Prudent, Optimistis, Fokus

Senin, 10 Desember 2018 - 07:45 WIB
Prudent, Optimistis, Fokus
Prudent, Optimistis, Fokus
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

BANYAK berita menggembirakan beberapa minggu terakhir ini mengenai kinerja perekonomian nasional. Di antaranya kurs rupiah yang kian kuat, target pajak yang terlampaui, inflasi yang terkendali, serta pertumbuhan kredit yang tampak menggairahkan.

Tentu sederet informasi tersebut akan menjadi penutup tahun yang melegakan mengingat kondisi perekonomian dunia masih diliputi ketidakpastian. Perlahan tapi pasti nilai tukar rupiah terus menguat dalam sebulan terakhir.

Jika di awal November kurs kita masih berada di titik Rp15.195 per dolar AS (USD), pekan kemarin sudah menguat di angka Rp14.539 per USD berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor). Menurut Bank Indonesia (BI), faktor penyebab kuatnya rupiah adalah kepercayaan investor terhadap perekonomian kita yang kian tinggi. Hal ini didukung dengan mengendurnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).

Strategi BI untuk melakukan hedging melalui kebijakan Domestic Non-Deliverable Forwards (DNDF) terbukti cukup kuat mengerek kepercayaan para investor, khususnya bagi mereka yang doyan bertransaksi dengan mata uang negara lain. Skema hedging akan membuat nilai transaksi menjadi lebih stabil karena ada “jeda” untuk mengendalikan dinamika harga pasar keuangan global.

Sementara itu sentimen perekonomian internasional akhir-akhir ini tampaknya mulai sedikit tenang setelah terjadi dialog antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Pertemuan dua pesohor tersebut membuahkan hasil positif dengan keputusan Trump untuk menunda kenaikan tarif impor produk China ke AS dari 10% menjadi 25%. Proyeksi positif dari investor internasional juga mulai bertumbuhan.

Adapun sentimen negatif terhadap dolar AS masih berlanjut karena The Fed (Bank Sentral AS) lebih memilih dovish (wait and see untuk meningkatkan suku bunga). Yield obligasi AS tampak sedang terjebak inversi karena hasil beberapa kebijakan meleset dari ekspektasi pasar. Risiko jangka pendek cenderung meningkat di mata para investornya.

Sebaliknya BI malah berani melakukan hawkish (menaikkan suku bunga lebih cepat daripada ekspektasi) sebulan yang lalu dengan kembali meningkatkan suku bunga untuk keenam kalinya sepanjang tahun berjalan. Skema DNDF turut menyokong penguatan rupiah yang dalam sepekan kemarin level kenaikannya menjadi yang terbaik kedua di Asia-Pasifik.

Tren kenaikan cadangan devisa juga masih berlanjut dalam dua bulan terakhir setelah sebelumnya (Januari–September 2018) BI terus mengobralnya demi mempertahankan wibawa rupiah terhadap dolar AS. Cadangan devisa kita tercatat berada pada angka USD117,2 miliar setelah November kemarin meningkat USD2 miliar.

Selain berkat apresiasi terhadap rupiah yang menguat 6% selama November, devisa kita juga diselamatkan harga minyak dunia yang anjlok hingga 22% (point to point). Setidaknya penurunan harga minyak tersebut membuat kita tidak terlalu terbebani dengan agregat defisit perdagangan yang nilai mayoritasnya disebabkan defisit perdagangan minyak dan gas (migas). Jadi BI hanya menggunakan sedikit cadangan devisa untuk menstabilkan rupiah.

Untuk sementara waktu, situasi yang ada bisa membuat kita sedikit tersenyum manis menjelang akhir 2018. Proporsi kepemilikan asing dalam Surat Berharga Negara (SBN) per 3 Desember 2018 kemarin melambung tinggi hingga Rp899,94 triliun, setara dengan 37,92% dari total yang sudah beredar sebesar Rp2.372,95 triliun.

Secara nominal memang masih lebih tinggi dari rekor 29 Januari 2018 yang menembus Rp873,81 triliun. Namun jika kita bandingkan dengan akhir November 2018 kemarin, sudah tampak ada penurunan karena pada waktu itu sempat mencapai Rp900,59 triliun.

