Membenahi Langkah dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Kamis, 02 Mei 2024 - 06:00 WIB
loading...
A A A
Bahkan data dari Kemendikbud (2015) menyebutkan pertumbuhan jumlah siswa di lembaga pendidikan dasar menengah selama kurun waktu 1999 hingga 2015, sebesar 17%. Disisi lain dalam kurun waktu yang sama, pertumbuhan guru PNS sebanyak 23 persen dan guru honorer 860%. Atau dengan kata lain, pertumbuhan tenaga pendidik melampau peserta didik. Sayangnya langkah yang diambil pemerintah justru merekrut 1 juta guru PPPK, yang tentu saja berantakan karena tanpa kajian dan koordinasi yang baik.

Selain itu, kompetensi guru pun harus mendapatkan perhatian lebih. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) hanya guru di 10 provinsi yang memiliki nilai diatas rata-rata 56,69. Lainnya nilai UKG dibawah rata-rata. Pertanyaannya, bagaimana mungkin anak-anak kita diajar oleh guru-guru yang kompetensinya dibawah rata-rata. Laporan ACDP Indonesia menyebutkan mendekati 14 persen guru di Tanah Air bolos mengajar.

Yang kelima, perlu dilakukan evaluasi terhadap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selama ini, lulusan LPTK jauh lebih banyak dibandingkan yang diserap oleh dunia pendidikan. Misalnya dari 300.000 lulusan yang dihasilkan LPTK setiap tahunnya, yang diserap kurang dari separuhnya yakni sekitar 120.000 lulusan. Ini menunjukkan dalam membuat kebijakan tidak disesuaikan dengan kebutuhan. LPTK juga tidak hanya sekedar meluluskan tenaga pendidik, tetapi menghasilkan tenaga pendidik yang kompeten, melakukan sertifikasi tenaga pendidik, hingga inovasi pembelajaran di era Revolusi Industri 4.0 untuk menyongsong kehidupan masyarakat (society) 5.0.

Keenam, sarana dan prasarana pendidikan juga mengalami kendala. Sebanyak 75% sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Bagaimana berbicara menghadapi tantangan masyarakat 5.0 yang berbasis digital, jika ANBK saja belum bisa 100 persen, server selalu bermasalah, akses listrik dan internet belum merata diseluruh sekolah. Kesulitan pelaksanaan pembelajaran selama pandemi harusnya segera dicarikan solusinya. Daftar barang yang tercantum dalam Dana Alokasi Khusus banyak memiliki spesifikasi yang sudah kadaluwarsa artinya sudah ketinggalan zaman, disini menunjukkan bahwa pemerintah sendiri tidak tahu kebutuhan peralatan pendidikan yang sesuai dengan eranya. Pemerintah dapat meniru negara-negara lain yang setiap tahun selalu menyelenggarakan pameran peralatan pendidikan sehingga produsen dapat menunjukkan teknologi termutakhir untuk melengkapi sarana dan prasarana lembaga pendidikan. Data Pokok Pendidikan (dapodik) juga memiliki kendala. Hal-hal tersebut diatas perlu mendapatkan perhatian lebih.

Ketujuh, tupoksi antar lembaga pelaksana pendidikan nasional masih belum jelas. Misalnya untuk masalah sentralisasi atau otonomi daerah, kalau otonomi daerah mengapa madrasah masih dibawah pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Sementara kalau sentralisasi, mengapa Kemendikbud Ristek tidak punya otoritas mengatur guru. Pemerintah daerah juga tidak memiliki program sendiri, cenderung meniru Kemendikbud Ristek. Selain itu, pemerintah daerah lebih memilih berkoordinasi dengan Kemendagri dibandingkan Kemendikbud Ristek. Salah satu ide yang dapat diterapkan adalah menempatkan Kemendikbud Ristek sebagai compliance agent atau Lembaga penjamin mutu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah dibandingkan dengan kondisi sekarang yang tumpang tindih tupoksinya.

