Membenahi Langkah dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
loading...
A
A
A
Mutu pendidikan yang rendah berdampak langsung dalam kehidupan masyarakat, seperti mudahnya percaya dengan kabar bohong tanpa menganalisanya lebih lanjut. Hal ini muncul pada kajian OECD di tahun 2021 yang menunjukkan bahwa anak Indonesia adalah kelompok yang paling tidak mampu membedakan antara fakta dengan opini karena tidak mampu mencari referensi yang kredibel. Mutu pendidikan yang rendah juga berdampak pada banyaknya siswa yang intoleran. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah menyebutkan sebanyak 43,88% mahasiswa dan pelajar. Padahal, menurut seorang wanita tuna netra sekaligus tuna rungu pertama yang memiliki gelar sarjana, Helen Keller, pencapaian tertinggi dari proses pendidikan adalah toleransi.
Rendahnya mutu pendidikan ini juga berakibat pada masalah ketenagakerjaan, contohnya banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), dulu dikenal dengan sekolah internasional atau sekolah nasional plus, yang memilih guru dari luar negeri dibandingkan guru lokal karena sulit menemukan yang memenuhi standar sekolah tersebut.
Kedua, memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.
Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, pasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah serahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung dan Universitas Udayana.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Logikanya, jika masuknya dengan cara 'nyogok' pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?
Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi. Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan Sistem Persekolahan Nasional.
Ketiga, belum terbukanya akses pendidikan. Meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan KIP Kuliah untuk perguruan tinggi, namun persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen pertahun dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Apa penyebabnya? Tak lain karena sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas, serta pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah diatas jumlah siswa usia sekolah.
Adanya KIP yang diluncurkan pada 2014, tidak terbukti meningkatkan APM. Untuk SD, kenaikan hanya 0,77 persen sejak 2014, SMP yakni 0,87 persen, dan SMA sederajat hanya 0,92 persen berdasarkan data BPS. KIP memang meningkatkan jumlah siswa yang bersekolah, tapi secara persentase hanya dibawah satu persen. Jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan anggarannya.
Sebaiknya pemerintah didorong untuk berkonsentrasi untuk memenuhi Wajib Belajar 9 tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain: membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100% biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana/prasarana pendidikan berasa dari pihak swasta; menjadikan sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa; membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil; dan lain sebagainya. Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat.
Keempat, tata kelola guru perlu perbaikan. Rasio guru dan murid kita lebih unggul dibandingkan negara lain. Untuk SD, rasio guru dan murid 1:14 atau dengan kata lain, satu guru mengajar 14 siswa. Untuk SMP dan SMA rasionya adalah 1:15, dan rasio guru dan murid untuk SMK lebih unggul lagi yakni 1:6. Rasio ini hanya kalah dibandingkan Jepang, tapi dibandingkan Singapura, Amerika Serikat, Tiongkok, Indonesia jauh lebih unggul. Sayangnya, rasio siswa dan guru berhubungan dengan biaya, namun tidak dengan hasil pembelajaran.
Rendahnya mutu pendidikan ini juga berakibat pada masalah ketenagakerjaan, contohnya banyak sekolah Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK), dulu dikenal dengan sekolah internasional atau sekolah nasional plus, yang memilih guru dari luar negeri dibandingkan guru lokal karena sulit menemukan yang memenuhi standar sekolah tersebut.
Perbaikan Mutu Pendidikan Indonesia
Untuk membenahi mutu pendidikan bukanlah hal yang bisa dilakukan sekejab mata. Dalam tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah. Pertama, perlu adanya evaluasi terhadap anggaran pendidikan. Total anggaran yang sudah digelontorkan untuk bidang pendidikan sejak 2014 hingga 2024 saja sudah mencapai Rp4.960,77 triliun. Sangat besar anggarannya tapi pengelolaannya berbeda dengan anggaran yang digunakan untuk infrastruktur, di mana telah dievaluasi oleh berbagai pihak. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani kerap kali mengatakan bahwa penggunaan anggaran pendidikan belum optimal. Pemerintah Daerah sendiri dibiarkan untuk melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 4 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 49 dimana mereka wajib untuk mengalokasikan minimal 20% dari APBD diluar gaji pendidik , data diambil dari Neraca Pendidikan Daerah (https://npd.kemdikbud.go.id)Kedua, memperluas konsep pendidikan yang tidak sebatas persekolahan saja. Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan kita mengatakan bahwa ekosistem pendidikan yang ideal itu harus terdiri dari tiga (3) sentra: rumah; sekolah; masyarakat.