Tentu, harapan kita semua kondisi ini bisa kita pertahankan (stabilitasnya) atau bahkan kalau perlu terus ditingkatkan. Walaupun demikian kita masih perlu berhati-hati karena perbaikan yang ada bisa jadi lebih banyak didorong sentimen negatif terhadap perekonomian AS ketimbang daya tarik perekonomian kita sendiri.

Hal itu semakin memperkuat indikasi bahwa investasi SBN masih tergolong hot money yang rentan terhadap isu global dan domestik. Bahkan isu penangkapan salah satu petinggi perusahaan Huawei pun sudah mampu menggoyang ketahanan mata uang kita.

Indonesia memang tidak sendirian menghadapi tren investor global yang makin kentara kecenderungan profit oriented-nya. Kontraksi perekonomian di AS berimbas banyak pada pilihan kebijakan investor global.

Pasar SBN di beberapa negara berkembang seperti Malaysia, Rusia, Filipina, India, dan Afrika Selatan sedang senasib seperjuangan dengan Indonesia. Adapun nasib China, Brasil, Singapura, dan Thailand masih lebih baik karena pasar SBN mereka sedang menguat. Sementara di beberapa negara maju hanya pasar gilts Inggris dan US Treasury di AS yang menguat, sedangkan di pasar bund Jerman, Prancis, dan Jepang langkahnya justru sedang tertahan.

Beberapa pemodal internasional sudah mengindikasikan mulai beralih dari pasar SBN menuju instrumen perdagangan emas yang dinilai lebih aman. Oleh karena itu investasi asing masih perlu tetap diwaspadai agar kita tidak terjebak pada angka-angka semu nan rapuh.

Langkah lain yang sebetulnya lebih penting adalah menyiapkan strategi agar investasi asing bisa bertahan lebih lama dan dapat memperkuat investasi domestik. Kebijakan pemerintah bersama BI dengan melakukan berbagai deregulasi dan insentif penguatan investasi lainnya seharusnya mulai tampak hasilnya.

Kalau masih begini-begini saja, skema yang ada menuntut pembenahan ulang. Transformasi perekonomian kita sendiri masih berjalan di tempat. Indikasinya bisa kita lihat berdasarkan defisit neraca transaksi berjalan yang tergolong masih tinggi.

Secara kumulatif, defisit transaksi berjalan kita sudah mencapai 2,86% dari produk domestik bruto (PDB). Penyebabnya karena defisit transaksi perdagangan yang kinerjanya belum sejalan dengan kepentingan ekonomi nasional. Untuk menghadirkan pertumbuhan ekonomi yang cepat, sehat, dan kuat, kita masih disandera dengan ketergantungan impor karena sebagian bahan produksi kita datangnya dari luar negeri.

Dalam situasi yang gundah gulana seperti ini, kita patut bersyukur karena masih bisa mendengar kabar gembira dari Lapangan Banteng (Markas Kemenkeu). Tahun ini penerimaan pajak kita berpeluang melampaui target, bahkan dengan tingkat capaian yang fantastis.

Laporan Menteri Keuangan mengatakan bahwa realisasi pendapatan negara dan hibah hingga akhir November 2018 mencapai Rp1.654,5 triliun atau setara dengan 87,3% dari target APBN 2018 sebesar Rp1.894,7 triliun. Perolehan ini meningkat 18,2% dari periode yang sama di tahun sebelumnya yang terealisasi sebesar Rp1.399,8 triliun.

Di sisi lain belanja negara sudah terealisasi sebesar Rp1.942,4 triliun atau setara 87,5% dari pagu APBN 2018. Adapun tingkat penyerapannya tumbuh 11% secara year on year (yoy). Neraca defisit fiskal kita hingga November 2018 masih bisa ditahan pada angka 1,95% berkat tingkat penerimaan yang sejauh ini kinerjanya sangat menggairahkan.

