Kritik Putusan MA Ubah Aturan Batas Usia Kepala Daerah, ICW Duga Untungkan Anak Jokowi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai pencabutan Peraturan KPU tentang batas usia calon kepala daerah . ICW menilai amar putusan tersebut bermasalah.
“Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pertimbangan dan amar putusan MA ini bermasalah,” ujar Peniliti ICW Seira Tamara dalam keterangannya, Minggu (2/6/2024).
Seira menjelaskan putusan MA itu melanjutkan preseden buruk dari Pemilu 2024 dengan menguntungkan sejumlah pihak tertentu.
“Terlebih, perubahan aturan tersebut diterapkan pada periode pilkada sekarang sehingga dapat langsung menguntungkan pihak tertentu. Dalam hal ini diduga adalah anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang akan berusia genap 30 tahun pada Desember 2024,” jelasnya.
“Dengan demikian, seperti Putusan MK Nomor 90 kemarin yang menjadikan Gibran dapat berkontestasi di Pemilu 2024, putusan ini juga sama-sama memberikan karpet merah untuk semakin meluasnya tentakel dinasti Presiden Jokowi melalui kandidasi Kaesang Pangarep selaku kepala daerah di akhir masa jabatannya sebagai kepala negara,” sambung dia.
Dia menilai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf D PKPU 9/2020 yang mengatur batasan usia minimal yang terhitung sejak penetapan pasangan calon adalah hal yang tepat. Keberadaan substansi pasal dalam PKPU ini, kata dia, juga sudah sesuai dengan esensi dari Peraturan KPU yang memang perlu mengatur secara detail ketentuan pencalonan.
“Dengan demikian, menjadikan ketentuan mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak masa pelantikan calon terpilih adalah hal yang tidak berdasar dan mengada-ada,” kata dia.
Di sisi lain, ICW juga menilai bahwa putusan ini diputus secara kilat. Mengingat, gugatan mengenai batas usia calon kepala daerah hanya diputus dalam kurun waktu tiga hari.
“Besar kemungkinan terdapat politisasi yudisial di balik perkara ini. Sebab, jika dibandingkan dengan uji materi terhadap PKPU yang sebelumnya pernah dilayangkan oleh ICW bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke MA terkait dengan adanya ketentuan yang mempermudah mantan narapidana korupsi untuk dapat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu secara instan pasca menyelesaikan masa tahanan, perkara tersebut baru diputus setelah menunggu 109 hari semenjak permohonan diregistrasi di MA. Durasi tersebut bahkan telah jauh melampaui tenggat waktu 30 hari kerja sebagaimana diamanatkan UU Pemilu,” tandas dia.
Lebih jauh, ICW menilai putusan yang dikeluarkan sangat janggal. Mereka menilai putusan tersebut bentuk mengintervensi kewenangan KPU.
“MA memberikan penafsiran atas ketentuan yang pada dasarnya tidak menimbulkan pelanggaran atas hak asasi manusia, tidak menimbulkan persoalan tata kelola kelembagaan negara yang dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, ataupun tidak menimbulkan kekosongan hukum atau tumpang tindih pengaturan,” pungkasnya.
“Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pertimbangan dan amar putusan MA ini bermasalah,” ujar Peniliti ICW Seira Tamara dalam keterangannya, Minggu (2/6/2024).
Seira menjelaskan putusan MA itu melanjutkan preseden buruk dari Pemilu 2024 dengan menguntungkan sejumlah pihak tertentu.
“Terlebih, perubahan aturan tersebut diterapkan pada periode pilkada sekarang sehingga dapat langsung menguntungkan pihak tertentu. Dalam hal ini diduga adalah anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang akan berusia genap 30 tahun pada Desember 2024,” jelasnya.
“Dengan demikian, seperti Putusan MK Nomor 90 kemarin yang menjadikan Gibran dapat berkontestasi di Pemilu 2024, putusan ini juga sama-sama memberikan karpet merah untuk semakin meluasnya tentakel dinasti Presiden Jokowi melalui kandidasi Kaesang Pangarep selaku kepala daerah di akhir masa jabatannya sebagai kepala negara,” sambung dia.
Dia menilai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf D PKPU 9/2020 yang mengatur batasan usia minimal yang terhitung sejak penetapan pasangan calon adalah hal yang tepat. Keberadaan substansi pasal dalam PKPU ini, kata dia, juga sudah sesuai dengan esensi dari Peraturan KPU yang memang perlu mengatur secara detail ketentuan pencalonan.
“Dengan demikian, menjadikan ketentuan mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak masa pelantikan calon terpilih adalah hal yang tidak berdasar dan mengada-ada,” kata dia.
Di sisi lain, ICW juga menilai bahwa putusan ini diputus secara kilat. Mengingat, gugatan mengenai batas usia calon kepala daerah hanya diputus dalam kurun waktu tiga hari.
“Besar kemungkinan terdapat politisasi yudisial di balik perkara ini. Sebab, jika dibandingkan dengan uji materi terhadap PKPU yang sebelumnya pernah dilayangkan oleh ICW bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke MA terkait dengan adanya ketentuan yang mempermudah mantan narapidana korupsi untuk dapat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu secara instan pasca menyelesaikan masa tahanan, perkara tersebut baru diputus setelah menunggu 109 hari semenjak permohonan diregistrasi di MA. Durasi tersebut bahkan telah jauh melampaui tenggat waktu 30 hari kerja sebagaimana diamanatkan UU Pemilu,” tandas dia.
Lebih jauh, ICW menilai putusan yang dikeluarkan sangat janggal. Mereka menilai putusan tersebut bentuk mengintervensi kewenangan KPU.
“MA memberikan penafsiran atas ketentuan yang pada dasarnya tidak menimbulkan pelanggaran atas hak asasi manusia, tidak menimbulkan persoalan tata kelola kelembagaan negara yang dapat berujung pada pelanggaran hak asasi manusia, ataupun tidak menimbulkan kekosongan hukum atau tumpang tindih pengaturan,” pungkasnya.
(kri)