Merujuk pada Peraturan Presiden No 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2024, anggaran pendidikan yang jumlahnya 20% (dua puluh persen) dari APBN, ternyata hampir separuh dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk 22 kementerian dan lembaga negara yang tidak mengurusi bidang pendidikan sama sekali. Dan alokasi anggaran tersebut tidak pernah dijabarkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik pada UU No 20 Tahun 2003. Ironisnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN / Bappenas yang menyusun alokasi anggaran pendidikan tidak disebutkan dalam sistem pendidikan nasional. Dengan kata lain anggaran pendidikan Indonesia berada di luar Sistem Pendidikan Nasional.

Kondisi tersebut menunjukkan kalau Indonesia masih menerapkan Multi Sistem Pendidikan Nasional yang tentunya bertentangan dengan konstitusi. Seyogyanya, Sistem Pendidikan Nasional harus ditata ulang sesuai dengan amanat konstitusi yang diselenggarakan dalam satu sistem saja. Perlu sebuah langkah out of the box tanpa menggunakan kerangka yang sudah ada, misalnya dengan menggunakan sistem distrik sekolah. Distrik sekolah adalah lembaga pemerintah yang tugasnya khusus mengurusi sekolah dibuat berdasarkan wilayah tetapi berbeda dengan batas kota/kabupaten, dan manajemen lembaga ini terlepas dari komando pemerintah kota / kabupaten (bukan seperti dinas pendidikan). Orang-orang yang dipilih untuk mengelola lembaga ini adalah para profesional di bidang pendidikan sehingga bukan jabatan karir maupun politik.

Kedelapan, untuk meningkatkan mutu pendidikan, menurut saya, kita perlu menciptakan ekosistem pendidikan yang cerdas. Contohnya penyerapan anggaran bukan semata menjadi target pemerintah melainkan mutu yang harusnya menjadi target. Kita lihat dengan program KIP atau BOS, anggaran terserap tapi tidak ada evaluasi sampai saat ini. Pelayanan pendidikan harus dilakukan secara profesional, sehingga tidak ada lagi alasan server yang down untuk dapodik, ANBK, maupun UTBK. Informasi yang diberikan pun harus cepat dan akurat. Perlu didorong lebih banyaknya riset dari lembaga pendidikan untuk meningkat secara signifikan baik secara kuantitas maupun kualitas. Selanjutnya dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang cerdas dengan pengembangan profesi yang bermutu, kebijakan yang menstimulasi terbentuknya ekosistem tersebut seperti mencetak buku sangat murah (India), juga seperti Malaysia dan Singapura yang membebaskan pajak untuk impor peralatan pendidikan.

Intinya perlu pembaharuan sistem pendidikan nasional karena UU no.20 tahun 2003 ini sudah tidak up to date lagi karena secara nyata belum mampu mewujudkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan UU ini dibuat sebelum adanya konsep pembelajaran untuk menghadapi tantangan masyarakat 5.0 yang meliputi digitalisasi, metaverse, Internet of Things (IoT), kecerdasaan buatan (Artificial Intelligence), digital twins, pendidikan STEAM, dan lain sebagainya. Sistem pendidikan yang baru ini harus memiliki cetak biru (grand design) yang mumpuni sehingga tidak akan dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik baik di pusat maupun daerah.

Berita baiknya, revisi UU Sisdiknas sudah masuk kedalam prolegnas prioritas namun diprediksi tidak akan selesai pembahasan pada tahun 2024 apalagi rancangan yang dibuat pemerintah banyak mendapatkan penolakan dari berbagai pihak karena tidak adanya partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan dan sepertinya banyak hal yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu dibutuhkan orang-orang yang paham dan memiliki kepakaran dalam bidang pendidikan sebagai anggota legislatif agar permasalahan diatas dapat teratasi minimalnya melalui delapan solusi yang tertulis dalam esai ini. Penulis merasa terpanggil untuk terjun langsung secara aktif dalam memimpin proses legislasi sistem pendidikan nasional yang lebih baik demi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4262 seconds (0.1#10.140)