Wawasan Kebangsaan Pancasila Dalam Alam Pikiran Soekarno
loading...
A
A
A
I Wayan Sudirta
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia
TULISAN ini dimaksudkan dalam rangka mengenang 123 tahun lahirnya Soekarno, Putra Sang Fajar. Proklamator dan penggali Pancasila.
Pancasila Karya Budaya
Sejarah tidaklah semata-mata rentetan peristiwa. Ada patokan atau kriteria tertentu yang menyebabkan sebuah kejadian tercatat sebagai peristiwa sejarah, dan dari yang tercatat itu ada pula yang diperlakukan sebagai sesuatu yang penting.
Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 merupakan lompatan kualitatif dan strategis bangsa Indonesia dalam mengkonstruksi cara pandang diri dan kebudayaan. Masyarakat nusantara yang sebelumnya berpikir dan berada dalam alam penjajahan dan bermental inferior, inlander, diajak untuk berani merdeka dengan persyaratan minimum, tanpa harus membicarakan (mempersiapkan) hal-hal yang kecil, nlimet, zwaarwichtig. (Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati: 1998).
Soekarno mengajak para pemimpin bangsa tidak ragu menerima dan memperjuangkan kemerdekaan, walaupun masih ada beberapa kekurangan. Menurutnya, kemerdekaan politik merupakan jembatan emas dan diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. “Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hai bangsa kita”.( Iwan Siswo: 2014).
Dasar negara yang disebut Soekarno sebagai “philosofische grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, Hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya, didirikan Gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” bukanlah sekadar peristiwa politik, tetapi juga suatu peristiwa budaya yang menyangkut cara pandang dan mindset bangsa Indonesia.
Bila sebelumnya warga Nusantara sangat terikat partikularitas agama, etnis, dan budaya, sejak Pancasila dijadikan dasar negara, ideologi, dan pandangan dunia, bangsa Indonesia berubah dan melebur diri sebagai “saudara sebangsa dan setanah air” dengan tetap menghargai keragaman yang melekat pada masing-masing warga. Di situlah terjadi “revolusi integrative” yang mengubah identitas berbasis kesuskuan, agama, atau sistem budaya menjadi identitas kebangsaan. (Clifford Geerrz: 1973).
Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya.
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
Doktor Hukum Universitas Kristen Indonesia
TULISAN ini dimaksudkan dalam rangka mengenang 123 tahun lahirnya Soekarno, Putra Sang Fajar. Proklamator dan penggali Pancasila.
Pancasila Karya Budaya
Sejarah tidaklah semata-mata rentetan peristiwa. Ada patokan atau kriteria tertentu yang menyebabkan sebuah kejadian tercatat sebagai peristiwa sejarah, dan dari yang tercatat itu ada pula yang diperlakukan sebagai sesuatu yang penting.
Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945 merupakan lompatan kualitatif dan strategis bangsa Indonesia dalam mengkonstruksi cara pandang diri dan kebudayaan. Masyarakat nusantara yang sebelumnya berpikir dan berada dalam alam penjajahan dan bermental inferior, inlander, diajak untuk berani merdeka dengan persyaratan minimum, tanpa harus membicarakan (mempersiapkan) hal-hal yang kecil, nlimet, zwaarwichtig. (Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati: 1998).
Soekarno mengajak para pemimpin bangsa tidak ragu menerima dan memperjuangkan kemerdekaan, walaupun masih ada beberapa kekurangan. Menurutnya, kemerdekaan politik merupakan jembatan emas dan diseberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. “Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hai bangsa kita”.( Iwan Siswo: 2014).
Dasar negara yang disebut Soekarno sebagai “philosofische grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, Hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya, didirikan Gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi,” bukanlah sekadar peristiwa politik, tetapi juga suatu peristiwa budaya yang menyangkut cara pandang dan mindset bangsa Indonesia.
Bila sebelumnya warga Nusantara sangat terikat partikularitas agama, etnis, dan budaya, sejak Pancasila dijadikan dasar negara, ideologi, dan pandangan dunia, bangsa Indonesia berubah dan melebur diri sebagai “saudara sebangsa dan setanah air” dengan tetap menghargai keragaman yang melekat pada masing-masing warga. Di situlah terjadi “revolusi integrative” yang mengubah identitas berbasis kesuskuan, agama, atau sistem budaya menjadi identitas kebangsaan. (Clifford Geerrz: 1973).
Pancasila sebagai dasar negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan berbagai peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sedangkan Pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya.