Pentingnya Pengendalian Subsidi Bahan Bakar Minyak

Rabu, 19 Juni 2024 - 14:57 WIB
loading...
A A A
Dengan mengacu pada konfigurasi besaran subsidi ini, maka upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi, dan juga (nantinya) energi listrik, bisa dimengerti. Menggunakan teknologi digital seperti MyPertamina, atau berbasis NIK (KTP), sejatinya hal yang masuk akal. Merujuk pada kebijakan gas elpiji 3 kg, yang di-sounding mulai 2009, awalnya memang hanya untuk kalangan tertentu (masyarakat miskin), sebagai pengganti minyak tanah. Namun, seiring berjalannya waktu, pengguna gas elpiji 3 kg makin meluas. Masyarakat mampu pun turut menyeruput gas elpiji 3 kg, termasuk para penghuni di suatu apartemen sekalipun.

Apa sebab? Ya karena harganya jauh lebih murah dibanding membeli gas elpiji non subsidi (5,5 kg, 12 kg, dst), yang dibanderol dengan harga keekonomian. Dengan demikian, jika tak ada pengendalian sama sekali, maka bisa dipastikan kuota subsidi BBM sebesar Rp 186,9 triliun pada 2024 akan lewat, alias jebol. Jika hal ini terjadi, dipastikan akan menggerus alokasi anggaran/subsidi yang lain, seperti untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, bahkan subsidi pupuk untuk petani.

Namun, pertanyaan berikutnya, apakah upaya pengendalian yang dilakukan pemerintah dengan MyPertamina dan KTP, akan efektif untuk menekan konsumsi BBM bersubsidi, gas elpiji 3 kg, ataupun solar? Dan apakah hal ini tidak melanggar hak hak publik?

Seiring dengan kemajuan teknologi digital, seharusnya pengendalian BBM bersubsidi berbasis aplikasi MyPertamina dan KTP akan berjalan efektif. Dengan asumsi jika transaksi pembelian oleh konsumen 100 persen dilakukan di SPBU. Persoalannya, saat ini lapangan banyak sekali “pertamini”, yang menjual BBM secara eceran juga.

Penjualan via “pertamini” inilah yang berpotensi menggerus jebolnya kuota BBM bersubsidi. Sebab, kendati aturannya “pertamini” tidak boleh menjual BBM subsidi seperti pertalite, toh di lapangan mereka masih bisa membeli pertalite dari SPBU tertentu. Hasil “omon-omon” saya dengan penyedia pertamini, mereka bisa mendapatkan pertalite di suatu SPBU langganannya. Entah dengan cara “cincai” atau tidak. Cara mengakali, mereka membeli dengan sepeda motor, khususnya sepeda motor dengan tangki bensin yang besar.

Sedangkan pembelian gas elpiji 3 kg dengan instrumen KTP, juga berpotensi kurang efektif sebab banyak emak-emak yang membeli gas elpiji via sub agen, warung pengecer, yang tentu saja tidak ditanya soal KTP. Sebab data pengguna gas elpiji berbasis KTP, hanya pegang oleh pihak agen resmi, bukan sub agen, apalagi warung kelontong. Dan bukan hal yang tidak mungkin antara agen dengan sub agen bermain mata, untuk menjual gas elpiji 3 kg kepada masyarakat mampu.

Saat ini terhitung sejak November 2023, terdapat 27,8 juta pengguna gas elpiji yang terdaftar via APP Pertamina. Oleh karena itu, agar instrumen pengendalian BBM bersubsidi dan gas elpiji 3 kg berjalan efektif, maka perlu ada pengawasan berjenjang dan komprehensif. Dan perlu adanya sanksi yang tegas, dan kalau perlu menjerakan bagi yang melakukan pelanggaran. Dan juga musti dipikirkan untuk memperkecil disparitas harga elpiji 3 kg dengan harga gas elpiji non subsidi, yang jaraknya ibarat bumi dengan langit. Sementara kualitas keduanya sama.

Sejatinya, pengendalian BBM bersubsidi dan gas elpiji 3 kg, termasuk juga untuk energi listrik, secara sosial ekonomi dan kebijakan energi adalah kebijakan yang relevan. Dengan spirit kebijakan ini tidak untuk menghilangkan/menghapuskan subsidi energi. Tersebab secara jelas dimandatkan dalam UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, bahwa subsidi energi adalah kebijakan yang konstitusional.

Namun, Pasal 7 ayat 2 UU tentang Energi memandatkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi energi diperuntukkan kepada golongan masyarakat yang tidak mampu. Jadi titik tekannya dana subsidi energi peruntukannya masyarakat tidak mampu (saja). Nah, pertanyaaannya, apakah pemilik mobil pribadi sebagai pengguna pertalite ini termasuk kategori orang yang tidak mampu, sebagaimana dimandatkan oleh UU tentang Energi? Untuk pengguna sepeda motor, 15 persennya memang masyarakat rentan, yang rawan terhadap perubahan kebijakan harga BBM.

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1468 seconds (0.1#10.140)