TNI AL Merajut Asa untuk Indonesia Emas
loading...
A
A
A
SATU persatu, alutsista canggih hadir melengkapi kekuatan armada perang TNI AL . Terbaru adalah akuisisi dua kapal Pattugliatore Polivalente d'Altura (PPA) produksi Fincantieri Italia yang dibekali kemampuan multi-misi berteknologi terkini. Dengan sistem rudal permukaan ke udara (Surface to Air Missile /SAM)Aster 15/30beserta peluncur vertical DCNS Sylver A43, kapal jenis OPV buatan Fincantieri tersebut akan menjadi salah satu kapal terkuat di kawasan Asean.
baca juga: Membangun Otot TNI AL
Selama menunggu kedatangan kapal PPA kelas Taon di Revel yang dijadwalkan tiba pada Oktober 2024 dan April 2025, Indonesia juga tengah membangun dua kapal Fregat Merah Putih. Keel laying kontruksi kapal pertama telah dilakukan PT PAL Surabaya telah dilakukan pada Agustus 2023 lalu. Pembuatan kapal perang dengan desain berbasis kapal Arrowhead milik Babcock Inggris diperkirakan memakan waktu hingga 5-8 tahun ke depan.
Tak kalah mengguncang, TNI AL juga akan diperkuat dua kapal selam Scorpene made in Naval Group, Prancis. Keputusan akusisi ini disertai skema Transfer of Technology (ToT), dengan pembangunan juga dilakukan di galangan kapal kebanggaan nasional yang bermarkas di Surabaya tersebut.
Bahkan, kabar teranyar TNI mengincar empat kapal selam tambahan sebelum Scorpène Evolved hadir menjadi tulang punggung TNI AL (interim). Untuk diketahui, Scorpène Evolved baru akan diserahkan ke TNI AL dalam waktu 96 bulan, atau delapan tahun, sejak kontrak mulai berlaku. Di sisi lain, Indonesia juga membutuhkan setidaknya 12 kapal selam untuk bisa menjaga wilayah maritim Indonesia yang sangat luas.
Keberadaan kapal selam, terutama Scorpene Evolved, diandalkan menghadirkan daya gentar (detterenet effect) dan game canger persaingan kekuatan bawah laut mengingat kecanggihan teknologinya. Berdasar spesifikasinya, kapal selam ini ditenagai baterai Evolved Full Lithium-Ion yang membuatnya mampu melakukan misi selama 78-80 hari; dan sistem tempur generasi terbaru- Subtics, dan mampu menenteng 28 torpedo dan peluru kendali.
Walaupun sudah dibekali beragam alutsista laut gahar, ternyata akuisisi kapal PPA Taon di Revel, Fregat Merah Putih, dan kapal selam Scorpene Evolved tersebut hanya mengisi sebagian puzzle kekuatan yang dibutuhkan TNI AL. Lebih dari itu, TNI masih memiliki asa mendatangkan berbagai jenis alutsista tak kalah canggih lainnya.
Paparan daftar tambahan prioritas alutsista TNI AL yang akan dikejar pada periode 2025-2045 itu disampaikan langsung Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali pada momen silaturahmi dan halal-bihalal para KSAL dari masa ke masa dan keluarga besar TNI AL, di Jakarta (19/4).
Selain alutsista yang sudah diakuisisi atau tengah dibangun, untuk penguatan kapabilitas TNI AL dalam 20 tahun ke depan itu TNI AL di antaranya mengincar beragam alutsista mulai dari sistem pertahanan pesisir (coastal defence) hingga pesawat patroli maritim multi-misi (MPA) P-6. Target belanja yang muncul dalam paparan Muhammad Ali antara lain meliputi pesawat nirawak bersenjata atau unmanned combat aircraft vehicle (UCAV) Bayraktar Akinci jenis high altitude long endurance (HALE), dan UCAV Bayraktar TB-2 jenis medium altitude long endurance (MALE) dari Turki.
