Indonesia Perlu Membuat Langkah Afirmatif untuk Memerdekakan Petani Sawit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menjawab problematika petani sawit Indonesia sepertinya ironi dengan amanah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang memerintahkan penguasaan kekayaan alam, khususnya hutan, diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat.
(Baca juga: KPK Sebut Kebun Sawit Milik Tersangka Nurhadi yang Disita Seluas 530,8 Hektare)
Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil menjelaskan, berbagai masalah petani sawit yang sampai saat ini tidak sesuai dengan amanah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 di antaranya masalah legalitas lahan, konflik tenurial, ketidakpastian harga tandan buah segar.
(Baca juga: Kemendag Akan Bentuk Tim Kampanye Positif Sawit Indonesia)
Kata Hifdzil, salah satu yang paling mencolok adalah marginalisasi tata kepengurusan lahan sawit rakyat dalam kawasan hutan. "Lahan berhutan yang dikuasai negara ini harus dimanfaatkan untuk menciptakan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia, termasuk petani sawit yang menggantungkan hidupnya pada hutan," demikian kata Hifdzil, Selasa (18/8/2020).
Menurut Hifdzil, jika menelisik dari hulu hingga ke hilir, Indonesia tidak kekurangan instrumen hukum untuk menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan.
Dijelaskan Hifdzil, beberapa regulasi itu dimulai dari peraturan induknya, yaitu UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Tetapi regulasi ini menjadi alat pemerintah untuk menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan yang berorientasi pada penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang melakukan perusakan hutan. Sementara masalah historis-kultural tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan struktural.
Di sisi yang lain, pemerintah juga menerbitkan regulasi yang lebih soft, yakni Perpres 88/2017 tentang Penyelesian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Perpres ini menawarkan penyelesaian masalah keberadaan lahan dalam kawasan hutan berupa: (i) mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan (pelepasan kawasan hutan), (ii) tukar menukar kawasan hutan, (iii) memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial, atau (iv) melakukan resettlement.
(Baca juga: KPK Sebut Kebun Sawit Milik Tersangka Nurhadi yang Disita Seluas 530,8 Hektare)
Direktur HICON Law & Policy Strategies, Hifdzil menjelaskan, berbagai masalah petani sawit yang sampai saat ini tidak sesuai dengan amanah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 di antaranya masalah legalitas lahan, konflik tenurial, ketidakpastian harga tandan buah segar.
(Baca juga: Kemendag Akan Bentuk Tim Kampanye Positif Sawit Indonesia)
Kata Hifdzil, salah satu yang paling mencolok adalah marginalisasi tata kepengurusan lahan sawit rakyat dalam kawasan hutan. "Lahan berhutan yang dikuasai negara ini harus dimanfaatkan untuk menciptakan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia, termasuk petani sawit yang menggantungkan hidupnya pada hutan," demikian kata Hifdzil, Selasa (18/8/2020).
Menurut Hifdzil, jika menelisik dari hulu hingga ke hilir, Indonesia tidak kekurangan instrumen hukum untuk menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan.
Dijelaskan Hifdzil, beberapa regulasi itu dimulai dari peraturan induknya, yaitu UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Tetapi regulasi ini menjadi alat pemerintah untuk menyelesaikan masalah sawit rakyat dalam kawasan hutan yang berorientasi pada penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang melakukan perusakan hutan. Sementara masalah historis-kultural tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan struktural.
Di sisi yang lain, pemerintah juga menerbitkan regulasi yang lebih soft, yakni Perpres 88/2017 tentang Penyelesian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Perpres ini menawarkan penyelesaian masalah keberadaan lahan dalam kawasan hutan berupa: (i) mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan (pelepasan kawasan hutan), (ii) tukar menukar kawasan hutan, (iii) memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial, atau (iv) melakukan resettlement.