Karakter dan Ciri Kepemimpinan Bahari
loading...
A
A
A
Salim
Dewan Penasihat Kesatuan Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Pesisir Indonesia,
Kandidat Doktor Sumberdaya Manusia Universitas Airlangga
SALAH satu karakter dan ciri kepemimpinan bahari adalah dibentangkan bukanlah seorang pemimpin yang didrop artinya adalah bahwa pemimpin bahari tumbuh dan berkembang dari bawah. Jiwa kepemimpinan dipupuk sejak kecil. Bukan aji mumpung. Bukan karena bapaknya pemimpin besar otomatis ia juga bisa dengan mudah menjadi pemimpin. Sebab, dalam nilai, yang dijunjung kepemimpinan bahari adalah kompetensi; bahwa seorang pemimpin harus kredibel dan kompeten, sebab kepemimpinan yang membentuknya langsung diuji oleh kenyataan. Di laut, perubahan cuaca berlangsung cepat dan kadang tak terduga.
Seorang Nakhoda diikat etika pengorbanan. Ia orang paling akhir yang meninggalkan perahu dalam kondisi kritis. Artinya, kepemimpinan bahari mendahulukan kepentingan kapal/negara dan penumpang/warganya ketimbang dirinya sendiri. Ia yang paling akhir sejahtera, setelah warga terlemahnya hidup layak. Ia orang yang paling akhir perutnya kenyang, setelah warganya makan semua. Nakhoda tidak mengenal garis darah sebagaimana sistem feodalisme yang paternalistik. Seorang nakhoda adalah betul-betul ahli dan jenius dalam membawa perahu dan memimpin seluruh ABK. Dalam memilih ABK juga disesuaikan dengan kecakapan tugas, dan itu dilihat dari rekam jelajah.
Kepemimpinan bahari adalah meritokrasi dan bukan mediokrasi. Meritokrasi memberi karpet kesempatan kepada mereka yang dianggap layak dan punya prestasi serta kemampuan. Sebaliknya, mediokrasi adalah watak pragmatisme, medioker, puas dengan hal-hal yang bersifat ngambang ketimbang substansial.
Bukan soal Geografis
Kepemimpinan bahari bukan soal geografis, bukan soal figur yang lahir dan besar di Jawa dan luar Jawa. Kepemimpinan bahari adalah sistem, wacana, sifat, gaya, atau corak kepemimpinan. Kepemimpinan bahari memiliki integritas, keahlian, pola komunikasi yang efisien, tegas sekaligus lembut dan ngemong, sigap dan cepat mengambil keputusan, menjunjung transparansi, dan memberi inspirasi serta teladan.
Sudah demikian lama kepemimpinan Indonesia bersandar pada feodalisme. Sudah lama kita tak punya pemimpin yang tahu bagaimana merebut hati rakyatnya; pemimpin yang tak berlomba memupuk kekayaan pribadi dan merampok uang negara buat keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya. Sudah terlampau terbiasa pula kita mendapatkan pemimpin-pemimpin yang didrop oleh uang dan keturunan, sehingga nyaris kita lupa bagaimana cara memproduksi pemimpin yang lahir dari sistem kepemimpinan bahari.
Partai politik semestinya menjadi candradimuka bagi lahirnya pemimpin-pemimpin politik yang berjiwa bahari; dididik sedari awal dengan kecakapan politik, sergap mengambil keputusan, serta tahu mengambil posisi sebagai pemberi inspirasi dan teladan. Pemilu yang dilangsungkan dari waktu ke waktu dengan biaya hampir Rp50 triliun hanya berhenti pada kesibukan prosedur demokrasi. Terlihat menjunjung demokrasi, tapi pada dasarnya memperkuat sistem politik neo-feodalisme. Akibatnya, pemimpin yang lahir adalah raja. Tegas dan cepat merespons jika pribadinya diusik oleh sekelompok orang. Adapun kepentingan rakyat banyak dikemudiankan setelah soal-soal pribadi terselesaikan.
Karena memimpin bak raja, maka gerbong keluarga akan diikutsertakan walaupun sang pemimpin tahu kredibilitas dan kompetensi anggota keluarganya hanya mengandalkan “aji mumpung” dan bersembunyi di balik kilau pamor kuasanya semata. Lain tidak. Sistem feodal jauh dari meritokrasi dan sangat dekat dengan kleptokrasi yang lemah kontrol.
Kepemimpinan bahari di salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sudah lama menjadi angan-angan sebagai alternatif kepemimpinan feodal berbasis daratan. Tapi, faktanya, kepemimpinan bahari nyaris tak pernah dijadikan sandaran nilai dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa.