Selanjutnya tercantum pula kapal perang landing helicopter dock (LHD), kendaraan tempur (ranpur) untuk Korps Marinir berupa HIMARS yang diarahkan untuk mendukung sistim pertahanan pesisir/coastal defence, kendaraan pendarat amfibi ACV 8x8, hingga destroyer Type 052D Luyang-III Class buatan Negeri Tirai Bambu.
baca juga: TNI AL Siapkan Taktik Gerilya?
Belum lagi kendaraan bawah air tanpa awak (UUVs) yang juga diincar TNI AL. Rencananya, alutsista jenis ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai misi seperti ukungan pasukan khusus dan intelijen, pengawasan dan pengintaian (ISR). Selain itu, UUVs dapat diintegrasikan dengan Scorpene Evolved.
Sekilas, target yang diinginkan TNI AL sangat ambisius. Namun, bila melihat akuisisi kapal PPA, Fregat Merah Putih, dan kapal selam Scorpene Evolved yang telah dilakukan, daftar belanja tersebut bukanlah isapan jempol. TNI AL bisa disebut tengah merajut asa memenuhi kebutuhan alutsista demi naik kelas meningkatkan kapabilitasnya. Untuk keperluan apakah?
Tantangan Berat
Secara faktual, tantangan yang dihadapi Indonesia di sektor laut sangat lah berat. Betapa tidak, negeri ini merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau besar dan kecil didalamnya, memiliki luas wilayah nasional lebih dari 5 juta km2, dan 2/3 wilayah berupa perairan seluas lebih dari 3,1 juta km2.
Dari Zona Ekonomi Ekslusif selebar 200 mil, Indonesia mendapat tambahan pengelolaan laut seluas 2,7 juta km2, sehingga seluruh luas perairan yang menjadi tanggung jawab Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta km2. Belum lagi panjang garis pantai yang keseluruhan mencapai 80.791 km.
Indonesia juga memiliki posisi geografis yang sangat strategis dan vital dalam geo-ekonomi dan geo-politik, yakni di antara Australia dan benua Asia, serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kondisi geografis ini menempatkan Indonesia sebagai jalur penghubung lalu lintas komunikasi dan perdagangan laut antar-benua dan samudera.
Jalur-jalur pelayaran di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia terbentuk secara alamiah dan membentuk sea lanes of transportation/communication (SLOT/C) yang strategis di Indonesia. Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar, ALKI-I, ALKI-II, dan ALKI III merupakan SLOT/C vital yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Perairan Indonesia mempunyai perbatasan laut dengan 10 negara, yaitu Australia, Timor Leste, Papua New Guinea, Palau, Philipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura, dan India.
Dari sisi geo-ekonomi, wilayah perairan laut Indonesia menyimpan kekayaaan alam melimpah, seperti minyak bumi, gas alam, mineral, serta sumber daya perikanan. Potensi minyak bumi dan gas dengan nilai ekonomi sangat tinggi misalnya berada di perairan Natuna dan perairan Andaman.
Siapa tidak tergiur dengan demikan besar kekayaan alamiah yang dimiliki negeri ini? Pertanyaan inilah yang harus dicamkan semua komponen bangsa ini, dan menjadi pijakan pembuatan kebijakan pertahananan, termasuk memperkuat pertahanan di sektor laut. Dengan posisi di lalu lintas pelayaran dan perniagaan dunia, Indonesia pun dituntut bertanggung jawab menghadirkan keamanan di wilayah perairannya.
Inilah tugas yang diemban TNI AL. Sebagai komponen utama pertahanan negara di laut, TNI AL memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara di laut sesuai dengan amanat UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
baca juga: Arti dan Sejarah Doktrin TNI AL Jalesveva Jayamahe
Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang menempatkan sektor kemaritiman sebagai driving force pembangunan nasional Indonesia, maka pembangunan kekuatan TNI AL tidak hanya ditujukan pada aspek pertahanan NKRI, tetapi juga menjamin keselamatan pelayaran dan bahaya kejahatan transnational.
