Oposisi dalam Demokrasi Pancasila
loading...
A
A
A
Oposisi sebagai bentuk checks and balances terhadap Kedaulatan Rakyat
Robert A Dahl menegaskan bahwa fungsi utama oposisi di Parlemen bukan sekadar mendorong perdebatan di Parlemen melainkan berfungsi untuk mempengaruhi publik. Dalam konteks politik, khususnya dalam kehidupan demokrasi, terdapat beberapa fungsi utama oposisi. Pertama, sebagai penyeimbang kekuasaan. Makna penyeimbang secara substansi dapat berarti adanya kekuatan di luar pemerintah yang memberikan alternatif pikiran atau sikap dan menyebabkan keseimbangan agar pemerintah tidak terlalu jauh dari kepentingan mayoritas rakyat. Makna utama penyeimbang ini mengingat ada kalanya pemerintah yang terpilih secara demokratis akhirnya jatuh menjadi pemerintahan yang melawan kehendak rakyat.
Kedua, arti penting oposisi adalah menjaga agar alternatif kebijakan dapat disuarakan. Oposisi akan memungkinkan munculnya lebih banyak pilihan kebijakan atau alternatif penyempurnaan atas kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa tidak ada satupun pemerintahan yang tak luput dari kesalahan. Ketiga, arti penting oposisi lainnya adalah sebagai stimulus persaingan yang sehat di antara para elite politik dan pemerintahan. Sebuah pemerintahan akan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran, bila tidak mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang kompeten dan mampu menunjukkan kepada masyarakat tentang adanya kebijakan-kebijakan lain yang lebih masuk akal ketimbang kebijakan pemerintah.
Adanya oposisi akan membuat pemerintah yang berkuasa “terjaga” dan menyadari ada pihak lain yang bisa saja memberikan tawaran kebijakan yang lebih baik dan pada gilirannya berpotensi “mengganggu” citra positif pemerintah di mata masyarakat. Oposisi, oleh karena itu, diperlukan pemerintah sebagai stimulus untuk meningkatkan kinerja dan mempertahankan citra baiknya di mata masyarakat. Dalam situasi ini, muncullah situasi kompetisi yang sehat antara pemerintah dan oposisi menuju perbaikan demi perbaikan. Sebagai contoh, kerasnya oposisi pada Parlemen Inggris yang akhirnya bersama-sama pemerintah bersatu dalam menghadapi Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Oleh karena itu, jelas bahwa penguatan oposisi terkait dengan upaya menegakkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan rakyat dan untuk menghindari terjadinya oligarki. Oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda, melainkan sebuah eksistensi yang memberikan kritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan. Oposisi yang sehat, sebagaimana yang diyakini Dahl lebih dari empat dekade lalu adalah bagian dan sekaligus cerminan keberadaan demokrasi yang kokoh.
Pemerintah, Oposisi dan Haluan Negara
Jika pemerintah dan oposisi bersinergi akan menghasilkan demokrasi yang kokoh, tetapi bagaimana jalan untuk mencapainya tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945?. Sebagaimana diketahui, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terpatri cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara yaitu “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Untuk mencapai ini semua diperlukan sebuah landasan perencanaan pembangunan nasional, atau yang dikenal sebagai haluan negara yang merupakan guidelines yang akan membawa dan menuntun negara untuk menuju tujuan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Pasal-pasal dalam UUD 1945 tidaklah cukup memadai guna menindaklanjuti nilai-nilai Pancasila, untuk itu perlu ada instrumen yang lebih directive guna menjamin tercapainya tujuan bernegara. Sejarah mencatat keberadaan Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami pasang surut baik secara substansi maupun secara politis. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, peran Haluan Negara menjadi sangat vital sebagai pedoman pembangunan negara, yang diwujudkan secara formal melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Reformasi eksistensi Haluan Negara ini menjadi hilang seiring dengan amandemen UUD 1945.
Dalam perkembangan dua dekade terakhir setelah terjadi amandemen UUD 1945, Indonesia menghadapi beberapa perkembangan ketatanegaraan yang bersifat menguji persepsi dan konseptual para perumus amandemen UUD 1945 dalam konteks kekinian. Salah satu hal paling mengemuka adalah melakukan reformulasi Haluan Negara. Rupanya, keinginan tersebut mendasarkan pada evaluasi sistem pembangunan nasional pasca amandemen UUD 1945 yang tidak sistematis dan komprehensif. Pembangunan era Reformasi lebih sekadar mengejawantahkan visi-misi Presiden terpilih tanpa ada perencanaan dan kelanjutan jangka panjang. Hal ini menimbulkan tantangan untuk kembali mewujudkan Haluan Negara yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana yang diwasiatkan oleh para pendiri bangsa.
Para pendiri bangsa menginginkan haluan negara sebagai penciptaan visi bangsa yang dinamis, sehingga daripada mengubah konstitusi setiap saat, lebih baik menciptakan suatu dokumen negara yaitu haluan negara. Soepomo dalam pidato laporan Panitia Kecil (Panitia Sembilan) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 15 Juli 1945 menegaskan hal tersebut yang dapat disimpulkan bahwa haluan negara mempunyai makna dan kedudukan, pertama; sebagai acuan bagi penyelenggaran negara, dalam hal ini Presiden, untuk melaksanakan perencanaan maupun pembangunan nasional yang merupakan wujud dari kehendak seluruh rakyat Indonesia, demi mencapai suatu cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945; kedua, sebagai elaborasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam UUD 1945. Disitulah letak norma haluan negara, karena Pembukaan UUD 1945 mengandung konsepsi tentang jiwa bangsa (volksgeist), yang keberadaannya sudah dirintis jauh sebelum Indonesia merdeka.
