Memerdekakan Petani Sawit

Sabtu, 22 Agustus 2020 - 15:19 WIB
loading...
A A A
Langkah penyelesaian moderat ditawarkan oleh PermenLHK P.83/2016. Instrumen ini menawarkan akses legal kepada masyarakat berupa pengelolaan hutan negara. Tetapi PermenLHK ini justru melarang secara tegas kepada pemegang izin perhutanan sosial menanam kelapa sawit di areal hak atau izinnya.

Meskipun PermenLHK P.83 memasukkan "pasal keterlanjuran" (Pasal 65 huruf h) yang memperbolehkan tanaman sawit selama 12 tahun sejak masa tanam dan diantara tanaman sawit tersebut harus ditanam pohon berkayu paling sedikit 100 pohon hektare, tetapi pasal ini juga tidak memberikan ruang bagi tanaman sawit untuk bertahan lebih dari 12 tahun sejak masa tanam.

Konsekuensinya adalah tanaman sawit tersebut dikategorikan sebagai sawit ilegal. Padahal, untuk dapat memproduksi tandan buah segar sawit dibutuhkan waktu lebih dari itu.

Jalan Tengah

Masalah penyelesaian sawit dalam kawasan hutan bagi petani dapat digambarkan seperti "ayam mati di lumbung padi". Luas hutan Indonesia yang mencapai 50,1 persen dari total daratan Indonesia (Dirjen PKTL KLHK, 2019) justru belum bisa memberikan kehidupan yang layak bagi petaninya. Terutama masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan.

Pemerintah sebaiknya perlu mempercepat langkah penyelesaian masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan. Masalah ini telah mengendap sangat lama dan telah menghasilkan berbagai permasalahan yang menghasilkan efek serius, yakni marginalisasi bagi petani sawit rakyat. Akibatnya, terjadi konflik tenurial yang berkepanjangan; harga tandan buah segar semakin tidak menentu; dan yang paling parah adalah petani sawit rakyat justru akan dijustifikasi sebagai parasit dalam pengelolaan hutan negara.

Amanat konstitusi UUD 1945, Pasal 33, jelas memerintahkan kepada negara untuk mengelola bumi, air, dan kekayaan yang ada didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk memerdekakan petani sawit, negara khususnya pemerintah harus mengambil jalan tengah yang mengedepankan aspek lingkungan, sosial-budaya, ekonomi, dan hukum dalam pengelolaan sawit rakyat.

Jalan tengah itu, misalnya, pertama, Mahkamah Agung, selaku lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif), perlu memberikan fatwa atas norma "lahan garapan" dalam Pasal 5 Ayat (1) Perpres 88/2017 dengan memasukkan lahan sawit sebagai bagian didalamnya.

Kedua, pemerintah perlu membuat dan mengembangkan mekanisme penyelesian sawit rakyat dalam kawasan hutan yang bernuansa afirmatif, seperti kebun campur atau agroforestry, dan/atau reforma agraria maupun redistribusi lahan garapan. Penerapan kebun campur layak diterapkan dalam kawasan perhutanan sosial dengan tidak memberikan limit waktu terhadap keberadaan sawit dalam areal perhutanan sosial.

Ketiga, untuk memaksimalkan langkah penyelesaian, DPR khususnya Komisi IV perlu melakukan pengawasan terhadap kinerja Pemerintah dalam melakukan penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan. Sekaligus juga mempublikasikan hasil pengawasannya kepada publik sebagai bentuk transparansi yang dapat menjadi model pengawasan partisipatif. Jangan sampai perayaan 75 tahun kemerdekaan Indonesia hanya menjadi sebuah seremoni yang menjauhkan petani sawit dari kemakmurannya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0972 seconds (0.1#10.140)