Nasionalisme Muhammadiyah
A
A
A
Abdul Mu’ti
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
PADA 8 November 2018, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk Mr Kasman Singodimedjo atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara Indonesia. Mr Kasman adalah tokoh Muhammadiyah yang sangat berperan dalam pembentukan negara Indonesia; dasar negara Pancasila, UUD 1945, KNIP (DPR/MPR), BKR (TNI), jaksa agung, politik modern, dan perguruan tinggi Islam.
Selain Mr Kasman, beberapa tokoh Muhammadiyah juga mendapatkan gelar pahlawan. Di antara mereka adalah KH Ahmad Dahlan, Nyai Walidah, Kiai Fachruddin, KH Mas Mansur, Buya Hamka, Ir Juanda, Ki Bagus Hadikusumo, Ir Soekarno, dan Fatmawati. Sederet nama-nama pahlawan nasional tersebut membuktikan peran kesejarahan dan nasionalisme Muhammadiyah.
Melalui para tokoh dan gerakannya, Muhammadiyah meletakkan dasar-dasar kenegaraan dan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, Prof Abdul Kahar Mudzakir, dan Ir Soekarno adalah tokoh penting yang merumuskan Pancasila seperti yang kita miliki sekarang. Demi persatuan dan kemerdekaan Indonesia, Mr Kasman Singodimedjo berjasa melobi Ki Bagus Hadikusumo untuk menyetujui dihapuskannya frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan sila pertama sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Beberapa ahli sejarah menyebutkan Ir Soekarno menyetujui rumusan dasar negara versi Piagam Jakarta. Demikian halnya dengan AA Maramis, tokoh Nasrani yang turut merumuskan dasar negara. Seandainya para tokoh muslim bersikukuh mempertahankan kepentingan kelompok karena jumlahnya yang mayoritas, mereka bisa tetap mempertahankan Piagam Jakarta. Dengan jiwa dan semangat nasionalisme, para tokoh muslim menghadiahkan Pancasila untuk Indonesia. Alamsyah pernah menyebut Pancasila sebagai hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia.
Yang tidak kalah besarnya adalah jasa Ir Juanda. Lewat perjuangan dan diplomasi politik, Ir Juanda adalah tokoh kunci di balik pengakuan internasional atas Indonesia sebagai negara kepulauan. Dengan pengakuan internasional tersebut Indonesia dapat menjaga kedaulatan wilayah, terutama laut. Juanda adalah kader Muhammadiyah yang memilih kembali menjadi guru setelah meninggalkan gelanggang politik.
Darul Ahdi wa Syahadah
Dalam Muktamar Makassar 2015, Muhammadiyah membuat sebuah keputusan politik yang sangat besar. Muhammadiyah membuktikan nasionalismenya dengan menegaskan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah (DAWS).
Penegasan Muhammadiyah tentang DAWS mengundang tiga makna. Pertama, dasar teologis yang mengokohkan penerimaan dan dukungan Muhammadiyah atas Pancasila. Muhammadiyah berpendapat Negara Pancasila merupakan bentuk ideal bagi Indonesia. Walaupun bukan bersumberkan pada agama, sila dan nilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Pancasila adalah dasar negara yang Islami.
Kedua, Indonesia adalah Darul Ahdi. Indonesia adalah buah dari kesepakatan luhur (gentlemen agreement) para pendiri. Muhammadiyah berkomitmen mendukung kedaulatan NKRI. Muhammadiyah tidak hendak mendirikan negara Islam, melainkan membangun masyarakat Islam.
Ketiga, Indonesia sebagai Dar al-Syahadah. Muhammadiyah ingin berperan memberikan yang terbaik bagi Indonesia. Lebih dari itu Muhammadiyah ingin menjadikan dirinya sebagai contoh dan model dengan mengembangkan pusat-pusat keunggulan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Nasionalisme Muhammadiyah dibuktikan melalui pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.
Dalam bidang hukum, Muhammadiyah menunjukkan sikap nasionalisme melalui tiga bentuk. Pertama, mematuhi hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Muhammadiyah mendukung Indonesia sebagai negara hukum dan supremasi hukum sebagai pranata sosial untuk menjamin keadilan dan keamanan. Karena itu Muhammadiyah menghindari dan menentang tindakan main hakim sendiri, para militer, dan berbagai praktik hukum rimba.
Kedua, menegakkan kedaulatan negara melalui judicial review perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945. Muhammadiyah menggugat Undang-Undang Migas dan Undang-Undang Sumber Daya Air yang dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sayang sekali pemerintah belum memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pembuatan UU baru sebagai pengganti UU Migas dan UU Sumber Daya Air.
Ketiga, Muhammadiyah membuktikan nasionalisme dengan memperkuat integrasi sosial. Muhammadiyah berkomitmen membina persatuan dengan memelihara kemajemukan dan keberagaman budaya dan agama. Organisasi dan amal usaha merupakan meeting point dan melting point bagi berbagai suku, etnis, bahkan agama. Siswa Nasrani yang belajar di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah mendapatkan pendidikan agama Kristen oleh guru agama Kristen.
