Punya Kekuatan Pressure, Buruh Disarankan Bikin Kontrak Politik di Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR, Saleh Pertaonan Daulay menyatakan, kalangan buruh memiliki masalah klasik berupa tuntutan yang belum sepenuhnya terpenuhi dari rezim ke rezim yang berkuasa. Hal ini dikatakan Saleh dalam diskusi virtual bertajuk 'Menakar Hak Buruh di Pilkada 2020 ', Rabu (19/8/2020).
(Baca juga: Fraksi PAN Ingatkan Calon Incumbent Tak Bahayakan Masyarakat Demi Pilkada)
Menurut Saleh, melalui berbagai organisasi buruh sebenarnya saluran politik yang dimiliki bisa disampaikan, dari yang kecil seperti mengurus gaji, asuransi, tunjangan hari raya, gaji ke-13 dan sebagainya.
(Baca juga: Jelang Pilkada, DPR Sebut Jangan Ada Tipuan Data Terkait Zona Hijau)
"Persoalan yang besar, organisasi yang punya induknya ini punya kekuatan pressure, seperti membahas RUU Cipta Kerja. Kelompok buruh ini melakukan demontrasi besar-besaran, sehingga pemerintah mencoba menunda kluster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker ini," kata Saleh.
Saleh mengatakan, sayangya kekuatan presure yang dimiliki kalangan buruh dan pekerja ini tak dimanfaatkan secara maksimal, sehingga ketika negara dihadapkan pada situasi pandemi covid-19, terjadi pemutusan hubungan kerja di mana-mana terhadap buruh.
Untuk itu momentum Pilkada ini harus menjadi refleksi kalangan buruh untuk menggalang kekuatan politik mereka. "Kedepan, perlu ada kontrak politik antara calon kepala daerah dengan buruh agar menjaga kesejahteraan buruh di daerahnya," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Komisaris Pelindo Irma Suryani Chaniago melihat, sikap buruh tampak tidak solid. Ia menilai, banyak pemimpin organisasi buruh yang bersikap pragmatis dalam memperjuangkan hak-hak buruh, akibatnya setiap momentum kontestasi politik daerah para buruh justru tak mendapatkan apa-apa.
Politikus Partai Nasdem nonaktif ini memandang, komitmen kelompok buruh saat pilkada, tidak punya dampak positif terhadap calon yang didukung.
"Masih ada ketidakselarasan antara tokoh buruh dengan basis kelompok buruh, sehingga tidak ada bargaining position yang efektif terhadap pemerintah yang ada," tutur dia.
Untuk itu, Irma menyarankan agar bargaining posisi kelompok buruh harus jelas. Setidaknya, kata dia, calon yang didukung kelompok buruh harus mampu membuat regulasi yang selaras dengan kepentingan para buruh.
"Yang perlu dilakukan adalah membuat diskursus yang baik kepada calon maupun buruh-buruh kita. Harus ada komitmen yang jelas dan tegas terhadap calon yang didukung," pungkasnya.
Sementara itu, Sekjen KSBSI, Dedi Hardianto mengatakan, peran buruh sangat penting dalam menentukan arah bangsa. Hal ini terbukti, pada saat Presiden Soekarno, buruh memiliki peran dominan seperti gerakan trimurti, dan saat itu buruh mendapat perhatian penuh.
Menurutnya, hal demikian, jauh berbeda pada saat orde baru berkuasa. Buruh 'dikotak-kotakan' sehingga kekuatan mereka dengan mudah dipantau penguasa. Di sisi lain, suara dan tuntutan buruh seakan tak digubris oleh penguasa.
Dedi melihat, momentum politik nasional maupun daerah harus menjadi pendorong kaum buruh untuk bersatu. Apalagi, kepala daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat memiliki peran strategis dalam memperjuangkan hak buruh.
"Suara buruh ini akan signifikan di tahun politik, dan efektif kalau tokoh buruh ini punya basis kuat, dan membumi. Peran-peran partai politik yang meduduk di kekuasaan rata-rata pemilik modal," ucap Dedi.
