Brand Empathy yang Efektif di Masa New Normal

Kamis, 20 Agustus 2020 - 21:59 WIB
loading...
A A A
Brand juga hidup di ranah digital, titik sentuh berikutnya yang jangkauannya jauh lebih luas. Wujud dari empathetic experience di ranah digital lebih dari sekedar konten terkait pandemi yang disiarkan melalui website, Instagram, YouTube atau TikTok --platform yang sedang naik daun belakangan ini. Pun bukan lagi konten hiburan yang membuat konsumen sesaat melupakan problem new normal. Tentu saja konten seperti ini masih dibutuhkan, namun belum memberikan solusi.

Kita tahu betapa kuatnya digital untuk menggerakan masyarakat. Lihat saja fenomena Arab Spring, Umbrella Revolution di Hong Kong, atau baru-baru ini Black Lives Matter. Berkaca dari fenomena itu, manifestasi dari brand empathy di ranah digital adalah gerakan sosial (social movement). Untuk bisa sampai disini, brand perlu memiliki tujuan (purpose) yang jelas, kontekstual dan relevan. Brand purpose itu adalah menjadi solusi atas berbagai problem dari kehidupan new normal.

Supaya efisien, gerakan sosial tersebut memanfaatkan sumber daya yang sudah dimiliki brand. Misalnya, brand fashion dan tekstil yang memberikan APD kepada masyarakat sekitar, atau brand jaringan restoran atau brand makanan-minuman yang menyediakan kotak makanan gratis bagi yang membutuhkan. Sebagai gerakan sosial, brand bisa merangkul lebih banyak pihak lagi untuk terlibat.

Alurnya adalah sebagai berikut. Brand empathy dimulai dari internal dan masyarakat sekitar. Dari interaksi brand dengan mereka dan dengan menjawab solusi atas problem yang mereka hadapi di era new normal, brand menemukan brand values dan brand purpose-nya. Inilah yang kemudian menjadi embrio dari gerakan sosial yang lebih besar, merangkul semua stakeholder yang terdampak pola hidup new normal.

Pada akhirnya, gerakan sosial itu akan melahirkan cerita-cerita orisinil dengan ekspresi empati yang otentik. Dalam jangka pendek, cerita-cerita ini menjadi bahan bakar konten yang disiarkan melalui berbagai saluran komunikasi brand. Tentu saja kemasan dari cerita itu tak boleh dikesampingkan.

Selanjutnya, jika budaya terdiri dari nilai dan norma yang dibentuk dan dilestarikan melalui cerita, brand berpotensi menjadi bagian dari budaya tersebut melalui cerita yang otentik. Cerita tentang peran brand tersebut dalam sebuah gerakan sosial membantu masyarakat untuk bangkit ketika negeri ini dilanda pandemi.
(ras)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0823 seconds (0.1#10.140)