Tantangan Masa Depan Kebudayaan Indonesia, Guru Besar UIN: Peran Kelembagaan Jadi Kunci
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peran krusial ekosistem kebudayaan yang komprehensif kian menjadi pusat perhatian mendalam dalam menghadapi era globalisasi. Meski diakui sebagai identitas bangsa, kebudayaan di Indonesia masih menghadapi tantangan.
Sebelumnya, telah muncul wacana pembentukkan Kementerian Kebudayaan untuk mewujudkan visi kebudayaan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo pada Dialog Kebangsaan di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Selasa (20/2/2024).
Menyikapi itu, Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman mengatakan, kelembagaan seperti Kementerian Kebudayaan sangat penting untuk memperkuat fungsi kebudayaan secara substansial.
Ekosistem kebudayaan di Indonesia harus mencakup tiga aspek utama, yaitu konstitusional yakni kebudayaan diamanatkan oleh Undang-Undang, sosiokultural yakni kebudayaan memiliki keberagaman baik dari segi bahasa maupun etnis, serta fungsional yang berfokus pada peran dan fokus kebudayaan dalam berbagai bidang.
Menurut Oman, pembentukan Kementerian Kebudayaan memperkuat aspek fungsional dari kebudayaan di Indonesia. “Kebudayaan itu jelas peran dan fungsinya dalam bermasyarakat sangat luas, bahkan termasuk fungsinya itu sebagai sarana diplomasi internasional sebagaimana amanat konstitusi,” katanya.
“Mungkin kita sudah melakukannya di Ditjen Kebudayaan, tapi saya kira secara kelembagaan belum cukup, terutama kalau melihat amanat konstitusi yang memisahkan secara tersendiri kata kebudayaan itu di antara diksi-diksi lain. Misalnya diksi agama, diksi sosial, diksi olahraga, seharusnya sudah jadi kementerian tersendiri. Kebudayaan dalam konstitusi kita juga sebetulnya disebut secara mandiri, tetapi sudah 78 tahun kita merdeka sampai sekarang kita belum punya Kementerian Kebudayaan tersendiri,” ungkap Oman.
Kementerian Kebudayaan akan menjadi wadah bagi berbagai pemangku kepentingan, tidak hanya budayawan, tetapi juga agamawan, seniman, dan akademisi untuk mengaktualisasikan substansi kebudayaan secara menyeluruh.
Ini akan menciptakan ruang bagi pengembangan budaya sebagai identitas nasional yang kuat dan berkelanjutan tidak hanya dari segi pendidikan atau pariwisata.
Berbicara mengenai sosok yang pas dalam memimpin Kementerian Kebudayaan, diperlukannya pemimpin yang memiliki pemahaman mendalam tentang lanskap kebudayaan global.
“Secara umum, yang bisa mengelola Kementerian Kebudayaan adalah yang secara konstitusional memahami betul pentingnya kebudayaan dalam konteks persatuan dan kesatuan nasional. Kemudian, dia juga harus paham betul modal secara sosiokultural kebudayaan kita yang amat sangat luas,” ujar Oman.
Dia menekankan pemimpin yang dipilih harus mampu memahami kompleksitas kebudayaan Indonesia dan memiliki visi jelas dalam mengelola dan memajukan kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
“Jangan sampai pemimpinnya nanti hanya menggeluti satu aspek dari kebudayaan sehingga tidak mampu menaungi kebudayaan lain seperti tradisi lisan, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, serta olahraga tradisional,” katanya.
Salah satu figur yang diwacanakan layak mengisi posisi pemimpin di Kementerian Kebudayaan adalah Hilmar Farid. Dia saat ini menjabat Dirjen Kebudayaan.
Prestasi yang telah dia raih selama 9 tahun masa jabatannya menunjukkan komitmen dan dedikasi yang kuat terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan Indonesia.
Salah satu pencapaian utama Hilmar adalah repatriasi artefak-artefak penting dari Belanda. Melalui upayanya, berbagai koleksi seni dan pusaka berharga Indonesia berhasil dikembalikan ke Tanah Air seperti koleksi seni Bali Pita Maha, Patung Singasari, pusaka kerajaan Lombok, dan keris Puputan Klungkung.