Posisi TNI AL semakin urgen bila melihat dinamika perkembangan lingkungan strategis yang semakin cepat dan sulit diprediksi, termasuk memanasnya konflik di Laut China Selatan yang dipicu agresivitas China mengklaim mayoritas wilayah tersebut, dan terbentuknya aliansi Amerika Serikat, Inggris dan Australia (AUKUS) dengan orientasi menghadapi manuver China.
Kondisi yang terbentuk tersebut sudah barang tentu memacu tensi konflik secara lebih luas di kawasan Indo-Pasifik, termasuk memancing hadirnya kekuatan dunia dengan beragam alasan dan kepentingan yang pasti akan memperkeruh suasana. Siapa menjamin perang tidak pecah setiap saat? Bila pecah perang, siapa yang menjamin Indonesia akan aman-aman saja?
Mengembalikan Jati Diri
‘’Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri,” ujar Presiden RI, Ir Soekarno dalam pidatonya pada peresmian Institut Angkatan Laut (IAL) di Surabaya tahun 1951.
Apa yang disampaikan proklamator yang akrab disapa Bung Karno tersebut tentu berangkat dari kesadaran historis bahwa bangsa ini pernah mengalami era kejayaan karena memiliki armada laut yang kuat. Karena itulah, jika ingin mengembalikan kejayaan, tidak ada pilihan lain selain kembali kepada jati dirinya sebagai bangsa pelaut atau bangsa maritim yang kuat.
Jika menelusuri sejarah, tak dimungkiri Indonesia memiliki takdir sebagai kekuatan maritim dunia. Bahkan, pasang-surut berbagai peradaban di Nusantara ini juga bergantung pada sejauh mana kekuatan laut dimiliki. Kondisi demikian bisa ditelusuri sejak era Sriwijaya, Majapahit, Demak, hingga datangnya penjajahan.
Seperti di jaman Majapahit, di era masa kejayaan dengan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada, kerajaan tersebut menguasai wilayah lebih luas dari Indonesia saat ini. Kejayaan tersebut terwujud berkat dukungan armad laut yang kuat demi mewujudkan Sumpah Palapa. Kala itu, angkatan laut dengan Mpu Nala sebagai pemimpinnya didukung armada kapal perang besar dan persenjataan cukup canggih di masanya, yakni meriam cetbang.
Semenjak kegagalan Kesultanan Demak menghalau Portugis dari Selat Malaka, lambat laut kekuatan armada laut Nusantara mengalami kemundurunan, hingga bangsa Eropa -dalam hal ini VOC yang diteruskan Belanda- berhasil menguasai wilayah yang kemudian disebut Hindia Belanda dan kemudian menjadi Indonesia.
baca juga: Janji Prabowo Kerja Keras Memperkuat Armada Milik TNI AL
Apa yang disampaikan Bung Karno tentang visi mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim kuat bukanlah isapan jempol. Di era kepemimpinannya, armada perang laut Indonesia menjadi terkuat di belahan bumi selatan, termasuk melampaui Australia maupun India.
Seperti dipaparkan buku “Kapal Selam Indonesia” buah tangan Indroyono Soesilo dan Budiman, di masa orde lama tersebut TNI AL memiliki kapal selam jenis Whiskey Class buatan Uni Soviet, dua kapal induk untuk kapal selam -yaitu KRI Ratulangi dan KRI Thamrin, dua kapal penangkap torpedo (KPT), dan satu kapal penyelamat.
TNI AL juga memiliki KRI Irian, sebuah kapal perang terbesar yang pernah dimiliki Indonesia dari kelas light cruiser alias penjelajah ringan yang dibeli dari Uni Soviet pada 1962.Kapal inilah yang ditugaskan untuk merebut Irian Barat (kini Papua) dalam Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), dan berhasil membuat ciut nyali kapal induk Belanda, HNLMS Karel Doorman R81.