"Mereka juga tidak mau solid bersama, mereka melakukan politik transaksional sehingga tidak membiarkan buruh-buruh ini bersatu. Maka, tokoh buruh harus menurunkan ego mereka untuk bersama-sama memajukan kesejahteraan kelompok buruh," pungkasnya.
(Baca juga: Fraksi PAN Ingatkan Calon Incumbent Tak Bahayakan Masyarakat Demi Pilkada)
Menurut Saleh, melalui berbagai organisasi buruh sebenarnya saluran politik yang dimiliki bisa disampaikan, dari yang kecil seperti mengurus gaji, asuransi, tunjangan hari raya, gaji ke-13 dan sebagainya.
(Baca juga: Jelang Pilkada, DPR Sebut Jangan Ada Tipuan Data Terkait Zona Hijau)
"Persoalan yang besar, organisasi yang punya induknya ini punya kekuatan pressure, seperti membahas RUU Cipta Kerja. Kelompok buruh ini melakukan demontrasi besar-besaran, sehingga pemerintah mencoba menunda kluster ketenagakerjaan dalam RUU Ciptaker ini," kata Saleh.
Saleh mengatakan, sayangya kekuatan presure yang dimiliki kalangan buruh dan pekerja ini tak dimanfaatkan secara maksimal, sehingga ketika negara dihadapkan pada situasi pandemi covid-19, terjadi pemutusan hubungan kerja di mana-mana terhadap buruh.
Untuk itu momentum Pilkada ini harus menjadi refleksi kalangan buruh untuk menggalang kekuatan politik mereka. "Kedepan, perlu ada kontrak politik antara calon kepala daerah dengan buruh agar menjaga kesejahteraan buruh di daerahnya," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, Komisaris Pelindo Irma Suryani Chaniago melihat, sikap buruh tampak tidak solid. Ia menilai, banyak pemimpin organisasi buruh yang bersikap pragmatis dalam memperjuangkan hak-hak buruh, akibatnya setiap momentum kontestasi politik daerah para buruh justru tak mendapatkan apa-apa.
Politikus Partai Nasdem nonaktif ini memandang, komitmen kelompok buruh saat pilkada, tidak punya dampak positif terhadap calon yang didukung.
"Masih ada ketidakselarasan antara tokoh buruh dengan basis kelompok buruh, sehingga tidak ada bargaining position yang efektif terhadap pemerintah yang ada," tutur dia.
Untuk itu, Irma menyarankan agar bargaining posisi kelompok buruh harus jelas. Setidaknya, kata dia, calon yang didukung kelompok buruh harus mampu membuat regulasi yang selaras dengan kepentingan para buruh.
"Yang perlu dilakukan adalah membuat diskursus yang baik kepada calon maupun buruh-buruh kita. Harus ada komitmen yang jelas dan tegas terhadap calon yang didukung," pungkasnya.
Sementara itu, Sekjen KSBSI, Dedi Hardianto mengatakan, peran buruh sangat penting dalam menentukan arah bangsa. Hal ini terbukti, pada saat Presiden Soekarno, buruh memiliki peran dominan seperti gerakan trimurti, dan saat itu buruh mendapat perhatian penuh.
Menurutnya, hal demikian, jauh berbeda pada saat orde baru berkuasa. Buruh 'dikotak-kotakan' sehingga kekuatan mereka dengan mudah dipantau penguasa. Di sisi lain, suara dan tuntutan buruh seakan tak digubris oleh penguasa.
Dedi melihat, momentum politik nasional maupun daerah harus menjadi pendorong kaum buruh untuk bersatu. Apalagi, kepala daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat memiliki peran strategis dalam memperjuangkan hak buruh.
"Suara buruh ini akan signifikan di tahun politik, dan efektif kalau tokoh buruh ini punya basis kuat, dan membumi. Peran-peran partai politik yang meduduk di kekuasaan rata-rata pemilik modal," ucap Dedi.
"Mereka juga tidak mau solid bersama, mereka melakukan politik transaksional sehingga tidak membiarkan buruh-buruh ini bersatu. Maka, tokoh buruh harus menurunkan ego mereka untuk bersama-sama memajukan kesejahteraan kelompok buruh," pungkasnya.
(maf)