Kisah Klasik Tentang Perempuan

Kamis, 11 Juli 2024 - 14:22 WIB
loading...
A A A
baca juga: Memupus Bias Tionghoa

Perkara ilmu hitam ini, Ahmad Tohari membawakannya dengan bijak pula. Bahwa tiap tindakan atau ucapan pasti memiliki konsekuensi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Orang-orang yang memanfaatkan ilmu hitam tidak semua terkena efeknya, tetapi keturunannya sudah pasti kena.

Besar atau kecil, berat atau ringan, tentu ini bukan efek yang bersifat positif. Sebab, intinya ketika kita meminjam energi yang bukan milik kita, bukan jatah kita, maka kita perlu mengembalikannya. Jika kita tidak atau belum mengembalikan sampai saat tutup usia, maka keturunan kita yang harus membayarnya.

Kebanyakan kasus, generasi kedua ini adalah orang-orang yang tidak mengerti apa-apa, tidak mengerti bahwa ada sebuah perjanjian untuk pemenuhan ego satu orang. Segala hal yang mulanya bersifat netral akan berubah oleh perspektif dan pengetahuan kita. Karena itulah kebijaksanaan perlu dijunjung.

Ahmad Tohari menulis dengan apa adanya. Tidak ada putih yang betulan putih, tidak ada hitam yang betulan hitam. Semua dikisahkan sesuai perannya, sesuai apa yang ada dalam diri karakter-karakter itu. Tokoh Marsusi, misalnya. Ia sempat tersadarkan dan hendak mengurungkan niatnya mengirim teluh untuk Srintil. Akan tetapi, hatinya goyah juga setelah dirayu oleh Tarim, sang dukun teluh.

Tarim pun sama. Terhadap klien sebelum Marsusi, ia berusaha memengaruhi agar tidak jadi mengirim teluh. Ia bicara soal konsekuensi yang bisa didapat keturunan si klien. Namun, terhadap Marsusi malah sebaliknya. Ya, tukang teluh pun butuh pemasukan. Maka, muncullah jalan tengah. Prinsipnya adalah, “Tangan dibalas tangan. Mata dibalas mata.” Marsusi masih hidup―seger waras―lantas untuk apa mengirim teluh demi melenyapkan Srintil? Jika tidak seimbang, Semesta pasti terus mengejar.

Dan, Semesta mengejar Srintil. Ia ditahan atas tuduhan ikut bergabung dengan kelompok komunis. Padahal, yang ia lakukan hanya meronggeng di rapat-rapat mereka. Srintil yang lugu tidak paham apa-apa yang dibicarakan dalam rapat. Meski begitu, ia mampu menangkap vibrasi dan energi yang ganjil di sana. Namun, apalah daya, ia dan kelompoknya butuh pemasukan. Dukuh Paruk … butuh untuk menggeliat terus, berdetak terus.

“Seorang tua yang telah arif dengan segala warna pagelaran hidup menangis di hadapan sang tamtama. Mestilah tak setetes pun air mata Sakarya akan runtuh apabila yang membebani hidup bukan sesuatu yang bersifat habis-habisan. Atau, tak mungkin orang tua itu demikian mudah menangis apabila yang di hadapannya bukan kebuntuan yang sempurna pekat. Lalu yang habis-habisan dan sempurna pekat itu ditawarkan kepada Rasus.” (halaman 335-336)

Sangat wajar apabila sebuah pengharapan terakhir dilimpahkan kepada pihak yang dianggap lebih kuat. Orang cenderung akan mengusahakan mandiri lebih dahulu sebelum menyerah dan meminta pertolongan. Sampai di titik ini, baik Sakarya maupun orang-orang Dukuh Paruk belum mengerti, ketidakseimbangan seperti apa yang menuntut raibnya kehadiran sang ronggeng.

baca juga: Tionghoa dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1427 seconds (0.1#10.140)