Sayangnya, kekuatan TNI AL di era Orde Baru sempat mengalami penurunan karena beberapa faktor, termasuk sebagai dampak perubahan kebijakan politik yang beralih ke Barat. Baru pada era 80-an. Kala itu dengan membaiknya perekonomian, pemerintah memborong sejumlah kapal perang.
Beberapa akuisisi alutsista matra laut pada fase tersebut adalah destroyer escort (perusak kawal) bekas Amerika Serikat (Kelas Martadinata), koret Kelas Fatahillah, fregat buatan Yugoslavia (Kelas KH Dewantara), patrol ship killer dari Korea Selatan (Kelas KRI Mandau), Fregat Belanda (Kelas Ahmad Yani), Fregat Tribal Class (Kelas KRI Marta Christina Taihahu), dan membangun kapal cepat lisensi Fast Patrol Boat 57 dari Jerman.
Untuk kekuatan bawah air, Indonesia mengakuisisi kapal selam kelas U-29 dari Jerman. Kala itu, TNI AL satu-satunya kesatuan laut di Asean yang mengoperasikan kapal selam, karena Singapura dan Malaysia baru membangun armada kapal selam pada era 2000-an.
Memasuki era Reformasi, pemerintah berupaya membangun kembali kekuatan militernya, termasuk TNI AL, dengan program yang disebut minimum essential force (MEF). Pada 2024 ini, program tersebut menapak bapak akhir dari MEF tahap III yang berlangsung dari 2019-2024. Lewat program inilah, pemerintah dan TNI melakukan modernisasi alusistayang dimiliki Indonesia.
baca juga: TNI AL Prioritaskan Pembelian Alutsista Strategis untuk Percepat Modernisasi
Tentu program ini diharapkan bisa mengakselerasi modernisasi. Namun faktanya, harapan tersebut tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Pada MEF 3, misalnya, KSAL menyebut baru penuhi 60%. Capain ini jauh lebih kecil dari target yang diharapkan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono sebesar 85%. Kendalanya apa lagi kalau bukan karena keterbatasan anggaran, termasuk pengalihan untuk penanganan wabah Covid-19 seperti disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Kendati demikian, optimisme TNI AL merajut asa mendapatkan alutsista modern dan kembali menapak kejayaan terbuka lebar saat di fase akhir MEF ini pemerintah melalui Kemenhan mengakuisi alutsista canggih untuk TNI, seperti Fregat Merah Putih, kapal OPV PPA, dan Scorpène Evolved. Di luar itu masih ada tambahan kapal cepat rudal (KCR), kapal patrol, OPV 90, dan sejumlah alutsista lain yang dibangun secara massif di galangan kapal domestik.
Berbagai belanja alutsista belumlah cukup, karena faktanya kebutuhan yang dicanangkan seperti tercantum dalam MEF 2024 tidak terpenuhi. Di sisi lain dinamika tantangan kian kompleks. Tak kalah mendesak, militer tangguh dibutuhkan untuk mendukung visi Indonesia emas 2045, yaitu mewujudkan negara maritim yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan.
Berbagai rencana belanja alutsista yang tercantum dalam daftar tambahan prioritas alutsista TNI AL diproyeksikan tidak berhenti pada rencana strategis 2025-202p. Lebih jauh, KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali merencanakan pembangunan postur kekuatan TNI AL 2025-2044. Tentu apa yang diharapkan TNI AL sangat bergantung pada kemampuan anggaran pemerintah.
Namun, melihat dinamika tantangan ke depan dan beratnya tugas TNI menjamin keamanan di sektor laut, langkah TNI AL merajut asa melalui proposal mewujudkan essential force melalui penambahan berbagai alutsista canggih buatan luar negeri maupun karya anak bangsa patutlah menjadi prioritas.
