinya juga dilibatkan pendampingan BPKP, LKPP, juga Itjen dalam proses kartu prakerja ini,” ungkapnya.( )
Menurut dia, pelibatan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah (LPKP), serta Inspektorat Jenderal (Itjen) untuk meredam kegaduhan yang sudah timbul akibat pelaksanaan program kartu pra-kerja.
“BPKP, LKPP, dan Itjen harus aktif mencermati proses pengadaan barang jasa di kartu prakerja agar tidak terjadi kegaduhan dan menyakiti hati lembaga-lembaga kursus di bawah binaan Kemendikbud. Sebagian toh sudah digitalisasi,” tuturnya.
Sekadar diketahui sebelumnya, pemerintah merilis paket stimulus ekonomi di masa pandemi Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun.
Alokasi anggaran sebesar itu antara lain dirinci untuk biaya pelatihan bagi pemegang kartu prakerja sebanyak 5,6 juta penerima, masing-masingnya senilai Rp1 juta, atau total Rp5,6 triliun.
(dam)