Demokrasi Perlu Oposisi yang Kuat

Senin, 01 Juli 2019 - 08:00 WIB
Demokrasi Perlu Oposisi yang Kuat
Demokrasi Perlu Oposisi yang Kuat
A A A
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih RI untuk periode 2019-2024. Rencananya, keduanya dilantik pada 20 Oktober mendatang. Setelah penetapan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dilakukan, perbincangan di kalangan elite politik saat ini mulai mengarah pada bagaimana mewujudkan rekonsiliasi antara dua kubu yang bertarung di pilpres. Simbol rekonsiliasi yang dinilai paling ideal adalah bertemunya Jokowi dengan Prabowo Subianto. Pihak Istana mengklaim sudah mengupayakan terjadinya pertemuan kedua tokoh, meskipun tanda-tanda bakal ada pertemuan sejauh ini belum nampak.

Terlepas dari isu pertemuan keduanya, berkembang pula isu tentang kemungkinan bergabungnya Partai Gerindra ke dalam pemerintahan. Isu ini berkembang seusai Prabowo membubarkan koalisi partai politik pengusungnya seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruhnya permohonan sengketa pilpres yang diajukan kubu Prabowo-Sandi. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Krisyanto menyebut komunikasi politik dengan kubu 02 masih terus dilakukan.

Kuatnya dorongan rekonsiliasi ini disebabkan adanya keinginan untuk mengakhiri perseteruan panjang yang telah menciptakan keterbelahan di masyarakat. Kubu Jokowi-Ma’ruf menginginkan kubu lawan kembali bersatu untuk bersama-sama membangun bangsa.

Prabowo dalam pidatonya seusai putusan MK memang menyatakan menghormati putusan lembaga pengawal konstitusi tersebut, meski dia mengaku kecewa terhadap hasilnya. Namun, yang banyak dipermasalahkan setelahnya adalah belum adanya ucapan selamat dari Prabowo kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai pemenang pilpres. Publik lantas berspekulasi bahwa itu sengaja dilakukan Prabowo demi menjaga perasaan pendukungnya yang masih kecewa dengan putusan MK. Publik masih menunggu apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan. Apakah partai politik eks koalisi Prabowo-Sandi, yakni PAN, PKS, Demokrat, termasuk Gerindra ada yang bergabung ke kubu Jokowi? Masih perlu ditunggu hingga beberapa waktu ke depan.

Namun terlepas dari upaya rekonsiliasi kubu Jokowi, termasuk ajakan kepada kubu Prabowo untuk berkoalisi, ada hal yang penting untuk diingat bersama, yakni bahwa dalam mewujudkan demokrasi yang sehat perlu adanya oposisi. Koalisi oposisi ini yang akan menjadi penyeimbang koalisi pemerintah. Dalam konteks ini maka sangat penting untuk "membiarkan" partai politik pendukung Prabowo, terutama PKS dan Gerindra yang selama lima tahun sudah menjalakan peran oposisi, tetap berada di posisinya saat ini. Kenapa demikian? Karena demokrasi hanya akan berjalan baik terjadi "check and balances " yang tujuannya untuk melindungi kepentingan rakyat.

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika pemerintahan tidak memiliki alat kontrol karena seluruh partai politik akhirnya bergabung ke dalam pemerintahan. Pertama , pemerintahan tentu akan berjalan lamban dan rentan diganggu banyak masalah akibat ditopang oleh koalisi gemuk. Pemerintah, dalam hal ini presiden, bakal sulit untuk bergerak lincah karena harus mengakomodasi begitu banyak kepentingan. Sebuah kebijakan sangat mungkin akan diributkan oleh internal pemerintahan sendiri. Ujung-ujungnya kepentingan rakyat pula yang dikorbankan.

Kedua, ada potensi kekuasaan bisa digunakan sewenang-wenang karena pemerintah tidak dikontrol. Fungsi check and balances tidak berjalan. Jika mengaca pada fakta saat ini, dengan Jokowi menguasai kursi parlemen hasil Pemilu 2014, maka nyaris seluruh kebijakannya berjalan mulus di parlemen. Itu karena Jokowi didukung mayoritas partai politik di DPR. Padahal, kondisi saat ini masih ada PKS dan Gerindra yang menjalakan fungsi oposisi. Kedua partai ini kerap menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak rakyat, namun faktanya jumlah kursi yang kalah jauh membuat suara mereka tidak berpengaruh dalam pengambilan putusan. Lalu, bagaimana jika semua parpol di parlemen mendatang menjadi bagian pendukung pemerintah?

Bahkan, idealnya, pemerintah yang seharusnya mendorong agar ada partai politik yang mengambil peran sebagai oposisi. Mengapa begitu? Karena dalam negara demokratis berlaku paradigma absolutely power tend to corrupt. Kekuasaan yang mutlak cenderung korupsi. Nah , salah satu upaya dalam mencegah korupsi tersebut adalah menciptakan oposisi yang kuat. Memang prinsip ini tidak lazim dijalankan, namun demi berjalannya pemerintahan yang terkontrol dan seimbang, ini perlu dilakukan.

Sudah saatnya fungsi koalisi partai politik tidak hanya sebatas menyediakan kendaraan bagi calon presiden untuk maju di pilpres. Diperlukan kekuatan koalisi untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah terutama di parlemen. Ini memang bukan jalan yang "mengenakkan" bagi partai politik karena menjadi oposisi itu serba tidak enak, terutama karena akan jauh dari kekuasaan sehingga tidak mampu menjangkau sumber daya yang ada. Namun, demi melindungi kepentingan rakyat, harus ada yang berani menempuh jalan itu.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3111 seconds (0.1#10.140)