Penguatan armada perang laut dibutuhkan bukan sebatas untuk mengamankan wilayah laut NKRI dan mengantipasi pecahnya konflik di kawasan. Lebih jauh, kekuatan armada yang mampu menghadirkan deterrent effect berperan besar mengembalikan jati diri Indonesia sebagai negara maritim kuat dan menjamin terwujudnya kejayaan Indonesia, dalam hal ini target Indonesia Emas 2045.
baca juga: Membangun Otot TNI AL
Selama menunggu kedatangan kapal PPA kelas Taon di Revel yang dijadwalkan tiba pada Oktober 2024 dan April 2025, Indonesia juga tengah membangun dua kapal Fregat Merah Putih. Keel laying kontruksi kapal pertama telah dilakukan PT PAL Surabaya telah dilakukan pada Agustus 2023 lalu. Pembuatan kapal perang dengan desain berbasis kapal Arrowhead milik Babcock Inggris diperkirakan memakan waktu hingga 5-8 tahun ke depan.
Tak kalah mengguncang, TNI AL juga akan diperkuat dua kapal selam Scorpene made in Naval Group, Prancis. Keputusan akusisi ini disertai skema Transfer of Technology (ToT), dengan pembangunan juga dilakukan di galangan kapal kebanggaan nasional yang bermarkas di Surabaya tersebut.
Bahkan, kabar teranyar TNI mengincar empat kapal selam tambahan sebelum Scorpène Evolved hadir menjadi tulang punggung TNI AL (interim). Untuk diketahui, Scorpène Evolved baru akan diserahkan ke TNI AL dalam waktu 96 bulan, atau delapan tahun, sejak kontrak mulai berlaku. Di sisi lain, Indonesia juga membutuhkan setidaknya 12 kapal selam untuk bisa menjaga wilayah maritim Indonesia yang sangat luas.
Keberadaan kapal selam, terutama Scorpene Evolved, diandalkan menghadirkan daya gentar (detterenet effect) dan game canger persaingan kekuatan bawah laut mengingat kecanggihan teknologinya. Berdasar spesifikasinya, kapal selam ini ditenagai baterai Evolved Full Lithium-Ion yang membuatnya mampu melakukan misi selama 78-80 hari; dan sistem tempur generasi terbaru- Subtics, dan mampu menenteng 28 torpedo dan peluru kendali.
Walaupun sudah dibekali beragam alutsista laut gahar, ternyata akuisisi kapal PPA Taon di Revel, Fregat Merah Putih, dan kapal selam Scorpene Evolved tersebut hanya mengisi sebagian puzzle kekuatan yang dibutuhkan TNI AL. Lebih dari itu, TNI masih memiliki asa mendatangkan berbagai jenis alutsista tak kalah canggih lainnya.
Paparan daftar tambahan prioritas alutsista TNI AL yang akan dikejar pada periode 2025-2045 itu disampaikan langsung Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali pada momen silaturahmi dan halal-bihalal para KSAL dari masa ke masa dan keluarga besar TNI AL, di Jakarta (19/4).
Selain alutsista yang sudah diakuisisi atau tengah dibangun, untuk penguatan kapabilitas TNI AL dalam 20 tahun ke depan itu TNI AL di antaranya mengincar beragam alutsista mulai dari sistem pertahanan pesisir (coastal defence) hingga pesawat patroli maritim multi-misi (MPA) P-6. Target belanja yang muncul dalam paparan Muhammad Ali antara lain meliputi pesawat nirawak bersenjata atau unmanned combat aircraft vehicle (UCAV) Bayraktar Akinci jenis high altitude long endurance (HALE), dan UCAV Bayraktar TB-2 jenis medium altitude long endurance (MALE) dari Turki.
Selanjutnya tercantum pula kapal perang landing helicopter dock (LHD), kendaraan tempur (ranpur) untuk Korps Marinir berupa HIMARS yang diarahkan untuk mendukung sistim pertahanan pesisir/coastal defence, kendaraan pendarat amfibi ACV 8x8, hingga destroyer Type 052D Luyang-III Class buatan Negeri Tirai Bambu.
baca juga: TNI AL Siapkan Taktik Gerilya?
