Kisah Klasik Tentang Perempuan
loading...
A
A
A
Sekar Mayang
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
“RONGGENG Dukuh Paruk” -judul buku ini, berkisah tentang seorang penari, seorang penghibur sejati, tepatnya seorang ronggeng. Dan, sesuai status ronggeng yang milik semua orang, perempuan penari ini pun didaulat sebagai milik publik, termasuk tubuhnya.
baca juga: Tentang Pernikahan Orang Tionghoa dengan Orang Indonesia
Sebagai mana kisah klasik, tentu sudah banyak yang membahasnya. Tetap saja akan ada pembeda dari tiap perspektif. Empat kata pertama yang saya tandai adalah gerak birahi dan mantra pekasih. Kita semua paham bahwa dalam aspek tertentu, perempuan masih dijadikan objek hanya gara-gara keindahan dalam dirinya. Dicari, dijadikan pajangan atau malah mainan, lalu dicampakkan ketika bosan.
Sebagian muak, sebagian lagi ada yang tidak sadar telah turut melestarikan kebiasaan seperti itu. Demi warisan budaya, katanya. Padahal, budaya sendiri sifatnya dinamis, harus menyesuaikan diri dengan zaman, dengan lingkungan, dengan kebenaran kolektif.
“Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan pencemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya, makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya.” (halaman 46-47)
Kenyataannya, baik laki-laki maupun perempuan malah saling menumbalkan demi ego. Jangan dilihat enaknya diizinkan bertayub. Lihat seberapa lama wadah itu akan bertahan. Atau, lihat seberapa cepat selera Sang Ronggeng berubah.
Rasus, sang tokoh utama, menyadari bahwa ketertarikannya terhadap Srintil mungkin karena kerinduan akan sosok anima―sosok perempuan primitif yang penting dalam hidup seorang laki-laki―yaitu sang ibu. Namun, kita tahu bahwa imaji bisa salah, tidak sesuai dengan aslinya. Maka, Rasus pun mengubur bayangan tentang sang ibu yang tidak pernah benar-benar ia kenal sejak kecil, seiring dengan makin besarnya Srintil di panggung ronggeng.
Bagi Rasus saat ini, mencari gambaran sang ibu hanya membuahkan keresahan. Ya, karena Srintil memang makin meresahkan. Sejoli itu sempat bersatu lewat sebuah peristiwa besar di Dukuh Paruk. Orang-orang berbangga hati terhadap Rasus karena berhasil membantu tentara menumpas kawanan perampok. Tak terkecuali Srintil. Mereka menghabiskan waktu beberapa hari sebelum akhirnya Rasus kembali pergi.
Kali ini menghilang entah ke mana, membuat Srintil lara hati. Keinginannya meninggalkan dunia ronggeng makin besar. Momen demi momen benar-benar menguji kebijaksanaannya. Tanpa ia tahu, keputusan-keputusan yang diambil di masa lalu masih meninggalkan banyak residu. Sampai-sampai ada yang hendak memanfaatkan ilmu hitam untuk menyerang Srintil.
baca juga: Memupus Bias Tionghoa
Perkara ilmu hitam ini, Ahmad Tohari membawakannya dengan bijak pula. Bahwa tiap tindakan atau ucapan pasti memiliki konsekuensi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Orang-orang yang memanfaatkan ilmu hitam tidak semua terkena efeknya, tetapi keturunannya sudah pasti kena.
Besar atau kecil, berat atau ringan, tentu ini bukan efek yang bersifat positif. Sebab, intinya ketika kita meminjam energi yang bukan milik kita, bukan jatah kita, maka kita perlu mengembalikannya. Jika kita tidak atau belum mengembalikan sampai saat tutup usia, maka keturunan kita yang harus membayarnya.
Kebanyakan kasus, generasi kedua ini adalah orang-orang yang tidak mengerti apa-apa, tidak mengerti bahwa ada sebuah perjanjian untuk pemenuhan ego satu orang. Segala hal yang mulanya bersifat netral akan berubah oleh perspektif dan pengetahuan kita. Karena itulah kebijaksanaan perlu dijunjung.