Bagi Muhammadiyah, nasionalisme dibuktikan dengan cinta Tanah Air, sikap tolong-menolong, mencintai sesama, melestarikan alam, dan sebagainya. Taawun untuk negeri yang menjadi tema Milad Muhammadiyah ke-106 ini adalah cara lain bagaimana Muhammadiyah membuktikan sikap nasionalisme Indonesia.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
PADA 8 November 2018, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk Mr Kasman Singodimedjo atas jasa-jasanya bagi bangsa dan negara Indonesia. Mr Kasman adalah tokoh Muhammadiyah yang sangat berperan dalam pembentukan negara Indonesia; dasar negara Pancasila, UUD 1945, KNIP (DPR/MPR), BKR (TNI), jaksa agung, politik modern, dan perguruan tinggi Islam.
Selain Mr Kasman, beberapa tokoh Muhammadiyah juga mendapatkan gelar pahlawan. Di antara mereka adalah KH Ahmad Dahlan, Nyai Walidah, Kiai Fachruddin, KH Mas Mansur, Buya Hamka, Ir Juanda, Ki Bagus Hadikusumo, Ir Soekarno, dan Fatmawati. Sederet nama-nama pahlawan nasional tersebut membuktikan peran kesejarahan dan nasionalisme Muhammadiyah.
Melalui para tokoh dan gerakannya, Muhammadiyah meletakkan dasar-dasar kenegaraan dan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, Prof Abdul Kahar Mudzakir, dan Ir Soekarno adalah tokoh penting yang merumuskan Pancasila seperti yang kita miliki sekarang. Demi persatuan dan kemerdekaan Indonesia, Mr Kasman Singodimedjo berjasa melobi Ki Bagus Hadikusumo untuk menyetujui dihapuskannya frasa “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rumusan sila pertama sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Beberapa ahli sejarah menyebutkan Ir Soekarno menyetujui rumusan dasar negara versi Piagam Jakarta. Demikian halnya dengan AA Maramis, tokoh Nasrani yang turut merumuskan dasar negara. Seandainya para tokoh muslim bersikukuh mempertahankan kepentingan kelompok karena jumlahnya yang mayoritas, mereka bisa tetap mempertahankan Piagam Jakarta. Dengan jiwa dan semangat nasionalisme, para tokoh muslim menghadiahkan Pancasila untuk Indonesia. Alamsyah pernah menyebut Pancasila sebagai hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia.
Yang tidak kalah besarnya adalah jasa Ir Juanda. Lewat perjuangan dan diplomasi politik, Ir Juanda adalah tokoh kunci di balik pengakuan internasional atas Indonesia sebagai negara kepulauan. Dengan pengakuan internasional tersebut Indonesia dapat menjaga kedaulatan wilayah, terutama laut. Juanda adalah kader Muhammadiyah yang memilih kembali menjadi guru setelah meninggalkan gelanggang politik.
Darul Ahdi wa Syahadah
Dalam Muktamar Makassar 2015, Muhammadiyah membuat sebuah keputusan politik yang sangat besar. Muhammadiyah membuktikan nasionalismenya dengan menegaskan Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah (DAWS).
Penegasan Muhammadiyah tentang DAWS mengundang tiga makna. Pertama, dasar teologis yang mengokohkan penerimaan dan dukungan Muhammadiyah atas Pancasila. Muhammadiyah berpendapat Negara Pancasila merupakan bentuk ideal bagi Indonesia. Walaupun bukan bersumberkan pada agama, sila dan nilai Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Pancasila adalah dasar negara yang Islami.
Kedua, Indonesia adalah Darul Ahdi. Indonesia adalah buah dari kesepakatan luhur (gentlemen agreement) para pendiri. Muhammadiyah berkomitmen mendukung kedaulatan NKRI. Muhammadiyah tidak hendak mendirikan negara Islam, melainkan membangun masyarakat Islam.
Ketiga, Indonesia sebagai Dar al-Syahadah. Muhammadiyah ingin berperan memberikan yang terbaik bagi Indonesia. Lebih dari itu Muhammadiyah ingin menjadikan dirinya sebagai contoh dan model dengan mengembangkan pusat-pusat keunggulan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Nasionalisme Muhammadiyah dibuktikan melalui pelayanan sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.
Dalam bidang hukum, Muhammadiyah menunjukkan sikap nasionalisme melalui tiga bentuk. Pertama, mematuhi hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Muhammadiyah mendukung Indonesia sebagai negara hukum dan supremasi hukum sebagai pranata sosial untuk menjamin keadilan dan keamanan. Karena itu Muhammadiyah menghindari dan menentang tindakan main hakim sendiri, para militer, dan berbagai praktik hukum rimba.
Kedua, menegakkan kedaulatan negara melalui judicial review perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945. Muhammadiyah menggugat Undang-Undang Migas dan Undang-Undang Sumber Daya Air yang dinilai bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Sayang sekali pemerintah belum memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pembuatan UU baru sebagai pengganti UU Migas dan UU Sumber Daya Air.
Ketiga, Muhammadiyah membuktikan nasionalisme dengan memperkuat integrasi sosial. Muhammadiyah berkomitmen membina persatuan dengan memelihara kemajemukan dan keberagaman budaya dan agama. Organisasi dan amal usaha merupakan meeting point dan melting point bagi berbagai suku, etnis, bahkan agama. Siswa Nasrani yang belajar di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah mendapatkan pendidikan agama Kristen oleh guru agama Kristen.
Bagi Muhammadiyah, nasionalisme dibuktikan dengan cinta Tanah Air, sikap tolong-menolong, mencintai sesama, melestarikan alam, dan sebagainya. Taawun untuk negeri yang menjadi tema Milad Muhammadiyah ke-106 ini adalah cara lain bagaimana Muhammadiyah membuktikan sikap nasionalisme Indonesia.
(kri)