Belum lagi kendaraan bawah air tanpa awak (UUVs) yang juga diincar TNI AL. Rencananya, alutsista jenis ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai misi seperti ukungan pasukan khusus dan intelijen, pengawasan dan pengintaian (ISR). Selain itu, UUVs dapat diintegrasikan dengan Scorpene Evolved.
Sekilas, target yang diinginkan TNI AL sangat ambisius. Namun, bila melihat akuisisi kapal PPA, Fregat Merah Putih, dan kapal selam Scorpene Evolved yang telah dilakukan, daftar belanja tersebut bukanlah isapan jempol. TNI AL bisa disebut tengah merajut asa memenuhi kebutuhan alutsista demi naik kelas meningkatkan kapabilitasnya. Untuk keperluan apakah?
Tantangan Berat
Secara faktual, tantangan yang dihadapi Indonesia di sektor laut sangat lah berat. Betapa tidak, negeri ini merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau besar dan kecil didalamnya, memiliki luas wilayah nasional lebih dari 5 juta km2, dan 2/3 wilayah berupa perairan seluas lebih dari 3,1 juta km2.
Dari Zona Ekonomi Ekslusif selebar 200 mil, Indonesia mendapat tambahan pengelolaan laut seluas 2,7 juta km2, sehingga seluruh luas perairan yang menjadi tanggung jawab Indonesia menjadi sekitar 5,8 juta km2. Belum lagi panjang garis pantai yang keseluruhan mencapai 80.791 km.
Indonesia juga memiliki posisi geografis yang sangat strategis dan vital dalam geo-ekonomi dan geo-politik, yakni di antara Australia dan benua Asia, serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Kondisi geografis ini menempatkan Indonesia sebagai jalur penghubung lalu lintas komunikasi dan perdagangan laut antar-benua dan samudera.
Jalur-jalur pelayaran di wilayah perairan yurisdiksi nasional Indonesia terbentuk secara alamiah dan membentuk sea lanes of transportation/communication (SLOT/C) yang strategis di Indonesia. Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Makassar, ALKI-I, ALKI-II, dan ALKI III merupakan SLOT/C vital yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Perairan Indonesia mempunyai perbatasan laut dengan 10 negara, yaitu Australia, Timor Leste, Papua New Guinea, Palau, Philipina, Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura, dan India.
Dari sisi geo-ekonomi, wilayah perairan laut Indonesia menyimpan kekayaaan alam melimpah, seperti minyak bumi, gas alam, mineral, serta sumber daya perikanan. Potensi minyak bumi dan gas dengan nilai ekonomi sangat tinggi misalnya berada di perairan Natuna dan perairan Andaman.
Siapa tidak tergiur dengan demikan besar kekayaan alamiah yang dimiliki negeri ini? Pertanyaan inilah yang harus dicamkan semua komponen bangsa ini, dan menjadi pijakan pembuatan kebijakan pertahananan, termasuk memperkuat pertahanan di sektor laut. Dengan posisi di lalu lintas pelayaran dan perniagaan dunia, Indonesia pun dituntut bertanggung jawab menghadirkan keamanan di wilayah perairannya.
Inilah tugas yang diemban TNI AL. Sebagai komponen utama pertahanan negara di laut, TNI AL memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara di laut sesuai dengan amanat UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.
baca juga: Arti dan Sejarah Doktrin TNI AL Jalesveva Jayamahe
Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang menempatkan sektor kemaritiman sebagai driving force pembangunan nasional Indonesia, maka pembangunan kekuatan TNI AL tidak hanya ditujukan pada aspek pertahanan NKRI, tetapi juga menjamin keselamatan pelayaran dan bahaya kejahatan transnational.
Posisi TNI AL semakin urgen bila melihat dinamika perkembangan lingkungan strategis yang semakin cepat dan sulit diprediksi, termasuk memanasnya konflik di Laut China Selatan yang dipicu agresivitas China mengklaim mayoritas wilayah tersebut, dan terbentuknya aliansi Amerika Serikat, Inggris dan Australia (AUKUS) dengan orientasi menghadapi manuver China.