Ahmad Tohari menulis dengan apa adanya. Tidak ada putih yang betulan putih, tidak ada hitam yang betulan hitam. Semua dikisahkan sesuai perannya, sesuai apa yang ada dalam diri karakter-karakter itu. Tokoh Marsusi, misalnya. Ia sempat tersadarkan dan hendak mengurungkan niatnya mengirim teluh untuk Srintil. Akan tetapi, hatinya goyah juga setelah dirayu oleh Tarim, sang dukun teluh.
Tarim pun sama. Terhadap klien sebelum Marsusi, ia berusaha memengaruhi agar tidak jadi mengirim teluh. Ia bicara soal konsekuensi yang bisa didapat keturunan si klien. Namun, terhadap Marsusi malah sebaliknya. Ya, tukang teluh pun butuh pemasukan. Maka, muncullah jalan tengah. Prinsipnya adalah, “Tangan dibalas tangan. Mata dibalas mata.” Marsusi masih hidup―seger waras―lantas untuk apa mengirim teluh demi melenyapkan Srintil? Jika tidak seimbang, Semesta pasti terus mengejar.
Dan, Semesta mengejar Srintil. Ia ditahan atas tuduhan ikut bergabung dengan kelompok komunis. Padahal, yang ia lakukan hanya meronggeng di rapat-rapat mereka. Srintil yang lugu tidak paham apa-apa yang dibicarakan dalam rapat. Meski begitu, ia mampu menangkap vibrasi dan energi yang ganjil di sana. Namun, apalah daya, ia dan kelompoknya butuh pemasukan. Dukuh Paruk … butuh untuk menggeliat terus, berdetak terus.
“Seorang tua yang telah arif dengan segala warna pagelaran hidup menangis di hadapan sang tamtama. Mestilah tak setetes pun air mata Sakarya akan runtuh apabila yang membebani hidup bukan sesuatu yang bersifat habis-habisan. Atau, tak mungkin orang tua itu demikian mudah menangis apabila yang di hadapannya bukan kebuntuan yang sempurna pekat. Lalu yang habis-habisan dan sempurna pekat itu ditawarkan kepada Rasus.” (halaman 335-336)
Sangat wajar apabila sebuah pengharapan terakhir dilimpahkan kepada pihak yang dianggap lebih kuat. Orang cenderung akan mengusahakan mandiri lebih dahulu sebelum menyerah dan meminta pertolongan. Sampai di titik ini, baik Sakarya maupun orang-orang Dukuh Paruk belum mengerti, ketidakseimbangan seperti apa yang menuntut raibnya kehadiran sang ronggeng.
baca juga: Tionghoa dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
Maka, mereka menganggap Rasus adalah tangan-tangan Semesta yang dihadirkan untuk membantu proses penyeimbangan. Penyeimbang itu memang akhirnya bersedia menerima perannya, walaupun badai yang ia lewatkan begitu luar biasa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Ini dongeng kecil bermakna besar. Sungguh seperti membaca dongeng, begitulah cara Ahmad Tohari bertutur. Seperti Cok Sawitri yang begitu rapi menerangkan gerak alam beserta isinya, itu pula yang dilakukan Ahmad Tohari. Namun, kali ini saya malah tidak mampu menjelaskan lebih banyak lagi tentang buku ini. Tepatnya, tentang bagaimana seorang maestro menuturkan sebuah kisah klasik tentang perempuan.
Selayaknya kebanyakan buku fiksi yang lahir dari tangan terampil, lebih baik dinikmati saja tanpa perlu dikomentari macam-macam. Itu komentar yang paling sering saya pakai jika kehabisan kata-kata. Dongeng yang baik memang tidak perlu sampai meruwetkan isi kepala pembaca. Dongeng yang baik adalah yang mampu menghadirkan pemahaman utuh untuk pembacanya. Sekian.
