Ketua Banggar DPR Sebut APBN 2025 Disahkan Sebelum Prabowo Jadi Presiden
loading...
A
A
A
Konvergensi program atas penghapusan kemiskinan ekstrem telah dijalankan. “Jika realisasinya hingga 2024 penghapusan kemiskinan ekstrem belum tuntas, kita fasilitasi melalui RAPBN 2025 agar pemerintah tetap bisa menuntaskannya,” ujar Said.
Kelima, pentingnya meningkatkan kualitas SDM Indonesia ke depan dengan mengatasi persoalan stunting. Hal ini terkait dengan masa depan generasi bangsa. Target angka prevalensi stunting ke depan masih cukup menantang, yakni 14,0% pada 2024. Pada 2023 masih berada pada angka 21,5%.
“Jika target prevelensi sebesar 14,0% beum juga tercapai, maka diperlukan upaya extraordinary, yang meliputi pendekatan spasial untuk daerah fokus intervensinya,” ujar Said.
Keenam, empasan angin buritan membuat perekonomian nasional terjebak dalam pusaran pertumbuhan 5%. Padahal Indonesia dikejar waktu untuk bisa naik kasta menjadi negara maju di 2045. Momentumnya dengan memanfaatkan secara optimal bonus demografi yang akan berakkhir di 2036.
Ketujuh, alih alih memanfaatkan bonus demografi secara optimal, dukungan anggaran pendidikan 20% dari belanja negara belum mampu mengubah rakyat menjadi tenaga kerja terampil, penuh inovasi, dan punya etos kerja tinggi. “Lebih dari separuh angkatan kerja masih lulusan SMP. Tentu saja keadaan ini tidak bisa kita andalkan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja yang makin kompetitif,” ujar Said.
Delapan, terlihat dalam struktur serapan tenaga kerja, porsi pengangguran tahun 2022 didominasi oleh lulusan SMA sebesar 8,5% dan SMK 9,4%. Said menyebut lulusan SMP ke bawah terserap sebagai tenaga kerja kasar, masuk sektor informal, dan upah murah. Mereka yang lulusan perguruan tinggi masuk ke sektor formal.
Data ini memberi arti, mereka yang lulus SMA dan SMK dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, kemungkinan besar dari rumah tangga kurang mampu. “Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus lebih inklusif terhadap keluarga tidak mampu,” ujar Said.
Sembilan, Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau biasa disebut generasi Z (Gen Z) menganggur, tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan atau Not Employment, Education, or Training (NEET). Lebih rinci, dari 44,47 juta penduduk berusia 15-24 tahun pada Agustus 2023, sekitar 22,5% atau 9,89 juta masuk dalam kategori NEET.
“Anggaran pendidikan 20% dari belanja negara harus mampu memberikan keterampilan anak anak muda kita ini menyongsong masa depan mereka,” ujar Said.
Sepuluh, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi, untuk menavigasikan ekspor kita lebih bernilai tinggi. Tingkat investasi untuk menghasilkan barang/jasa belum efisien. ICOR Indonesia pada 2014 tercatat 5,5.
Kelima, pentingnya meningkatkan kualitas SDM Indonesia ke depan dengan mengatasi persoalan stunting. Hal ini terkait dengan masa depan generasi bangsa. Target angka prevalensi stunting ke depan masih cukup menantang, yakni 14,0% pada 2024. Pada 2023 masih berada pada angka 21,5%.
“Jika target prevelensi sebesar 14,0% beum juga tercapai, maka diperlukan upaya extraordinary, yang meliputi pendekatan spasial untuk daerah fokus intervensinya,” ujar Said.
Keenam, empasan angin buritan membuat perekonomian nasional terjebak dalam pusaran pertumbuhan 5%. Padahal Indonesia dikejar waktu untuk bisa naik kasta menjadi negara maju di 2045. Momentumnya dengan memanfaatkan secara optimal bonus demografi yang akan berakkhir di 2036.
Ketujuh, alih alih memanfaatkan bonus demografi secara optimal, dukungan anggaran pendidikan 20% dari belanja negara belum mampu mengubah rakyat menjadi tenaga kerja terampil, penuh inovasi, dan punya etos kerja tinggi. “Lebih dari separuh angkatan kerja masih lulusan SMP. Tentu saja keadaan ini tidak bisa kita andalkan untuk bersaing dalam pasar tenaga kerja yang makin kompetitif,” ujar Said.
Delapan, terlihat dalam struktur serapan tenaga kerja, porsi pengangguran tahun 2022 didominasi oleh lulusan SMA sebesar 8,5% dan SMK 9,4%. Said menyebut lulusan SMP ke bawah terserap sebagai tenaga kerja kasar, masuk sektor informal, dan upah murah. Mereka yang lulusan perguruan tinggi masuk ke sektor formal.
Data ini memberi arti, mereka yang lulus SMA dan SMK dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, kemungkinan besar dari rumah tangga kurang mampu. “Oleh sebab itu, perguruan tinggi harus lebih inklusif terhadap keluarga tidak mampu,” ujar Said.
Sembilan, Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat hampir 10 juta penduduk berusia 15-24 tahun atau biasa disebut generasi Z (Gen Z) menganggur, tidak sekolah, tidak bekerja atau tidak mengikuti pelatihan atau Not Employment, Education, or Training (NEET). Lebih rinci, dari 44,47 juta penduduk berusia 15-24 tahun pada Agustus 2023, sekitar 22,5% atau 9,89 juta masuk dalam kategori NEET.
“Anggaran pendidikan 20% dari belanja negara harus mampu memberikan keterampilan anak anak muda kita ini menyongsong masa depan mereka,” ujar Said.
Sepuluh, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi, untuk menavigasikan ekspor kita lebih bernilai tinggi. Tingkat investasi untuk menghasilkan barang/jasa belum efisien. ICOR Indonesia pada 2014 tercatat 5,5.