Dewan Penasihat Kesatuan Pelajar, Pemuda, dan Mahasiswa Pesisir Indonesia,
Kandidat Doktor Sumberdaya Manusia Universitas Airlangga
SALAH satu karakter dan ciri kepemimpinan bahari adalah dibentangkan bukanlah seorang pemimpin yang didrop artinya adalah bahwa pemimpin bahari tumbuh dan berkembang dari bawah. Jiwa kepemimpinan dipupuk sejak kecil. Bukan aji mumpung. Bukan karena bapaknya pemimpin besar otomatis ia juga bisa dengan mudah menjadi pemimpin. Sebab, dalam nilai, yang dijunjung kepemimpinan bahari adalah kompetensi; bahwa seorang pemimpin harus kredibel dan kompeten, sebab kepemimpinan yang membentuknya langsung diuji oleh kenyataan. Di laut, perubahan cuaca berlangsung cepat dan kadang tak terduga.
Seorang Nakhoda diikat etika pengorbanan. Ia orang paling akhir yang meninggalkan perahu dalam kondisi kritis. Artinya, kepemimpinan bahari mendahulukan kepentingan kapal/negara dan penumpang/warganya ketimbang dirinya sendiri. Ia yang paling akhir sejahtera, setelah warga terlemahnya hidup layak. Ia orang yang paling akhir perutnya kenyang, setelah warganya makan semua. Nakhoda tidak mengenal garis darah sebagaimana sistem feodalisme yang paternalistik. Seorang nakhoda adalah betul-betul ahli dan jenius dalam membawa perahu dan memimpin seluruh ABK. Dalam memilih ABK juga disesuaikan dengan kecakapan tugas, dan itu dilihat dari rekam jelajah.
Kepemimpinan bahari adalah meritokrasi dan bukan mediokrasi. Meritokrasi memberi karpet kesempatan kepada mereka yang dianggap layak dan punya prestasi serta kemampuan. Sebaliknya, mediokrasi adalah watak pragmatisme, medioker, puas dengan hal-hal yang bersifat ngambang ketimbang substansial.
Bukan soal Geografis
Kepemimpinan bahari bukan soal geografis, bukan soal figur yang lahir dan besar di Jawa dan luar Jawa. Kepemimpinan bahari adalah sistem, wacana, sifat, gaya, atau corak kepemimpinan. Kepemimpinan bahari memiliki integritas, keahlian, pola komunikasi yang efisien, tegas sekaligus lembut dan ngemong, sigap dan cepat mengambil keputusan, menjunjung transparansi, dan memberi inspirasi serta teladan.
Sudah demikian lama kepemimpinan Indonesia bersandar pada feodalisme. Sudah lama kita tak punya pemimpin yang tahu bagaimana merebut hati rakyatnya; pemimpin yang tak berlomba memupuk kekayaan pribadi dan merampok uang negara buat keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya. Sudah terlampau terbiasa pula kita mendapatkan pemimpin-pemimpin yang didrop oleh uang dan keturunan, sehingga nyaris kita lupa bagaimana cara memproduksi pemimpin yang lahir dari sistem kepemimpinan bahari.
Partai politik semestinya menjadi candradimuka bagi lahirnya pemimpin-pemimpin politik yang berjiwa bahari; dididik sedari awal dengan kecakapan politik, sergap mengambil keputusan, serta tahu mengambil posisi sebagai pemberi inspirasi dan teladan. Pemilu yang dilangsungkan dari waktu ke waktu dengan biaya hampir Rp50 triliun hanya berhenti pada kesibukan prosedur demokrasi. Terlihat menjunjung demokrasi, tapi pada dasarnya memperkuat sistem politik neo-feodalisme. Akibatnya, pemimpin yang lahir adalah raja. Tegas dan cepat merespons jika pribadinya diusik oleh sekelompok orang. Adapun kepentingan rakyat banyak dikemudiankan setelah soal-soal pribadi terselesaikan.
Karena memimpin bak raja, maka gerbong keluarga akan diikutsertakan walaupun sang pemimpin tahu kredibilitas dan kompetensi anggota keluarganya hanya mengandalkan “aji mumpung” dan bersembunyi di balik kilau pamor kuasanya semata. Lain tidak. Sistem feodal jauh dari meritokrasi dan sangat dekat dengan kleptokrasi yang lemah kontrol.
Kepemimpinan bahari di salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sudah lama menjadi angan-angan sebagai alternatif kepemimpinan feodal berbasis daratan. Tapi, faktanya, kepemimpinan bahari nyaris tak pernah dijadikan sandaran nilai dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa.