Tim Hukum Ganjar-Mahfud Sebut MK Paling Berwenang Diskualifikasi Paslon
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Deputi Hukum Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 3, Ganjar-Mahfud , Todung Mulya Lubis mengatakan, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) paling berwenang mendiskualifikasi paslon.
Awalnya Todung menjelaskan, ada fakta-fakta hukum yang disepakati bersama oleh Pemohon, Termohon, dan Bawaslu dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Todung mengatakan, ada empat fakta persidangan yang mencolok. Pertama, adanya pelanggaran etika di sepanjang perhelatan Pilpres 2024.
"Kedua, telah terjadi nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo, meski Pihak Terkait mencoba menyangkal beberapa di antaranya," katanya melalui keterangan resminya, Selasa (16/4/2024).
Ketiga, kata Todung, telah terjadi abuse of power terkoordinasi di semua lini pemerintahan. Keempat, telah terjadi berbagai pelanggaran prosedur pemilihan umum selama periode Pilpres 2024, baik sebelum, pada saat dan setelah Hari Pemungutan Suara yang terjadi di SIREKAP.
"Adalah hal yang tak terbantahkan bahwa PIlpres 2024 diselenggarakan atas dasar pelanggaran etika berat yang bermula dari Putusan MKRI No. 90/PUU-XXI/2023 dan dilanjutnya dengan penerimaan Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024," katanya.
Berdasarkan fakta persidangan, kata Todung, ada tiga kewenangan MK yang dapat diambil dalam putusan berdasarkan bukti-bukti di persidangan PHPU.
"Pertama, MK berwenang untuk menerapkan diskualifikasi kepada Pihak Terkait. Kedua, MK berwenang untuk memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Indonesia atas dasar pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)," katanya.
Ketiga, kata Todung, MKRI berwenang untuk memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Indonesia atas dasar pelanggaran prosedur pemilihan umum.
"Dengan pelanggaran Pilpres 2024 yang terbukti di persidangan, maka MK berwenang untuk menerapkan diskualifikasi dan/atau pemungutan suara ulang sebagai konsekuensi dari adanya pelanggaran TSM dan/atau pelanggaran prosedur yang menguntungkan paslon tertentu," katanya.
Awalnya Todung menjelaskan, ada fakta-fakta hukum yang disepakati bersama oleh Pemohon, Termohon, dan Bawaslu dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Todung mengatakan, ada empat fakta persidangan yang mencolok. Pertama, adanya pelanggaran etika di sepanjang perhelatan Pilpres 2024.
"Kedua, telah terjadi nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo, meski Pihak Terkait mencoba menyangkal beberapa di antaranya," katanya melalui keterangan resminya, Selasa (16/4/2024).
Ketiga, kata Todung, telah terjadi abuse of power terkoordinasi di semua lini pemerintahan. Keempat, telah terjadi berbagai pelanggaran prosedur pemilihan umum selama periode Pilpres 2024, baik sebelum, pada saat dan setelah Hari Pemungutan Suara yang terjadi di SIREKAP.
"Adalah hal yang tak terbantahkan bahwa PIlpres 2024 diselenggarakan atas dasar pelanggaran etika berat yang bermula dari Putusan MKRI No. 90/PUU-XXI/2023 dan dilanjutnya dengan penerimaan Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024," katanya.
Berdasarkan fakta persidangan, kata Todung, ada tiga kewenangan MK yang dapat diambil dalam putusan berdasarkan bukti-bukti di persidangan PHPU.
"Pertama, MK berwenang untuk menerapkan diskualifikasi kepada Pihak Terkait. Kedua, MK berwenang untuk memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Indonesia atas dasar pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)," katanya.
Ketiga, kata Todung, MKRI berwenang untuk memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Indonesia atas dasar pelanggaran prosedur pemilihan umum.
"Dengan pelanggaran Pilpres 2024 yang terbukti di persidangan, maka MK berwenang untuk menerapkan diskualifikasi dan/atau pemungutan suara ulang sebagai konsekuensi dari adanya pelanggaran TSM dan/atau pelanggaran prosedur yang menguntungkan paslon tertentu," katanya.
(maf)