Robert A Dahl menegaskan bahwa fungsi utama oposisi di Parlemen bukan sekadar mendorong perdebatan di Parlemen melainkan berfungsi untuk mempengaruhi publik. Dalam konteks politik, khususnya dalam kehidupan demokrasi, terdapat beberapa fungsi utama oposisi. Pertama, sebagai penyeimbang kekuasaan. Makna penyeimbang secara substansi dapat berarti adanya kekuatan di luar pemerintah yang memberikan alternatif pikiran atau sikap dan menyebabkan keseimbangan agar pemerintah tidak terlalu jauh dari kepentingan mayoritas rakyat. Makna utama penyeimbang ini mengingat ada kalanya pemerintah yang terpilih secara demokratis akhirnya jatuh menjadi pemerintahan yang melawan kehendak rakyat.
Kedua, arti penting oposisi adalah menjaga agar alternatif kebijakan dapat disuarakan. Oposisi akan memungkinkan munculnya lebih banyak pilihan kebijakan atau alternatif penyempurnaan atas kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa tidak ada satupun pemerintahan yang tak luput dari kesalahan. Ketiga, arti penting oposisi lainnya adalah sebagai stimulus persaingan yang sehat di antara para elite politik dan pemerintahan. Sebuah pemerintahan akan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran, bila tidak mendapatkan tantangan dari pihak-pihak yang kompeten dan mampu menunjukkan kepada masyarakat tentang adanya kebijakan-kebijakan lain yang lebih masuk akal ketimbang kebijakan pemerintah.
Adanya oposisi akan membuat pemerintah yang berkuasa “terjaga” dan menyadari ada pihak lain yang bisa saja memberikan tawaran kebijakan yang lebih baik dan pada gilirannya berpotensi “mengganggu” citra positif pemerintah di mata masyarakat. Oposisi, oleh karena itu, diperlukan pemerintah sebagai stimulus untuk meningkatkan kinerja dan mempertahankan citra baiknya di mata masyarakat. Dalam situasi ini, muncullah situasi kompetisi yang sehat antara pemerintah dan oposisi menuju perbaikan demi perbaikan. Sebagai contoh, kerasnya oposisi pada Parlemen Inggris yang akhirnya bersama-sama pemerintah bersatu dalam menghadapi Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Oleh karena itu, jelas bahwa penguatan oposisi terkait dengan upaya menegakkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan rakyat dan untuk menghindari terjadinya oligarki. Oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda, melainkan sebuah eksistensi yang memberikan kritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kontrol atas penyelenggaraan pemerintahan. Oposisi yang sehat, sebagaimana yang diyakini Dahl lebih dari empat dekade lalu adalah bagian dan sekaligus cerminan keberadaan demokrasi yang kokoh.
Pemerintah, Oposisi dan Haluan Negara
Jika pemerintah dan oposisi bersinergi akan menghasilkan demokrasi yang kokoh, tetapi bagaimana jalan untuk mencapainya tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945?. Sebagaimana diketahui, pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terpatri cita-cita dan tujuan berbangsa dan bernegara yaitu “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Untuk mencapai ini semua diperlukan sebuah landasan perencanaan pembangunan nasional, atau yang dikenal sebagai haluan negara yang merupakan guidelines yang akan membawa dan menuntun negara untuk menuju tujuan yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Pasal-pasal dalam UUD 1945 tidaklah cukup memadai guna menindaklanjuti nilai-nilai Pancasila, untuk itu perlu ada instrumen yang lebih directive guna menjamin tercapainya tujuan bernegara. Sejarah mencatat keberadaan Haluan Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami pasang surut baik secara substansi maupun secara politis. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, peran Haluan Negara menjadi sangat vital sebagai pedoman pembangunan negara, yang diwujudkan secara formal melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Reformasi eksistensi Haluan Negara ini menjadi hilang seiring dengan amandemen UUD 1945.
Dalam perkembangan dua dekade terakhir setelah terjadi amandemen UUD 1945, Indonesia menghadapi beberapa perkembangan ketatanegaraan yang bersifat menguji persepsi dan konseptual para perumus amandemen UUD 1945 dalam konteks kekinian. Salah satu hal paling mengemuka adalah melakukan reformulasi Haluan Negara. Rupanya, keinginan tersebut mendasarkan pada evaluasi sistem pembangunan nasional pasca amandemen UUD 1945 yang tidak sistematis dan komprehensif. Pembangunan era Reformasi lebih sekadar mengejawantahkan visi-misi Presiden terpilih tanpa ada perencanaan dan kelanjutan jangka panjang. Hal ini menimbulkan tantangan untuk kembali mewujudkan Haluan Negara yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana yang diwasiatkan oleh para pendiri bangsa.
Para pendiri bangsa menginginkan haluan negara sebagai penciptaan visi bangsa yang dinamis, sehingga daripada mengubah konstitusi setiap saat, lebih baik menciptakan suatu dokumen negara yaitu haluan negara. Soepomo dalam pidato laporan Panitia Kecil (Panitia Sembilan) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 15 Juli 1945 menegaskan hal tersebut yang dapat disimpulkan bahwa haluan negara mempunyai makna dan kedudukan, pertama; sebagai acuan bagi penyelenggaran negara, dalam hal ini Presiden, untuk melaksanakan perencanaan maupun pembangunan nasional yang merupakan wujud dari kehendak seluruh rakyat Indonesia, demi mencapai suatu cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945; kedua, sebagai elaborasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam UUD 1945. Disitulah letak norma haluan negara, karena Pembukaan UUD 1945 mengandung konsepsi tentang jiwa bangsa (volksgeist), yang keberadaannya sudah dirintis jauh sebelum Indonesia merdeka.