Judul buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : Edisi 50 Tahun GPU, April 2024
Tebal : 520 halaman
ISBN : 9789792201963
Editor dan pengulas buku, hidup di Bali
“RONGGENG Dukuh Paruk” -judul buku ini, berkisah tentang seorang penari, seorang penghibur sejati, tepatnya seorang ronggeng. Dan, sesuai status ronggeng yang milik semua orang, perempuan penari ini pun didaulat sebagai milik publik, termasuk tubuhnya.
baca juga: Tentang Pernikahan Orang Tionghoa dengan Orang Indonesia
Sebagai mana kisah klasik, tentu sudah banyak yang membahasnya. Tetap saja akan ada pembeda dari tiap perspektif. Empat kata pertama yang saya tandai adalah gerak birahi dan mantra pekasih. Kita semua paham bahwa dalam aspek tertentu, perempuan masih dijadikan objek hanya gara-gara keindahan dalam dirinya. Dicari, dijadikan pajangan atau malah mainan, lalu dicampakkan ketika bosan.
Sebagian muak, sebagian lagi ada yang tidak sadar telah turut melestarikan kebiasaan seperti itu. Demi warisan budaya, katanya. Padahal, budaya sendiri sifatnya dinamis, harus menyesuaikan diri dengan zaman, dengan lingkungan, dengan kebenaran kolektif.
“Seorang ronggeng di lingkungan pentas tidak akan menjadi bahan pencemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. Malah sebaliknya, makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya.” (halaman 46-47)
Kenyataannya, baik laki-laki maupun perempuan malah saling menumbalkan demi ego. Jangan dilihat enaknya diizinkan bertayub. Lihat seberapa lama wadah itu akan bertahan. Atau, lihat seberapa cepat selera Sang Ronggeng berubah.
Rasus, sang tokoh utama, menyadari bahwa ketertarikannya terhadap Srintil mungkin karena kerinduan akan sosok anima―sosok perempuan primitif yang penting dalam hidup seorang laki-laki―yaitu sang ibu. Namun, kita tahu bahwa imaji bisa salah, tidak sesuai dengan aslinya. Maka, Rasus pun mengubur bayangan tentang sang ibu yang tidak pernah benar-benar ia kenal sejak kecil, seiring dengan makin besarnya Srintil di panggung ronggeng.
Bagi Rasus saat ini, mencari gambaran sang ibu hanya membuahkan keresahan. Ya, karena Srintil memang makin meresahkan. Sejoli itu sempat bersatu lewat sebuah peristiwa besar di Dukuh Paruk. Orang-orang berbangga hati terhadap Rasus karena berhasil membantu tentara menumpas kawanan perampok. Tak terkecuali Srintil. Mereka menghabiskan waktu beberapa hari sebelum akhirnya Rasus kembali pergi.
Kali ini menghilang entah ke mana, membuat Srintil lara hati. Keinginannya meninggalkan dunia ronggeng makin besar. Momen demi momen benar-benar menguji kebijaksanaannya. Tanpa ia tahu, keputusan-keputusan yang diambil di masa lalu masih meninggalkan banyak residu. Sampai-sampai ada yang hendak memanfaatkan ilmu hitam untuk menyerang Srintil.
baca juga: Memupus Bias Tionghoa
Perkara ilmu hitam ini, Ahmad Tohari membawakannya dengan bijak pula. Bahwa tiap tindakan atau ucapan pasti memiliki konsekuensi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Orang-orang yang memanfaatkan ilmu hitam tidak semua terkena efeknya, tetapi keturunannya sudah pasti kena.
Besar atau kecil, berat atau ringan, tentu ini bukan efek yang bersifat positif. Sebab, intinya ketika kita meminjam energi yang bukan milik kita, bukan jatah kita, maka kita perlu mengembalikannya. Jika kita tidak atau belum mengembalikan sampai saat tutup usia, maka keturunan kita yang harus membayarnya.
Kebanyakan kasus, generasi kedua ini adalah orang-orang yang tidak mengerti apa-apa, tidak mengerti bahwa ada sebuah perjanjian untuk pemenuhan ego satu orang. Segala hal yang mulanya bersifat netral akan berubah oleh perspektif dan pengetahuan kita. Karena itulah kebijaksanaan perlu dijunjung.