Kondisi yang terbentuk tersebut sudah barang tentu memacu tensi konflik secara lebih luas di kawasan Indo-Pasifik, termasuk memancing hadirnya kekuatan dunia dengan beragam alasan dan kepentingan yang pasti akan memperkeruh suasana. Siapa menjamin perang tidak pecah setiap saat? Bila pecah perang, siapa yang menjamin Indonesia akan aman-aman saja?
Mengembalikan Jati Diri
‘’Usahakanlah agar kita menjadi bangsa pelaut kembali. Ya, bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos-jongos di kapal, bukan. Tetapi bangsa pelaut dalam arti kata cakrawati samudera. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri,” ujar Presiden RI, Ir Soekarno dalam pidatonya pada peresmian Institut Angkatan Laut (IAL) di Surabaya tahun 1951.
Apa yang disampaikan proklamator yang akrab disapa Bung Karno tersebut tentu berangkat dari kesadaran historis bahwa bangsa ini pernah mengalami era kejayaan karena memiliki armada laut yang kuat. Karena itulah, jika ingin mengembalikan kejayaan, tidak ada pilihan lain selain kembali kepada jati dirinya sebagai bangsa pelaut atau bangsa maritim yang kuat.
Jika menelusuri sejarah, tak dimungkiri Indonesia memiliki takdir sebagai kekuatan maritim dunia. Bahkan, pasang-surut berbagai peradaban di Nusantara ini juga bergantung pada sejauh mana kekuatan laut dimiliki. Kondisi demikian bisa ditelusuri sejak era Sriwijaya, Majapahit, Demak, hingga datangnya penjajahan.
Seperti di jaman Majapahit, di era masa kejayaan dengan Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dengan didampingi Mahapatih Gajah Mada, kerajaan tersebut menguasai wilayah lebih luas dari Indonesia saat ini. Kejayaan tersebut terwujud berkat dukungan armad laut yang kuat demi mewujudkan Sumpah Palapa. Kala itu, angkatan laut dengan Mpu Nala sebagai pemimpinnya didukung armada kapal perang besar dan persenjataan cukup canggih di masanya, yakni meriam cetbang.
Semenjak kegagalan Kesultanan Demak menghalau Portugis dari Selat Malaka, lambat laut kekuatan armada laut Nusantara mengalami kemundurunan, hingga bangsa Eropa -dalam hal ini VOC yang diteruskan Belanda- berhasil menguasai wilayah yang kemudian disebut Hindia Belanda dan kemudian menjadi Indonesia.
baca juga: Janji Prabowo Kerja Keras Memperkuat Armada Milik TNI AL
Apa yang disampaikan Bung Karno tentang visi mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim kuat bukanlah isapan jempol. Di era kepemimpinannya, armada perang laut Indonesia menjadi terkuat di belahan bumi selatan, termasuk melampaui Australia maupun India.
Seperti dipaparkan buku “Kapal Selam Indonesia” buah tangan Indroyono Soesilo dan Budiman, di masa orde lama tersebut TNI AL memiliki kapal selam jenis Whiskey Class buatan Uni Soviet, dua kapal induk untuk kapal selam -yaitu KRI Ratulangi dan KRI Thamrin, dua kapal penangkap torpedo (KPT), dan satu kapal penyelamat.
TNI AL juga memiliki KRI Irian, sebuah kapal perang terbesar yang pernah dimiliki Indonesia dari kelas light cruiser alias penjelajah ringan yang dibeli dari Uni Soviet pada 1962.Kapal inilah yang ditugaskan untuk merebut Irian Barat (kini Papua) dalam Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), dan berhasil membuat ciut nyali kapal induk Belanda, HNLMS Karel Doorman R81.
Sayangnya, kekuatan TNI AL di era Orde Baru sempat mengalami penurunan karena beberapa faktor, termasuk sebagai dampak perubahan kebijakan politik yang beralih ke Barat. Baru pada era 80-an. Kala itu dengan membaiknya perekonomian, pemerintah memborong sejumlah kapal perang.