Selain itu, kepemimpinan Hilmar juga turut mendorong penetapan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, sebuah langkah penting yang menegaskan peran pemerintah sebagai fasilitator dalam mendukung perkembangan kebudayaan.
Sebelumnya, telah muncul wacana pembentukkan Kementerian Kebudayaan untuk mewujudkan visi kebudayaan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo pada Dialog Kebangsaan di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Selasa (20/2/2024).
Menyikapi itu, Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman mengatakan, kelembagaan seperti Kementerian Kebudayaan sangat penting untuk memperkuat fungsi kebudayaan secara substansial.
Ekosistem kebudayaan di Indonesia harus mencakup tiga aspek utama, yaitu konstitusional yakni kebudayaan diamanatkan oleh Undang-Undang, sosiokultural yakni kebudayaan memiliki keberagaman baik dari segi bahasa maupun etnis, serta fungsional yang berfokus pada peran dan fokus kebudayaan dalam berbagai bidang.
Menurut Oman, pembentukan Kementerian Kebudayaan memperkuat aspek fungsional dari kebudayaan di Indonesia. “Kebudayaan itu jelas peran dan fungsinya dalam bermasyarakat sangat luas, bahkan termasuk fungsinya itu sebagai sarana diplomasi internasional sebagaimana amanat konstitusi,” katanya.
“Mungkin kita sudah melakukannya di Ditjen Kebudayaan, tapi saya kira secara kelembagaan belum cukup, terutama kalau melihat amanat konstitusi yang memisahkan secara tersendiri kata kebudayaan itu di antara diksi-diksi lain. Misalnya diksi agama, diksi sosial, diksi olahraga, seharusnya sudah jadi kementerian tersendiri. Kebudayaan dalam konstitusi kita juga sebetulnya disebut secara mandiri, tetapi sudah 78 tahun kita merdeka sampai sekarang kita belum punya Kementerian Kebudayaan tersendiri,” ungkap Oman.
Kementerian Kebudayaan akan menjadi wadah bagi berbagai pemangku kepentingan, tidak hanya budayawan, tetapi juga agamawan, seniman, dan akademisi untuk mengaktualisasikan substansi kebudayaan secara menyeluruh.
Ini akan menciptakan ruang bagi pengembangan budaya sebagai identitas nasional yang kuat dan berkelanjutan tidak hanya dari segi pendidikan atau pariwisata.
Berbicara mengenai sosok yang pas dalam memimpin Kementerian Kebudayaan, diperlukannya pemimpin yang memiliki pemahaman mendalam tentang lanskap kebudayaan global.
“Secara umum, yang bisa mengelola Kementerian Kebudayaan adalah yang secara konstitusional memahami betul pentingnya kebudayaan dalam konteks persatuan dan kesatuan nasional. Kemudian, dia juga harus paham betul modal secara sosiokultural kebudayaan kita yang amat sangat luas,” ujar Oman.
Dia menekankan pemimpin yang dipilih harus mampu memahami kompleksitas kebudayaan Indonesia dan memiliki visi jelas dalam mengelola dan memajukan kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional.
“Jangan sampai pemimpinnya nanti hanya menggeluti satu aspek dari kebudayaan sehingga tidak mampu menaungi kebudayaan lain seperti tradisi lisan, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, serta olahraga tradisional,” katanya.
Salah satu figur yang diwacanakan layak mengisi posisi pemimpin di Kementerian Kebudayaan adalah Hilmar Farid. Dia saat ini menjabat Dirjen Kebudayaan.
Prestasi yang telah dia raih selama 9 tahun masa jabatannya menunjukkan komitmen dan dedikasi yang kuat terhadap pelestarian dan pengembangan kebudayaan Indonesia.
Salah satu pencapaian utama Hilmar adalah repatriasi artefak-artefak penting dari Belanda. Melalui upayanya, berbagai koleksi seni dan pusaka berharga Indonesia berhasil dikembalikan ke Tanah Air seperti koleksi seni Bali Pita Maha, Patung Singasari, pusaka kerajaan Lombok, dan keris Puputan Klungkung.
Selain itu, kepemimpinan Hilmar juga turut mendorong penetapan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan, sebuah langkah penting yang menegaskan peran pemerintah sebagai fasilitator dalam mendukung perkembangan kebudayaan.
(jon)