Harus diakui bahwa selama ini rumah-rumah orang Indonesia belum dijadikan sebagai sentra pendidikan bahkan para orang tua banyak sekali yang memiliki konsep alih daya (outsourcing) karena kurangnya kepercayaan diri dalam mendidik buah hatinya. Anak dikirimkan ke pesantren atau asrama, pasrahkan urusan pendidikan kepada sekolah, pulang sekolah serahkan ke guru les/bimbingan belajar, semua berujung ke skor/angka di sekolah bahkan sampai menghalalkan segala cara seperti kasus yang baru saja terungkap di Universitas Lampung dan Universitas Udayana.
Kasus yang serupa bahkan terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak orang tua akan menghalalkan segala cara agar anaknya diterima di lembaga pendidikan tertentu. Ini yang sangat bertentangan dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri. Alih-alih mendidik agar anak berintegritas, jujur, bekerja keras, beretika, yang muncul justru bagaimana menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Logikanya, jika masuknya dengan cara 'nyogok' pasti lulusnya juga dengan cara yang sama. Apakah ini yang akan kita siapkan sebagai generasi penerus bangsa? Apakah ini yang kita impikan sebagai Indonesia Emas?
Dengan demikian, pendidikan di rumah dan di masyarakat harusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan pendidikan di sekolah. Dua hal ini adalah yang belum terlaksana dengan baik dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlaku saat ini dan tampaknya dalam draf RUU Sisdiknas yang baru juga belum terakomodasi. Harus kita pahami bersama yang disusun adalan Sistem Pendidikan Nasional bukan Sistem Persekolahan Nasional.
Ketiga, belum terbukanya akses pendidikan. Meskipun ada Kartu Indonesia Pintar (KIP), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahkan KIP Kuliah untuk perguruan tinggi, namun persentase peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) kurang dari satu persen pertahun dalam kurun waktu delapan tahun terakhir. Apa penyebabnya? Tak lain karena sekolah negeri didominasi siswa dari golongan ekonomi atas, serta pembangunan unit sekolah belum berdasarkan data. Banyak daerah yang daya tampung sekolah diatas jumlah siswa usia sekolah.
Adanya KIP yang diluncurkan pada 2014, tidak terbukti meningkatkan APM. Untuk SD, kenaikan hanya 0,77 persen sejak 2014, SMP yakni 0,87 persen, dan SMA sederajat hanya 0,92 persen berdasarkan data BPS. KIP memang meningkatkan jumlah siswa yang bersekolah, tapi secara persentase hanya dibawah satu persen. Jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan anggarannya.
Sebaiknya pemerintah didorong untuk berkonsentrasi untuk memenuhi Wajib Belajar 9 tahun dengan langkah-langkah yang kreatif dan inovatif. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain: membuka sekolah piagam (charter school) yaitu sekolah yang 100% biayanya dari pemerintah tetapi penyelenggara dan sarana/prasarana pendidikan berasa dari pihak swasta; menjadikan sekolah negeri menjadi sekolah negara yang statusnya sebagai satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga pembiayaan sesuai dengan kebutuhan bukan berdasarkan jumlah siswa; membangun sekolah-sekolah berasrama untuk peserta didik yang berada di daerah terpencil; dan lain sebagainya. Jika ada perubahan nyata, maka Angka Partisipasi Murni (APM) akan meningkat.
Keempat, tata kelola guru perlu perbaikan. Rasio guru dan murid kita lebih unggul dibandingkan negara lain. Untuk SD, rasio guru dan murid 1:14 atau dengan kata lain, satu guru mengajar 14 siswa. Untuk SMP dan SMA rasionya adalah 1:15, dan rasio guru dan murid untuk SMK lebih unggul lagi yakni 1:6. Rasio ini hanya kalah dibandingkan Jepang, tapi dibandingkan Singapura, Amerika Serikat, Tiongkok, Indonesia jauh lebih unggul. Sayangnya, rasio siswa dan guru berhubungan dengan biaya, namun tidak dengan hasil pembelajaran.