Beberapa akuisisi alutsista matra laut pada fase tersebut adalah destroyer escort (perusak kawal) bekas Amerika Serikat (Kelas Martadinata), koret Kelas Fatahillah, fregat buatan Yugoslavia (Kelas KH Dewantara), patrol ship killer dari Korea Selatan (Kelas KRI Mandau), Fregat Belanda (Kelas Ahmad Yani), Fregat Tribal Class (Kelas KRI Marta Christina Taihahu), dan membangun kapal cepat lisensi Fast Patrol Boat 57 dari Jerman.
Untuk kekuatan bawah air, Indonesia mengakuisisi kapal selam kelas U-29 dari Jerman. Kala itu, TNI AL satu-satunya kesatuan laut di Asean yang mengoperasikan kapal selam, karena Singapura dan Malaysia baru membangun armada kapal selam pada era 2000-an.
Memasuki era Reformasi, pemerintah berupaya membangun kembali kekuatan militernya, termasuk TNI AL, dengan program yang disebut minimum essential force (MEF). Pada 2024 ini, program tersebut menapak bapak akhir dari MEF tahap III yang berlangsung dari 2019-2024. Lewat program inilah, pemerintah dan TNI melakukan modernisasi alusistayang dimiliki Indonesia.
baca juga: TNI AL Prioritaskan Pembelian Alutsista Strategis untuk Percepat Modernisasi
Tentu program ini diharapkan bisa mengakselerasi modernisasi. Namun faktanya, harapan tersebut tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Pada MEF 3, misalnya, KSAL menyebut baru penuhi 60%. Capain ini jauh lebih kecil dari target yang diharapkan Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono sebesar 85%. Kendalanya apa lagi kalau bukan karena keterbatasan anggaran, termasuk pengalihan untuk penanganan wabah Covid-19 seperti disampaikan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.
Kendati demikian, optimisme TNI AL merajut asa mendapatkan alutsista modern dan kembali menapak kejayaan terbuka lebar saat di fase akhir MEF ini pemerintah melalui Kemenhan mengakuisi alutsista canggih untuk TNI, seperti Fregat Merah Putih, kapal OPV PPA, dan Scorpène Evolved. Di luar itu masih ada tambahan kapal cepat rudal (KCR), kapal patrol, OPV 90, dan sejumlah alutsista lain yang dibangun secara massif di galangan kapal domestik.
Berbagai belanja alutsista belumlah cukup, karena faktanya kebutuhan yang dicanangkan seperti tercantum dalam MEF 2024 tidak terpenuhi. Di sisi lain dinamika tantangan kian kompleks. Tak kalah mendesak, militer tangguh dibutuhkan untuk mendukung visi Indonesia emas 2045, yaitu mewujudkan negara maritim yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan.
Berbagai rencana belanja alutsista yang tercantum dalam daftar tambahan prioritas alutsista TNI AL diproyeksikan tidak berhenti pada rencana strategis 2025-202p. Lebih jauh, KSAL Laksamana TNI Muhammad Ali merencanakan pembangunan postur kekuatan TNI AL 2025-2044. Tentu apa yang diharapkan TNI AL sangat bergantung pada kemampuan anggaran pemerintah.
Namun, melihat dinamika tantangan ke depan dan beratnya tugas TNI menjamin keamanan di sektor laut, langkah TNI AL merajut asa melalui proposal mewujudkan essential force melalui penambahan berbagai alutsista canggih buatan luar negeri maupun karya anak bangsa patutlah menjadi prioritas.
Penguatan armada perang laut dibutuhkan bukan sebatas untuk mengamankan wilayah laut NKRI dan mengantipasi pecahnya konflik di kawasan. Lebih jauh, kekuatan armada yang mampu menghadirkan deterrent effect berperan besar mengembalikan jati diri Indonesia sebagai negara maritim kuat dan menjamin terwujudnya kejayaan Indonesia, dalam hal ini target Indonesia Emas 2045.
(hdr)