Fenomena No Viral No Justice Masih Dominan, Penegakan Hukum Harus Dibenahi Total
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fenomena No Viral No Justice (NVNJ) masih dominan hingga saat ini. Teranyar, kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan kekasihnya Muhammad Risky Rudiana atau Eki di Cirebon pada 2016 viral setelah diangkat ke layar lebar dengan judul Vina Sebelum 7 Hari, A True Story Revealed by Vina's Spirit.
Sebelumnya, kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat sempat menjadi perhatian publik. Kasus pembunuhan ini menyeret Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo beserta istrinya Putri Chandrawathi.
Kemudian, Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma'ruf. Pembunuhan terjadi di Rumah Dinas Ferdy Sambo, Kompleks Perumahan Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Juli 2022.
Selain itu, kasus Mario Dandy Satriyo juga termasuk dalam fenomena No Viral No Justice. Kasus tersebut terjadi di Perumahan Green Permata, Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Senin, 20 Februari 2023 malam.
Kasusnya pun merembet ke ayah Mario Dandy, Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat pajak. Rafael Alun terseret kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian. Terkait fenomena No Viral No Justice (NVNJ) yang masih dominan, penegakan hukum dinilai perlu dibenahi total.
“Ya harus dibenahi, juga diingatkan kembali fungsi lembaga-lembaga pengawasan seperti Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, lembaga pengawas kepolisian atau LSM atau masyarakat umumnya,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Minggu (26/5/2024).
Menurut Fickar, adanya fenomena No Viral No Justice itu sebagai bukti kekeliruan persepsi tentang penegakan hukum khususnya hukum pidana. “Penegak hukum termasuk polisi, ketika melakukan tugasnya hanya mengacu ada tidaknya pihak yang dirugikan (korban). Kalau ada, maka penegakan hukum dijalankan dengan mengumpulkan alat bukti (saksi, surat, dan keterangan tersangka),” tuturnya.
Dia melanjutkan, jika para saksi mencabut keterangan atau melarikan diri, maka proses hukumnya dihentikan, meski korbannya menerima walau tidak puas. “Seolah-olah tidak ada lagi kerugian yang harus dikembalikan, ini jelas pandangan yang keliru seolah-olah kasus itu perdata,” ungkapnya.
“Ketika kemudian kasus diributkan dan diviralkan orang, barulah penegak hukum memulai lagi proses hukumnya. Ini jelas kekeliruan, sehingga terkesan tugas dan kewajiban itu dikerjakan mengejar pencitraan baik saja,” sambung Fickar.
Dia menjelaskan bahwa dlm perspektif hukum, kasus pidana itu dibagi dua, yakni ada delik (pidana) aduan, dan delik biasa. “Yang bisa dihentikan di tengah prosesnya jika kasus pidana itu delik aduan, misalnya pencemaran nama baik atau 310 KUHP, ketika saksi korban mencabut maka proses perkara itu selesai,” jelasnya.
Namun, lanjut dia, jika yang terjadi itu delik biasa, proses tidak bisa dihentikan meski para saksinya mencabut keterangan karena diancam misalnya. Polisi atau penegak hukum harus tetap melanjutkan proses perkara baik viral maupun tidak.
“Mengapa? Ya karena dalam delik biasa itu yang dilindungi tidak hanya korban saja tapi lebih luas, yaitu kepentingan umum agar pelaku jera tidak melakukan delik lagi pada orang lain,” katanya.
Jadi, dia kembali menegaskan bahwa yang dilindungi itu kepentingan umum. Fickar melanjutkan, delik biasa itu tindak pidana berat termasuk pembunuhan.
“Jadi fenomena NVNJ tidak hanya kekeliruan persepsi saja, tapi juga bisa terjadi karena hal lain, seperti juga terhadap kasus yang berhenti karena suap atau ya memang tidak berani diviralkan orang karena menyangkut tersangka yang punya pengaruh baik karena uang maupun jabatan publik seseorang,” pungkasnya.
Sebelumnya, kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat sempat menjadi perhatian publik. Kasus pembunuhan ini menyeret Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Ferdy Sambo beserta istrinya Putri Chandrawathi.
Kemudian, Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu, Ricky Rizal Wibowo, dan Kuat Ma'ruf. Pembunuhan terjadi di Rumah Dinas Ferdy Sambo, Kompleks Perumahan Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Juli 2022.
Selain itu, kasus Mario Dandy Satriyo juga termasuk dalam fenomena No Viral No Justice. Kasus tersebut terjadi di Perumahan Green Permata, Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Senin, 20 Februari 2023 malam.
Kasusnya pun merembet ke ayah Mario Dandy, Rafael Alun Trisambodo, mantan pejabat pajak. Rafael Alun terseret kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian. Terkait fenomena No Viral No Justice (NVNJ) yang masih dominan, penegakan hukum dinilai perlu dibenahi total.
“Ya harus dibenahi, juga diingatkan kembali fungsi lembaga-lembaga pengawasan seperti Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, lembaga pengawas kepolisian atau LSM atau masyarakat umumnya,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada SINDOnews, Minggu (26/5/2024).
Menurut Fickar, adanya fenomena No Viral No Justice itu sebagai bukti kekeliruan persepsi tentang penegakan hukum khususnya hukum pidana. “Penegak hukum termasuk polisi, ketika melakukan tugasnya hanya mengacu ada tidaknya pihak yang dirugikan (korban). Kalau ada, maka penegakan hukum dijalankan dengan mengumpulkan alat bukti (saksi, surat, dan keterangan tersangka),” tuturnya.
Dia melanjutkan, jika para saksi mencabut keterangan atau melarikan diri, maka proses hukumnya dihentikan, meski korbannya menerima walau tidak puas. “Seolah-olah tidak ada lagi kerugian yang harus dikembalikan, ini jelas pandangan yang keliru seolah-olah kasus itu perdata,” ungkapnya.
“Ketika kemudian kasus diributkan dan diviralkan orang, barulah penegak hukum memulai lagi proses hukumnya. Ini jelas kekeliruan, sehingga terkesan tugas dan kewajiban itu dikerjakan mengejar pencitraan baik saja,” sambung Fickar.
Dia menjelaskan bahwa dlm perspektif hukum, kasus pidana itu dibagi dua, yakni ada delik (pidana) aduan, dan delik biasa. “Yang bisa dihentikan di tengah prosesnya jika kasus pidana itu delik aduan, misalnya pencemaran nama baik atau 310 KUHP, ketika saksi korban mencabut maka proses perkara itu selesai,” jelasnya.
Namun, lanjut dia, jika yang terjadi itu delik biasa, proses tidak bisa dihentikan meski para saksinya mencabut keterangan karena diancam misalnya. Polisi atau penegak hukum harus tetap melanjutkan proses perkara baik viral maupun tidak.
“Mengapa? Ya karena dalam delik biasa itu yang dilindungi tidak hanya korban saja tapi lebih luas, yaitu kepentingan umum agar pelaku jera tidak melakukan delik lagi pada orang lain,” katanya.
Jadi, dia kembali menegaskan bahwa yang dilindungi itu kepentingan umum. Fickar melanjutkan, delik biasa itu tindak pidana berat termasuk pembunuhan.
“Jadi fenomena NVNJ tidak hanya kekeliruan persepsi saja, tapi juga bisa terjadi karena hal lain, seperti juga terhadap kasus yang berhenti karena suap atau ya memang tidak berani diviralkan orang karena menyangkut tersangka yang punya pengaruh baik karena uang maupun jabatan publik seseorang,” pungkasnya.
(rca)