Ahmad Tohari menulis dengan apa adanya. Tidak ada putih yang betulan putih, tidak ada hitam yang betulan hitam. Semua dikisahkan sesuai perannya, sesuai apa yang ada dalam diri karakter-karakter itu. Tokoh Marsusi, misalnya. Ia sempat tersadarkan dan hendak mengurungkan niatnya mengirim teluh untuk Srintil. Akan tetapi, hatinya goyah juga setelah dirayu oleh Tarim, sang dukun teluh.
Tarim pun sama. Terhadap klien sebelum Marsusi, ia berusaha memengaruhi agar tidak jadi mengirim teluh. Ia bicara soal konsekuensi yang bisa didapat keturunan si klien. Namun, terhadap Marsusi malah sebaliknya. Ya, tukang teluh pun butuh pemasukan. Maka, muncullah jalan tengah. Prinsipnya adalah, “Tangan dibalas tangan. Mata dibalas mata.” Marsusi masih hidup―seger waras―lantas untuk apa mengirim teluh demi melenyapkan Srintil? Jika tidak seimbang, Semesta pasti terus mengejar.
Dan, Semesta mengejar Srintil. Ia ditahan atas tuduhan ikut bergabung dengan kelompok komunis. Padahal, yang ia lakukan hanya meronggeng di rapat-rapat mereka. Srintil yang lugu tidak paham apa-apa yang dibicarakan dalam rapat. Meski begitu, ia mampu menangkap vibrasi dan energi yang ganjil di sana. Namun, apalah daya, ia dan kelompoknya butuh pemasukan. Dukuh Paruk … butuh untuk menggeliat terus, berdetak terus.
“Seorang tua yang telah arif dengan segala warna pagelaran hidup menangis di hadapan sang tamtama. Mestilah tak setetes pun air mata Sakarya akan runtuh apabila yang membebani hidup bukan sesuatu yang bersifat habis-habisan. Atau, tak mungkin orang tua itu demikian mudah menangis apabila yang di hadapannya bukan kebuntuan yang sempurna pekat. Lalu yang habis-habisan dan sempurna pekat itu ditawarkan kepada Rasus.” (halaman 335-336)
Sangat wajar apabila sebuah pengharapan terakhir dilimpahkan kepada pihak yang dianggap lebih kuat. Orang cenderung akan mengusahakan mandiri lebih dahulu sebelum menyerah dan meminta pertolongan. Sampai di titik ini, baik Sakarya maupun orang-orang Dukuh Paruk belum mengerti, ketidakseimbangan seperti apa yang menuntut raibnya kehadiran sang ronggeng.
baca juga: Tionghoa dalam Pendidikan Sejarah di Indonesia
Maka, mereka menganggap Rasus adalah tangan-tangan Semesta yang dihadirkan untuk membantu proses penyeimbangan. Penyeimbang itu memang akhirnya bersedia menerima perannya, walaupun badai yang ia lewatkan begitu luar biasa. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Ini dongeng kecil bermakna besar. Sungguh seperti membaca dongeng, begitulah cara Ahmad Tohari bertutur. Seperti Cok Sawitri yang begitu rapi menerangkan gerak alam beserta isinya, itu pula yang dilakukan Ahmad Tohari. Namun, kali ini saya malah tidak mampu menjelaskan lebih banyak lagi tentang buku ini. Tepatnya, tentang bagaimana seorang maestro menuturkan sebuah kisah klasik tentang perempuan.
Selayaknya kebanyakan buku fiksi yang lahir dari tangan terampil, lebih baik dinikmati saja tanpa perlu dikomentari macam-macam. Itu komentar yang paling sering saya pakai jika kehabisan kata-kata. Dongeng yang baik memang tidak perlu sampai meruwetkan isi kepala pembaca. Dongeng yang baik adalah yang mampu menghadirkan pemahaman utuh untuk pembacanya. Sekian.
Judul buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetak : Edisi 50 Tahun GPU, April 2024
Tebal : 520 halaman
ISBN : 9789792201963
(hdr)