Penerimaan perpajakan berada pada situasi yang kondusif di angka Rp1.301,4 triliun atau setara dengan 80,4% dari target APBN. Capaian ini tumbuh 17,8% dari periode tahun lalu. Hasil pajak juga masih bertahan sebagai penopang utama pendapatan negara dengan kontribusi sementara mencapai 78,66% dari total pendapatan negara.

Adapun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga tengah mengalami eskalasi sebesar 28,4%. Tingkat capaiannya juga tidak main-main dengan perolehan Rp342,5 triliun atau terealisasi 124,4% dari target APBN. Faktor pendukungnya adalah kenaikan pendapatan SDA yang sudah terealisasi 1,5 kali lipat dari target serta tingkat pertumbuhannya mencapai 60,4%.

Realisasi hibah juga mampu melampaui ekspektasi, yakni sebesar Rp10,6 triliun dari target Rp1,2 triliun. Tingkat pertumbuhannya mencapai 166,2%.

Terlepas dari apa pun alasan di balik peningkatan target yang terbilang fantastis tersebut, kita perlu mengapresiasi kinerja Menkeu beserta jajarannya. Apalagi tahun ini juga tergolong masa-masa sulit seiring dengan kondisi perekonomian yang lesu dan pergulatan politik di tingkat lokal dan nasional.

Namun pasukan Kemenkeu tetap berjuang tiada henti mengejar target yang dibebankan. Optimisme masih bisa mengalir karena biasanya akhir tahun akan menghadirkan banyak kejutan.

Menkeu memproyeksikan, setidaknya di pengujung Desember akan ada tambahan PPh Migas sekitar Rp110,6 triliun. Selain itu ada pula potensi peningkatan Rp80,8 triliun dari PPN dan Rp3,5 triliun dari pajak perdagangan internasional. Pos penerimaan cukai juga diperkirakan masih bisa meningkat hingga Rp32,8 triliun.

Sementara itu neraca PPh nonmigas dan PNBP masih berpotensi terus bergerak. Berdasarkan hitung-hitungan Menkeu, kalau tren pertumbuhan sebesar 18,2% (yoy) bisa dijaga, penerimaan kita justru bisa surplus Rp41,3 triliun dari target APBN 2018.

Kita berharap, realisasi pajak sementara ini merupakan buah dari perbaikan administrasi pajak, kualitas SDM, serta utamanya terlahir dari kesadaran para fiskus pada tanggung jawabnya sebagai warga negara. Jadi ada campur tangan secara struktural agar performa gemilang ini bisa terus berkesinambungan.

Dari pelajaran itu tergambarkan bahwa kita masih perlu optimistis dalam melihat perekonomian kita di masa mendatang. Hambatan selalu ada, tetapi sekali lagi optimisme harus selalu muncul dalam dada dan bersemangat untuk terus mengejar kehidupan yang lebih baik.

Optimisme ini juga perlu diimbangi dengan niat kita semua untuk berbuat yang terbaik dengan apa yang kita miliki. Dalam arti yang lebih luas, partisipasi dan demokrasi dalam proses pembangunan perlu terus dilakukan dan pemerintah juga perlu memberikan fasilitas serta solusi jika di dalam proses partisipasi ada tumpang tindih dan konflik.

Hal lain yang perlu dikerjakan dalam satu tahun ke depan adalah fokus pada penyelesaian problematika yang sering kali muncul pada 2018. Dana desa dan dana kelurahan yang masih menyisakan banyak diskursus pro-kontra perlu diupayakan proses alokasi dan utilisasinya agar dapat dikelola seefisien mungkin, dikurangi tumpang tindihnya, serta dipertegas kewenangan antartingkatan pemerintahannya.

Fokus lain tentu perbaikan ekspor dan industri nasional dalam penguatan transformasi ekonomi domestik. Sektor yang menjanjikan seperti pariwisata perlu didekati secara holistis dan terintergrasi.

Jangan sampai sama-sama ingin mengembangkan pariwisata ternyata malah saling mereduksi dan konkuren. Untuk itu pemerintah perlu meningkatkan fokusnya pada pengembangan dan penguatan kerja sama (integrasi) antardaerah dan antarsektor yang sedang bekerja.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2360 seconds (0.1#10.140)